You're Very Nice
Gundukan tanah merah basah, diterpa tetesan air yang datang bergerombolan dari langit yang gelap. Semilir angin di sore hari, yang menambah nuansa dingin, menyapu ke permukaan kulit seorang pria, yang sedang berlutut di depan gundukan tanah merah tadi. Air yang keluar dari pelupuk matanya pun, nampak tersamarkan oleh tetesan air yang datang dengan bersamaan dan juga tanpa jeda itu.
Baru tiga hari yang lalu dihubungi, bila sedang menjalankan proyek perusahaan. Tetapi kemarin, ia malah mendengar kabar, bila seorang pria yang menjadi orang tua tunggal itu, sudah tertanam di bawah gundukan tanah ini, ketika ia yang sedang menjalani pendidikan S2-nya di luar negeri.
Katanya, pria ini terkena serangan jantung. Tetapi sebagai orang yang paling mengenal pria ini selama dua puluh delapan tahun lamanya, ia merasa hal itu sangatlah janggal. Belum lagi, katanya semua harta habis untuk membayar hutang pria ini dan tidak ada sepeserpun yang tersisa. Tetapi, kenapa ada mobil yang malah berpindah tempat dari rumah yang bertuliskan 'Dijual Cepat' ke garasi rumah pamannya sendiri.
Apakah ini sebuah sabotase?? Bukan hanya sabotase harta, melainkan sabotase nyawa juga???
Tidak mau menuduh, apa lagi itu adalah kerabat sendiri. Tetapi, kenapa semua bukti nyata, mengarah ke sana semua??
Terpaan air berhenti. Padahal, di atas gundukan tanah ini, masih ada air yang membasahi. Pria tersebut mendongak dan menemukan sesosok pria, dengan payung hitam dan juga pakaian yang serba hitam.
"Untuk apa berdiam diri di sini? Meratapi yang telah pergi?" ucap pria itu kepada pria, yang bernama Maxime itu.
"Aku ingin pulang. Tapi tidak lagi punya tempat tinggal. Baru pulang dari luar negeri dan keluargaku satu-satunya malah tiada. Semua harta benda lenyap tanpa sisa. Apakah ini sebuah mimpi buruk??"
Pria yang tengah memegang payung ini, bak menemukan berlian yang tertanam di bawah tanah. Sangat berkilauan dan pastinya, masih sangat baru dan berharga. Pria yang tidak memiliki keluarga. Tidak memiliki penghambat, untuk sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang tidaklah lemah.
"Ingin ikut bekerja bersama kami? Sepertinya, pekerjaan ini cocok untukmu. Kamu bisa mendapatkan banyak uang dan juga kekuasaan. Dan kamu juga, bisa membongkar rahasia yang disembunyikan pada lubang semut sekalipun. Atau mungkin, bisa membalas setiap perlakuan buruk seseorang orang, atau malah banyak orang terhadap kamu."
Terdengar menggiurkan. Terdengar cukup meyakinkan. Maxime melirik sedikit ke belakang dan mengajukan sebuah pertanyaan, yang begitu menggelitik rasa keingintahuannya.
"Pekerjaan jenis apa??" tanya Maxime.
"Menggantikan orang, yang sudah berada di dalam sana!" cetus sosok ini sembari melihat kerumunan orang-orang berbaju serba hitam, di salah satu pusara yang ada di tempat pemakaman ini juga.
Maxime bergeming. Sepertinya, pekerjaan ini bertaruh nyawa. Tapi, ia sudah tidak lagi memiliki siapa-siapa lagi. Satu-satunya keluarga yang tersisa, malah bak musuh di dalam selimut. Ia harus memperjuangkan keadilan untuk ayahnya. Ia harus membalas, bila memang semua itu sesuai dengan apa yang ia pikirkan sekarang.
"Baiklah. Aku ikut," jawab Maxime tanpa banyak berpikir lagi. Ia tidak bisa percaya kepada keluarga sendiri. Tapi malah menggantungkan harapan, pada orang-orang asing ini.
"Ya sudah. Ayo bangun. Kita pergi dari sini! Kita pergi, ke rumah barumu!" cetus pria itu.
Maxime bangkit dari pusara sang ayahanda. Kemudian, dia diajak ke mobil dan dibawa oleh orang-orang tadi.
Beberapa bulan berikutnya.
"Ini, minumlah lagi!" perintah Maxime, yang mengguratkan senyuman menyeringai, kepada wanita, yang sedang ia cekoki minuman beralkohol, hingga lemas dan mabuk.
Awalnya, Maxime mengatakan, bila tunangannya menyuruh ia untuk menjemput dan membawanya ke sebuah tempat. Memang benar, ia dibawa ke sebuah tempat. Akan tetapi, tempat itu ternyata adalah sebuah bar dan kata-kata bila ia adalah suruhan dari tunangannya adalah omong kosong belaka.
Hanya karena lelaki yang membawanya ini, adalah sepupu dari tunangannya sendiri. Lantas, membuat wanita yang kelopak matanya sudah sayu serta layu itu malah dengan mudahnya percaya. Ketika pikiran wanita itu bak sudah melayang-layang serta kesadarannya berkurang. Kini, sudah tiba saatnya ia menuntaskan misi yang sudah lama terpendam. Ia harus hancurkan kebahagiaan sepupunya sendiri dan hal itu, dimulai dari wanita yang saat ini, sudah mulai ia papah dan bawa ke dalam sebuah hotel.
Megan tak kuasa membuka kelopak matanya yang terasa berat. Ia terkulai lemas di atas sebuah ranjang yang berseprai putih. Antara sadar dan tidak sadar. Megan hampir saja terlelap, tapi masih merasakan, sebuah sentuhan yang dimulai dari lehernya dan semakin menjalar ke bawah.
Megan paksa kelopak matanya untuk terbuka. Tetapi ternyata sia-sia. Ia tidak bisa, ia tidak kuat membuka matanya sama sekali. Hingga mimpi buruk itu datang. Ia tidak sadar, bila apa yang sedang berlangsung saat ini adalah nyata. Ia pikir ia hanya sedang bermimpi saja. Namun tidak tahunya, tubuhnya ini benar-benar sedang dijamah tanpa permisi, oleh seorang pria yang diam-diam merekam aksi mereka berdua.
Maxime menarik diri dan tersenyum miring. Yang tadi nikmat sekali. Dia benar-benar tidak menyangka, bila sepupunya telah melewatkan hal ini dan memilih untuk menyisakannya, saat sudah tiba hari pernikahannya.
Tetapi sekarang, ia bahkan sudah lebih dulu mengambil hal itu dan ia yakin sekali, sepupunya pasti akan hancur, saat tahu, bila ia sudah meniduri calon istrinya ini dan memang, hal itulah tujuan utamanya.
Hembusan napas yang panjang keluar dari mulut lelaki, yang kini pergi dari sisi wanita, yang sedang terlelap dengan sangat nyenyak itu.
Kamera yang sudah sempat disimpan pada nakas pun diambil dan disimpan, untuk sebuah hadiah kejutan di hari pernikahan sepupunya nanti.
Setelahnya, dia bersihkan diri dan menunggu wanita yang sedang tidur nyenyak seperti bayi itu bangun dari tidurnya.
Keesokan harinya.
Megan terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Seingatnya, semalam dia akan bertemu dengan Freddy, calon suaminya dan dijemput oleh sepupu dari calon suaminya itu. Tapi seperti ada yang aneh.
Megan mengarahkan sepasang bola matanya ke sekeliling ruangan dan kemudian, sampai ke tubuhnya sendiri. Lalu dalam sekejap, dia pun membeliak. Ia lihat tubuhnya yang hanya berbalut selimut saja dan semua pakaian yang semalam ia kenakan, entah kemana perginya.
"Morning."
Sebuah kata sapaan, yang menyapa Indra pendengaran Megan, hingga wanita itu sampai membuat kerutan yang sangat banyak di dahinya sendiri.
"Kamu. Kita... Kita kenapa ada di sini?? Dan ini dimana???" tanya Megan yang sudah mulai panik. Apa lagi, pria itu nampak tengah bertelanjang d**a dan hanya menggunakan celana pendek saja. Belum lagi kondisi dirinya sendiri, yang hanya berbalut selimut ini saja.
"Ini di hotel dan semalam... Kita sudah melewatkan malam yang sangat panjang bersama. Apa kamu tidak ingat sama sekali??" ucap Maxime dan Megan pun tertegun, sembari mengingat-ingat kembali, apa yang terjadi semalam.
"K-kita... Kita ini... Apa kita sudah...?"
"Benar. Apapun yang ada di pikiran kamu sekarang, jawabannya adalah benar," jawab Maxime sembari menarik pakaiannya yang berserakan di lantai.
Megan terduduk lemas di atas ranjang. Satu tangan mencengkram dengan erat selimut yang menutupi hingga mencapai atas dadanya saja. Sementara tangan lainnya, berada di atas ranjang dan mencengkram erat seprai.
Oh ya Tuhan...
Kenapa hal semacam ini harus terjadi kepadanya?? Ia belum lama bertunangan dan akan segera menikah. Tapi, kenapa hal semacam ini justru malah terjadi padanya??
"Dasar kurang ajar! Dasar brengsekk! Kenapa kamu melakukan semua ini!??" rutuk Megan. Disertai dengan cengkeraman pada selimut , yang berada di atas dadanya , yang semakin ia eratkan.
Pria yang tengah mengancingkan kembali pakaiannya itupun tersenyum, tanpa adanya rasa bersalah sama sekali, lalu kemudian, ia berjalan mendekati Megan dan berbisik di dekat indra pendengarannya persis.
"Karena aku hanya ingin mencicipi sedikit saja, apa yang dimiliki oleh sepupuku itu dan ternyata, rasanya lumayan juga. You're very nice," ucap Maxime sembari menyapu pipi Megan dengan lidahnya. Namun, telapak tangan Megan segera melayang dan mengenai pipi Maxime dengan kencang.
Maxime sedikit menjauh dan tersenyum miring dan mengusap bekas tamparan Megan di pipi kirinya, yang lumayan terasa pedas dan panas. "Oh ya ampun. Kenapa aku malah mendapatkan tamparan?? Bahkan semalam, aku sudah menunjukkan bagaimana rasanya, sebuah surga dunia. Harusnya, kamu berikan ciuman. Bukannya tamparan seperti tadi."
Megan tidak peduli. Ia turun dari atas tempat tidur sembari membungkus tubuhnya dengan selimut dan kemudian pergi ke dalam kamar mandi.
Sementara Maxime merapikan rambutnya sambil menunggu Megan keluar dari dalam kamar mandi.
"Apa sudah selesai??" tanya Maxime saat melihat Megan, yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan hanya menggunakan handuk saja.
Megan tidak menimpali ucapan Maxime sama sekali dan malah sibuk mencari-cari pakaiannya sendiri. Setelah ketemu, Megan kembali lagi ke dalam kamar mandi dan menggunakan pakaiannya di sana. Lalu keluar dari dalam kamar mandi tersebut.
"Sudah? Ayo, aku antar kamu pulang," ucap Maxime yang lagi-lagi tidak dipedulikan oleh Megan.
Megan berjalan ke pintu dan saat akan keluar, tangannya malah direngkuh oleh Maxime.
"Ayo, aku antar kamu pu...,"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, telapak tangan sudah melayang lagi saja dan mengenai pipi Maxime persis.
Megan teruskan lagi niatnya. Ia buka pintu itu dan lalu membantingnya sambil pergi dengan terburu-buru. Sementara Maxime sibuk mengusap-usap pipi, sambil bergumam sendiri.
"Dia hobi sekali menampar orang," gerutu Maxime, yang ikut keluar dari kamar hotel. Tetapi sebelumnya, ia pastikan tidak ada yang tertinggal di dalam sini.