"Hahh... Ya sudah. Aku mandi dulu. Pekerjaan sudah menungguku. Bahaya, bila sampai terlambat datang. Oh iya, Apa kamu ingin mandi bersama huh??" tanya Maxime dengan senyum yang lebar dan juga kelihatan semringah sekali.
"Tidak terima kasih. Kamu saja duluan!" ketus Megan yang kembali merebahkan kepalanya lagi di atas bantal.
"Yakin??" tanya Maxime dan Megan malah semakin mengerutkan keningnya saja.
"Iya!" pekik Megan.
"Ya sudah. Baiklah," ucap Maxime yang kini bangun dari atas tempat tidur dan melenggang bebas, tanpa menggunakan apapun di tubuhnya itu.
Megan mengembuskan napas dan memejamkan matanya. Ada-ada saja, hal yang menyebalkan dan membuatnya kesal. Kenapa juga , ia harus menikah dengan pria macam begitu??
Megan diam dan melamun. Ia terus menerus memikirkan pria lain , yang seharusnya berada satu ranjang dengannya setelah pernikahan. Bukannya malah pria yang tadi, yang tidak tahu kenapa bisa-bisanya sekarang menjadi suaminya begini.
Setelah selesai melakukan pembersihan diri. Maxime keluar dari dalam kamar mandi dan mengenakan pakaiannya kembali. Kemudian, ia hampiri wanita yang sedang memejamkan matanya itu dan menyentuh bongkahan bulat, yang berada di belakang tubuhnya , hingga wanita tersebut membeliakkan mata dan menoleh ke belakang.
"Cepatlah mandi. Apa kamu ingin lagi??" ucap Maxime sembari menyunggingkan senyumnya.
"Ck! Tidak usah! Terima kasih!" seru Megan dengan bersungut-sungut.
"Ya sudah sana mandi. Jangan menggodaku lagi. Aku harus pergi bekerja malam ini," ucap Maxime yang sontak membuat Megan menganga.
Siapa juga yang menggodanya!!! Dasar pria gila!!
Megan cepat-cepat turun dari atas ranjang dan membelit tubuhnya yang polos itu dengan selimut, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Akan tetapi, sebelum Megan melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar mandi tersebut, Maxime pun nampak berkata-kata lagi juga.
"Berhati-hatilah di sini. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan segera pulang," pesan Maxime yang kini segera pergi meninggalkan kamar, sekaligus meninggalkan Megan yang masih diam mematung di depan pintu kamar mandi, hingga akhirnya dia langkahkan kakinya lagi dan melakukan pembersihan tubuh di dalam kamar mandi tersebut.
Di sebuah tempat yang sepi, yang di jalannya berjajar rapi pepohonan maupun tanaman liar lainnya.
Maxime menghentikan mobil dan pergi ke belakang mobil membuka bagasinya. Tumpukan pistol dengan berbagai seri tersimpan dengan rapi di dalam sana dan di depannya, baru saja tiba dua mobil lain, yang masing-masing berisi tiga orang, yang kini mendatangi Maxime di di belakang mobilnya.
"Kita akan panen besar malam ini bukan??" ucap salah seorang pria, yang datang dan menepuk pundak Maxime.
"Tentu saja. Kita akan panen besar-besaran," balas Maxime sembari tersenyum miring.
"Ayo ambil. Kita harus bergerak cepat!" perintah Maxime dan satu persatu dari orang-orang itupun mengambil pistol, sesuai dengan kebutuhan mereka dan menyimpannya di balik jaket, maupun di dalam saku celana mereka masing-masing.
Bagasi pun ditutup kembali dan mereka segera memasuki mobil kembali lalu melaju cepat, dengan mobil mereka masing-masing ke sebuah bangunan tua, yang merupakan tempat transaksi dari rival mereka.
Dua koper uang di letakkan di atas meja dan Maxime yang telah masuk , setelah sebelumnya menumbangkan orang-orang dengan pistol senyapnya, segera menggigit bibir bawahnya sendiri, ketika melihat koper dibuka dan memperlihatkan tumpukan uang berada di dalamnya.
Cantik sekali. Sungguh tumpukan uang yang begitu cantik. Hingga membuatnya tertarik dan melakukan pekerjaan ini selama kurun waktu berbulan-bulan lamanya. Dengan begitu juga, ia bisa memiliki kekuasaan dan tidak menjadi gembel di jalanan, berkat perangai licik dari saudara ayahnya sendiri.
Maxime melakukan kode lirikan mata, kepada teman-teman satu kelompoknya yang telah menyebar, diantara pilar-pilar besar bangunan tua ini. Mereka tengah menunggu momen yang pas, sebelum melancarkan aksi mereka.
"Mana barangnya??" tanya si pemegang koper, yang kini sedang melakukan transaksi barang haram dan sejumlah uang sebagai imbalannya.
Satu koper dikeluarkan serta dibuka dan anak buahnya pun mendekat, untuk mengecek barang tersebut. Dibukanya satu bungkusan bening dan dicolek nya juga, dengan seujung jari kelingking , yang kini mulai dirasakan , dengan juluran lidah dan diujung lidahnya itu.
"Benar, Bos!" cetus anak buah si pemegang koper yang berisi uang tadi.
"Baiklah. Kita mulai pertukarannya sekarang," ucap si pemegang uang. Tapi yang akan melakukan transaksi malah menggelengkan kepala dulu.
"Barang kami sudah dicek. Apakah, barang milik Tuan sudah sesuai, kami tidak tahu kan??"
Hembusan napas dilakukan, oleh pemilik koper uang tadi dan ia pun mengambil satu gepok uang, yang ditunjukkan isinya satu persatu dengan ibu jarinya itu. Berikut juga, dengan mengangkat uang yang ada di dalam koper tersebut, hingga si pemilik barang terlarang itupun mengangguk.
"Sudah. Bisa kita mulai sekarang juga??" tanya pria, yang menaruh gepokan uangnya di dalam koper yang kini ditutup dengan rapat.
"Tentu saja," ucap orang tersebut, yang kini mendorong koper dari sama lainnya. Akan tetapi, si pemilik koper uang ditumbangkan lebih dulu, dengan bidikan peluru, yang datang dari pistol milik Maxime.
Orang-orang yang melakukan transaksi mulai panik. Saat salah satu pemegang koper terkapar. Satu yang masih tegak berdiri pun segera mengamankan koper miliknya berikut dengan koper uangnya juga dan satu persatu dari mereka melakukan baku tembak, dengan orang-orang yang bersembunyi di pilar-pilar tadi. Termasuk, dengan di pemegang koper itu juga, yang memberikan tembakan, bagi orang-orang yang kini perlahan mendekat dan membuatnya tidak lagi bisa berkutik.
Tembakan menyasar pada tangan yang tengah memegang pistol. Hingga pistol terlepas dan tangannya yang berlumuran darah itu, kini berusaha untuk mendekap erat semua koper di dadanya.
"Tolong. Tolong lepaskan saya. Istri dan anak-anak saya sedang menunggu di rumah," pinta orang tersebut sembari berjongkok dan dengan kepala, yang sudah ditodongkan pistol oleh Maxime.
Maxime tertegun. Karena sekilas teringat akan ayahnya, yang meninggal secara mendadak dan ia hanya mendengar kabar kematiannya saja, ketika masih berada di luar negeri.
Saliva ditelan oleh Maxime, ia semakin mengeratkan genggaman tangannya. "Berikan kopernya," pinta Maxime secara baik-baik dan salah seorang pria, yang paling senior di kelompok ini pun nampak menghela napas, karena Maxime tidak langsung menembuskan peluru, di kepala pria itu dan pria senior itu adalah Gerald, yang kini sedang memantau dengan lekat, apa yang sedang Maxime lakukan.
Koper pun diberikan secara sukarela dan orang-orang yang bersama Maxime ini, mengambil tiga koper yang dipegang oleh pria, yang usianya nampak telah memasuki setengah abad ini. Setelahnya, Maxime memberikan dua kali tembakkan ke arah lengan pria tersebut dan kemudian meninggalkannya begitu saja.
Namun, baru beberapa langkah ia pergi dari pria tadi, suara tembakan beruntun ia dengar dan kemudian, ia berbalik dan melihat Gerald yang tangannya sedang terulur ke arah pria yang sudah terkapar di sana dan dengan bersimbah darah.
Belasan peluru telah bersemayam di tubuh pria yang sudah tidak bergerak itu. Kemudian, Gerald menarik kembali pistolnya dan memasukkan ke dalam saku celananya.
"Bereskan sisanya!" perintah Gerald yang berjalan ke arah Maxime dan berhenti tepat di sampingnya, lalu kemudian mencondongkan sedikit kepalanya dan mulai berbicara di dekat indra pendengaran Maxime.
"Kita ini, tidak didesain untuk memiliki rasa belas kasih. Membunuh atau dibunuh. Hanya itu pilihan yang kita miliki. Kalau kita membiarkan dia hidup dan dia mengatakan segalanya tentang kita, cobalah pikirkan, apa nyawa kita akan masih melekat di raga kita ini? Tidak ada pilihan. Dia yang mati. Atau malah kita yang mati!" cetus Gerald sembari menepuk bahu Maxime sebanyak dua kali dan kemudian melanjutkan langkah kakinya lagi menuju mobil. Maxime pun menghela napas dan lanjut berjalan dengan mengekor di belakang seniornya itu tadi.
Koper-koper tadi dibawa ke markas mereka. Tentunya , setelah mereka membereskan tubuh-tubuh tanpa nyawa itu dengan menguburkannya ke dalam satu lubang yang sama, demi menghilangkan jejak. Uangnya dibagi dan barang terlarangnya, akan diperjualbelikan lagi di pasar gelap dan hasilnya, akan kembali dibagi dengan adil. Keuntungan dua kali lipat. Tapi taruhannya pun adalah nyawa mereka sendiri.
Pagi harinya.
Maxime telah kembali dan terkapar lemas di sofa. Megan yang sudah bangun maupun mandi itu, pergi ke bawah. Ia pegangin perutnya sendiri sembari berjalan menuruni tangga. Ingin mencari makanan dan malah menemukan seonggok tubuh manusia di atas sofa sana.
"Kamu baru pulang??" tanya Megan dan yang baru juga memejamkan matanya itu, segera membuka kelopak matanya lagi. Ia duduk dan menatap Megan. Terutama, pada bagian yang tengah dipegangi oleh Megan sendiri.
"Kemarilah!" perintah Maxime dan Megan perlahan mendekati pria, yang matanya tertuju kepada dirinya itu.
"Ada apa??" tanya Megan. Namun tidak dijawab, oleh pria yang hanya memandanginya saja.
"Ada apa?? Kamu mau bicara apa???" desak Megan, yang tidaklah memiliki banyak waktu. Sudah lapar dan ingin segera mencari makanan di dapur.
"Ck! Tidak tahu ah!" seru Megan yang hendak pergi dari hadapan Maxime. Akan tetapi, tangannya malah disentuh dan direngkuh, hingga tubuh Megan jatuh di atas pangkuan Maxime.
Megan terbelalak. Kelopak matanya terbuka dengan sangat lebar dan saliva pun, ia telan dalam mulutnya. Ia hendak bangun dan turun. Namun, pria yang tengah tersenyum miring ini, malah melingkarkan kedua tangannya itu di tubuh Megan, hingga ia tidak bisa kabur darinya.
"Kamu mau kemana hm?" tanya Maxime, sembari menaik-turunkan alisnya bersamaan.
"Lepas! Aku mau pergi ke dapur!" seru Megan, yang tidak diberikan kesempatan untuk melepaskan diri, oleh pria yang tengah mengendus lengan Megan yang terasa dingin dan masih ada aroma sabun yang tertinggal di kulitnya tersebut.
"Kamu baru selesai mandi huh?" tanya pria, yang tatapan matanya nampak m***m sekali. Belum lagi, ia juga terlihat menggigit bibir bawahnya sendiri dan menatap Megan seperti seseorang yang menginginkan 'sesuatu'.
"Sudah awas! Aku mau cari makanan di dapur! Mau sarapan!" seru Megan.
"Aku juga ingin sarapan. Bagaimana, kalau kamu jadi menu sarapanku pagi ini??" ujar Maxime dan yang mendengar hal itu, langsung merinding. Ia bergegas bangun. Tapi Maxime malah meletakkan tubuh Megan di atas sofa dan juga membuka kaus yang melekat di tubuhnya sekarang ini.