Jangan Terlalu Lama

1081 Kata
“Tujuan kami ke sini karena kami ingin mengikat kekerabatan kita biar lebih erat,” kata Atmaja. Saat itu Atmaja dan istrinya bertandang ke rumah Handoyo. Itu memang rutin mereka lakukan untuk menjaga hubungan baik mereka. Atmaja bahkan sudah menganggap Handoyo keluarga dan ingin mengikatnya menjadi sebuah keluarga. “Saya ingin melamar Amara menjadi istri Abian, saya dengar Amara sudah lulus kuliah,” lanjut Atmaja dan mendapat anggukan dari Maria-istrinya. Rencana ini sudah Atmaja dan Maria utarakan pada Abian. Awalnya Abian menolak, tapi Atmaja memaksa dan mengancam tidak akan memberikan jabatan pada Abian di perusahaan. Itu adalah hal yang paling ditakuti Abian, putranya itu sangat mencintai pekerjaannya. “Apa Nak Abi mau dengan Amara?” tanya Herlina. Sebagai seorang ibu dia takut jika perjodohan itu akan membuat putrinya menderita. “Kalau Abi sudah setuju. Kami tidak meminta jawabannya sekarang, kalian bisa tanyakan pada Amara terlebih dulu.” “Saya minta waktu satu minggu,” kata Handoyo. Dia perlu meyakinkan putrinya lebih dulu. Amara adalah anak satu-satunya yang mereka nanti setelah tujuh tahun pernikahan. Tepat satu minggu mereka memberitahukan kesediaan Amara menikah dengan Abian, bukan juga tanpa alasan. Amara adalah gadis polos dan juga sangat penurut, mereka meyakinkan pada Amara bahwa Abian adalah lelaki baik yang akan bisa menjadi imamnya nanti dan Amara juga sudah mengenal Atmaja dan juga Maria sejak kecil. Ketakutannya tentang mertua jahat seketika hilang karena yang akan menjadi mertuanya adalah orang baik. Pernikahan itu akhirnya dilaksanakan sebulan kemudian. Awalnya rencana pernikahan akan dilaksanakan satu tahun lagi, tapi Atmaja memergoki Abian bersama kekasihnya. “Jangan bikin malu Papa.” “Tapi aku mencintai Felicia, Pa.” “Tidak bisa, kamu sudah bertunangan dan papa akan mempercepat pernikahan kalian. Jangan membantah atau posisimu di perusahaan akan papa alihkan pada Satria.” Abian tidak akan pernah menerima kalau Satria yang akan menikmati kerja kerasnya, dia yang mati-matian bekerja tidak akan rela jika posisinya akan dialihkan pada adiknya, hubungannya dengan sang adik memang kurang baik. Pernikahan mereka akhirnya terlaksana meski dalam keterpaksaan. Abian menerima pernikahan itu meski dia punya rencana besar dibenaknya. *** “Aku menikahimu karena aku tidak ingin menolak permintaan orang tuaku. Jadi, jangan pernah pernah berharap lebih, kamu tidur di sini aku tidur di ruang kerjaku, jangan pernah katakan masalah ini pada orang tua kita.” Abian menatap dingin pada wanita yang baru dinikahinya itu, tidak ada yang menarik dari wanita itu, penampilan yang sederhana dan wajah yang pas-pasan, setidaknya itu yang dilihat Abian. Amara hanya menunduk, dia sadar diri, Abian adalah lelaki mapan dan juga tampan, dia yakin pasti lelaki seperti dia hanya tertarik pada wanita cantik, sedangkan dirinya apa? Ruangan yang dimaksud adalah ruang kerja yang bersekat dinding dalam satu ruangan di kamar tidur mereka. Di ruangan kerja ada ranjang berukuran kecil, di sanalah Abian tidur. “Kenapa kamu menyiapkan bajuku? Kamu masih ingat ‘kan kalau pernikahan kita ini hanya pura-pura?” Abian selalu mengingatkan posisi Amara yang hanya menjadi istri di atas kertas saja. “Biarkan aku melakukan tugasku sebagai istri, Mas,” jawab Amara. Setidaknya dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. “Tapi jangan berharap aku memberimu lebih.” Amara mengangguk dan kembali melakukan kegiatannya. “Ini, gunakan untuk keperluanmu.” Abian memberikan kartu debit sebagai nafkah. Untuk masalah itu dia tidak akan melalaikan kewajibannya, dia hanya tidak memberi nafkah batin pada Amara, itu adalah janjinya pada Felicia—kekasihnya. Kehidupan pernikahan mereka berjalan lancar meskipun hanya di depan kedua orang tua mereka memperlihatkan kalau mereka bahagia. Tiba setelah lima tahun orang tua mereka menuntut mereka untuk segera memberikan cucu. “Kalian harus periksa ke dokter, pernikahan kalian sudah lima tahun dan belum juga ada tanda kehamilan,” kata Maria. Usia Abian sudah tidak muda lagi, jelas itu membuat resah orang tuanya, sedangkan Satria tidak juga mau segera menikah. “Aku sibuk, Ma, biar Amara saja yang periksa.” Abian meninggalkan ibunya yang pasti akan bertanya macam-macam dan dia tidak pandai untuk berkilah. Akhirnya dia membiarkan Amara mengatasi omelan ibunya. Pikiran Maria saat ini memang kemungkinan besar adalah Amara yang sulit punya anak mengingat riwayat keluarga Amara yang memang sulit mempunyai keturunan. Amara anak satu-satunya dan sejak melahirkan Amara orang tua Amara sudah dinyatakan tidak bisa punya keturunan lagi. Itulah awal mula Maria mulai tidak menyukai Amara, dia menganggap Amara wanita tidak subur. Maria menghubungi Dara-keponakannya dan meminta Dara mengurus semua pengobatan Amara sampai Amara benar-benar subur. Dia terus saja menyalahkan Amara. “Kalau saja aku tidak menuruti permintaanmu menikahkan Abi dan Amara, mungkin kita sudah mendapatkan cucu, Pa,” gerutunya pada sang suami. “Sabar dulu, Ma, mereka baru lima tahun menikah,” kata Atmaja. “Lima tahun itu sudah cukup lama, kalau setahun lagi mereka tidak segera punya anak, terpaksa aku suruh Abi menikahi pacarnya itu. Lagian Papa, sih, kenapa kekeh menikahkan mereka.” “Mama tahu kalau aku punya hutang nyawa pada Handoyo, menikahkan mereka itu belum cukup membayar hutang budi pada mereka.” Selalu seperti itu yang dikatakan Atmaja dan akhirnya Maria hanya menggerutu saja karena kalau suaminya sudah mengungkit masalah itu, dia tidak berani membantah dan memang kenyataannya begitu, tapi kegelisahannya tentang keturunan Abian sangat mengganggunya. Abian adalah anak pertamanya dan Abian lah yang bisa dia harapakan karena Satria lebih asyik dengan dunianya. *** “Jadi Mas Abi akan menerima kalau Mama suruh Mas Abi nikah lagi?” tanya Amara setelah pembicaraan panas di ruang makan tadi. Maria dan Atmaja akhirnya berdebat karena keduanya berbeda pendapat. Atmaja yang berada di pihak Amara menerima menantunya itu apa adanya dan Maria yang menginginkan kehadiran cucu segera. “Aku tidak menjanjikan apa-apa dari pernikahan ini, jadi kalau Mama memitaku menikah lagi ….” Lelaki itu menarik sudut bibir kanannya. “Aku akan menikahi Felicia, jadi kamu harus mau dimadu.” Amara menggeleng. Lima tahun bertahan dan bersabar, tiba-tiba harus menerima pernikahan kedua suaminya, jelas ini tidak adil baginya. Lebih baik dia mundur dari pada harus dijadikan pajangan. Bukankah selama ini dia hanya dijadikan pajangan saja. “Kenapa?” Abian menyeringai lalu tangannya menjepit dagu Amara. “Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya. Air mata Amara sudah menetes semena-mena, dia tidak bisa lagi bersabar dengan pernikahan itu, tapi apa yang akan dia katakan pada orang tuanya jika dia menyerah. Dia tidak tega melihat orang tuanya kecewa, tapi dia harus apa? “Aku akan bertahan,” kata Amara dengan bibir bergetar. “Aku akan tunggu sampai kapan kamu bisa bertahan,” kata Abian kemudian dia membuka pintu kamar. “Jangan terlalu lama bertahan, aku sudah tegaskan kalau aku tidak akan pernah menyentuhmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN