bc

Lima Tahun Tak Disentuh

book_age18+
10.0K
IKUTI
54.9K
BACA
family
HE
decisive
boss
blue collar
drama
bxg
enimies to lovers
like
intro-logo
Uraian

Lima tahun menjadi istri dari Abian, Amara tidak pernah mendapatkan nafkah batin. Dia mendapatkan tekanan dari orang tua karena tidak hamil juga.Bagaimana bisa hamil kalau disentuh saja tidak?Setelah terbongkar kalau Amara tidak pernah disentuh, akhirnya dia memilih berpisah.

chap-preview
Pratinjau gratis
Batas Waktu
“Pokoknya Mama kasih waktu satu tahun lagi, kalau dalam waktu satu tahu kamu tidak juga hamil, kamu harus ikhlas kalau Abi harus menikah lagi.” Wanita bersanggul rendah itu menatap wanita muda yang menunduk di hadapannya. “Mara akan usaha lagi, Ma,” jawab Wanita itu. Dia segera menyeka air matanya yang tadi menggenang dan akhirnya lolos juga. Entah berapa obat-obatan yang sudah dia telan dan segala macam makanan sehat penambah kesuburan. Dia hanya menjalani apa yang dititahkan keluarga itu tanpa bisa menolak atau mengatakan keadaan yang sebenarnya. “Besok Mama antar, kita ganti dokter.” Wanita bernama Amara itu menganguk patuh kemudian dia menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Lelaki yang sedang dia tunggu akhirnya datang. Amara ingin suaminya ikut menjawab segala macam pertanyaan mertuanya. Bukan dirinya saja yang seharusnya ditekan, tapi Abian yang seharusnya bertanggung jawab atas keadaannya yang tak kunjung hamil. “Mara mau periksa sama Mas Abi, Ma,” kata Amara setelah lelaki itu mendekat. Tampak kernyitan di kening lelaki itu. “Periksa apa?” tanyanya. Lelaki itu mengempaskan diri sofa berseberangan dengan sofa yang diduduki Amara. “Kosongkan jadwalmu, besok kalian harus periksa ke dokter.” Sang ibu menatap ke arah anak lelakinya. “Aku nggak bisa, Ma. Biar Mara saja yang jalani pengobatan. Lagian aku yakin kalau aku sehat.”Lelaki bercambang itu berkilah. Selalu seperti itu dan selalu saja mendapatkan pemakluman. Amara tahu kenapa lelaki itu tidak mau ikut periksa juga. Dia paham apa yang dipikirkan suaminya, tapi Amara masih mencoba untuk tetap bertahan seperti janjinya pada kedua orang tuanya. Harapan kedua orang tuanya begitu besar pada pernikahannya. “Ibu akan beri waktu satu tahun, setelah satu tahun kalau tidak ada perubahan, kamu boleh menikah lagi,” ujar wanita paruh baya itu kemudian dia beranjak meninggalkan anak menantunya di sana. Ada senyum yang terbit di bibir lelaki itu kemudian dia ikut beranjak dari sana. “Kamu ikuti saja apa yang diperintahkan Mama, jangan bicara apa pun tentang pernikahan kita,” ujar lelaki itu pada istrinya. Apa pun yang dikatakan Abian, Amara hanya bisa mengiyakan, tidak ada bantahan meski akhirnya dia sendiri yang disalahkan. Dirinya dianggap tidak subur oleh mertuanya. Entah berapa banyak lagi stok kesabaran yang dia simpan untuk menjalani pernikahannya. Bukan karena dia lemah, tapi dia begitu menghormati hubungan baik antara orang tua dan mertuanya. Amara tidak mau hubungannya dengan Abian akan mengecewakan para orang tua itu, meski dia tahu ibu mertuanya tidak terlalu suka padanya. . Amara mengikuti suaminya ke kamar. Dia tidak pernah melalaikan kewajibannya melayani kebutuhan suaminya meski sering kali pengabaian yang didapat. Dia hanya menyakini, sikap tulusnya akan berbuah manis, itu pasti, entah kapan. Amara masih berusaha berpikir positif. Abian melepas jas yang dia kenakan kemudian mengulurkan pada Amara. Lelaki itu lantas duduk dan Amara langsung bersimpuh di depan Abian, membuka sepatu dan kalos kaki suaminya kemudian meletakkan di rak sepatu. Wanita yang selalu mengenakan jilbabnya meski di dalam kamar itu menuju kamar mandi untuk menyiapkan air dalam bak mandi. Biasanya Abian suka berendam setelah pulang dari kantor. Lelaki itu masuk ke kamar mandi setelah melepas pakaiannya dengan menyisakan celana pendek saja. Amara segera berbalik meninggalkan kamar mandi itu. Amara membersihkan ruang lain di kamar itu. Menyalakan lampu menutup jendela kemudian membersihkan ranjang agar pemilik merasa nyaman menidurinya. Dia juga mengambilkan baju ganti untuk Abian. Itu adalah rutinitasnya setap hari selama lima tahun menjadi seorang istri. “Aku akan katakan pada Mama untuk tidak mengajakmu ke dokter.” Suara itu membuat Amara yang sedang membersihkan kamar itu menoleh. “Apa karena Mas Abi tidak mau Mama terus memaksa kita untuk usaha punya anak?” tanya Amara dengan senyum samar di bibirnya. “Mama tidak akan meragukanku, aku hanya merasa kasihan padamu karena harus menelan obat-obatan tiap hari.” Lelaki itu mengibaskan rambutnya yang basah kemudian mengambil pakaian yang disiapkan Amara. “Seharusnya kita coba sekali saja, Mas.” Amara langsung menutup mulutnya yang dengan lancang mengatakan itu. Dia terlalu berani menuntut. Bukankah dia sudah sering kali mendapat peringatan bahwa Abian tidak akan menyentuhnya? Lelaki itu menarik sudut bibirnya kemudian mendekat menepis jarak antara mereka. Sungguh, saat itu tubuh Amara membatu. Dia tidak bisa bergerak menjauh. Debaran jantungnya menggila dan wajahnya memerah saat hembusan hangat menyambangi wajahnya. Abian semakin mendekat membuat bulu kuduk Amara meremang. “Jangan terlalu berharap, aku sudah janji tidak akan menyentuhmu,” ujar lelaki itu tepat di telinga Amara. Sejenak Amara kesusahan menelan ludah. Debaran di dadanya lebih dari menggila kemudian dalam beberapa detik melemah berganti rasa sesak. Wajahnya masih memerah dan saat dirinya bisa menguasai diri, Amara segera ke luar dari ruangan itu. Ruang rahasia yang digunakan Abian untuk tidur. Tidak ada yang mengetahui ruangan itu kecuali dia dan Abian saja. Amara memejamkan matanya, air matanya ke luar begitu saja seolah mewakili ungkapan rasa kecewanya. Dia tidak diharapkan oleh suaminya selama lima tahun lamanya. Apakah dia seburuk itu? *** “Nanti Mara tidak perlu ke dokter.” Abian menginformasi pada ibunya. Suara denting sendok berhenti dan semua mata tertuju pada Abian. Ruang makan itu seketika hening setiap kali bahasan tentang anak Abian terlontar. “Apa maksudmu?” Maria menatap tajam pada putra sulungnya, diletakkannya dengan kasar sendok dan garpu. “Kami tidak perlu buru-buru,” jawab Abian kemudian melirik Amara yang ikut menatap ke arahnya. Dia memberikan senyuman pada Amara. “Mama sudah memberi kalian waktu lima tahun.” Wanita itu menatap Amara dengan wajah memerah. “Pasti kamu yang mempengaruhi Abi ‘kan?” Amara menggeleng. Dia sendiri tidak tahu kenapa dan apa rencana Abian saat ini. Apa mungkin …. “Kenapa hanya masalah anak saja kalian harus merusak selera makanku!” Lelaki yang usianya lebih muda dari Abian mendengus kemudian mengambil segelas air meminumnya hingga tandas. “Mama itu ingin segera punya cucu. Kalau kamu segera menikah dan segera beri Mama cucu, Mama tidak akan mendesak Mara dan Abi segera punya anak.” “Jodoh dan keturunan itu hak mutlak Allah, kenapa Mama bersikap seolah menyalahkan apa yang telah Allah takdirkan, kenapa Mama membuat pernikahan mereka jadi seperti neraka. Memangnya wanita menikah itu hanya untuk disuruh hamil? Memangnya kalau wanita mandul tidak layak dinikahi?” Entah ada masalah apa dengan pemuda itu, dia bahkan terlihat tidak senang sejak obrolan tentang anak dibahas di meja makan. “Satria. Yang sopan kalau bicara sama Mama,” tegur sang ayah. Lelaki itu mengakhiri makannya, dia beranjak lalu berjalan mendekati menantunya. “Jangan pikirkan apa yang diucapkan Mama, kami tidak menuntut apa pun dari kamu.” Lelaki itu mengusap kepala Amara yang berbungkus jilbab. Hati Amara menghangat, setidaknya ada orang yang berpihak padanya. Sejak dulu hanya lelaki itu yang bersikap baik padanya dan selalu dipihaknya. Dia adalah Atmaja--ayah mertuanya. “Tidak bisa begini, Pa. Mama akan carikan Abi istri kedua kalau Mara tidak segera hamil.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.1K
bc

My Secret Little Wife

read
94.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook