Bab 3

1516 Kata
“Ayo, kita ke ruangan Pak Adrian. Biar sekalian serahkan langsung pengajuan surat rekomendasi. Katanya, harus ada tanda tangan beliau.” Setelah mengurus dokumen KOAS di ruang akademik rumah sakit, Alma menarik tangan Laras dengan semangat. Laras hampir menolak, tapi Alma sudah menyeretnya ke arah koridor utama. Kini, Laras berdiri kaku di depan pintu ruangan bertuliskan “Direktur Utama”. Jemarinya menggenggam kartu nama yang sempat ia temukan di kamar hotel. Tepiannya sudah sedikit kusut karena terus digenggam sejak pagi. Tubuhnya seperti enggan bergerak. Dadanya berdegup keras. Entah karena gugup… atau takut. “Kalau kamu nggak mau ikut, aku bisa sendiri,” gumam Alma dari sebelahnya, suaranya terdengar ringan. Laras menoleh, tersenyum tipis. “nggak… aku ikut.” Suaranya serak. Alma mengangguk, lalu mengetuk pintu. Sekejap kemudian, suara berat dari dalam ruangan menyahut, mempersilakan mereka masuk. Begitu pintu terbuka, Laras menahan napasnya. Ruangan itu luas, didominasi warna cokelat tua dan hitam. Di balik meja besar, berdiri pria yang sama, dengan setelan rapi yang membalut tubuh tinggi bidangnya. Rambut hitamnya disisir ke belakang, dan mata tajam itu langsung menatap mereka tanpa ekspresi. Untuk beberapa detik, Laras seperti kehilangan pijakan. Pandangannya mengabur. Ini terlalu dekat. “Selamat siang, Pak Adrian,” sapa Alma sopan sambil menyerahkan dokumen. “Saya sudah bawa berkas-berkas permohonan KOAS-nya.” Adrian mengangguk. Pandangannya beralih. Tepat pada Laras. Sekilas. Tapi, cukup untuk membuat Laras menunduk dalam-dalam. Ia tahu, tatapan itu menyimpan ingatan. Tatapan yang sama seperti semalem, hangat dan dingin sekaligus. “Nama kamu Laras, kan?” Suara itu akhirnya memecah keheningan. Dalam dan berat. Laras menelan ludah. “I-iya, Pak,” jawabnya pelan, nyaris berbisik. Alma menoleh, sedikit bingung. “Kok Bapak tahu?” Adrian tak langsung menjawab. Tatapannya sempat turun, lalu kembali menatap Laras dengan tenang. “Name tag di jasnya cukup jelas,” ucapnya pelan, lalu kembali duduk di balik meja. Suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya, seolah ia tahu jauh lebih banyak daripada yang ia katakan. Adrian menoleh sekilas ke arah Alma, lalu membuka suara dengan tenang. “Alma, kamu boleh keluar dulu. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan Laras.” Alma sempat terlihat kaget, tapi tak banyak bertanya. Ia tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Laras, seolah meminta izin untuk pergi lebih dulu. Laras hanya membalas dengan anggukan singkat. “Aku tunggu di luar, ya? Biar kamu juga bisa langsung ngobrol soal KOAS sama Pak Adrian.” Laras hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata apa-apa. Suasana di ruangan itu terasa menegangkan, apalagi ketika pintu tertutup kembali dan hanya menyisakan mereka berdua. Adrian menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Satu tangan menopang dagunya, sementara tatapannya tidak lepas dari wajah Laras. “Kamu pasti sudah melihat kartu nama yang kutinggalkan di nakas.” Nada suara Adrian terdengar tenang tapi menghunjam. Sorot matanya lurus menatap Laras yang berdiri di depannya, masih membisu, jemarinya mencengkram sisi jas putih dengan erat. Laras menelan ludah. Udara di ruang itu terasa lebih berat dari sebelumnya. “Iya…” suaranya nyaris tak terdengar. “Saya menemukannya…” Ia menunduk. Tatapannya kosong. Lalu mengumpulkan keberanian dan mengangkat wajah, walau matanya masih enggan menatap langsung pria itu. “Malam itu... Saya hanya sedang... bekerja.” Adrian diam. Wajahnya tak berubah, tapi tatapannya menajam. “Bekerja?” tanyanya, pelan, seperti sedang menguji sesuatu. Laras mengangguk perlahan. Suaranya goyah. “Saya butuh uang. Dan malam itu ada seseorang yang... meminta saya menemui klien di kamar hotel. Saya nggak tahu itu akan berakhir seperti...” Ia tidak melanjutkan. Kalimat itu terhenti oleh rasa malu yang mencekik di tenggorokan. Adrian melangkah mendekat, dengan langkah berat namun pasti. Sosoknya tinggi dan gagah, bayangannya seakan menelan Laras bulat-bulat. “So tell me,” suaranya rendah, nyaris berbisik namun menusuk. tanyanya dingin. “Melayani pria-pria kaya seperti itu? Is that the kind of job you enjoy, Laras?” Laras menggeleng cepat, wajahnya memucat. “Sa-saya nggak pernah... sebelumnya. Saya cuma... putus asa.” Adrian menatapnya beberapa detik, lalu berbalik dan kembali duduk di kursi. Jemarinya menyentuh berkas-berkas di meja, tapi jelas pikirannya tidak sedang membaca. “Lalu, kenapa kamu datang kemari?” tanyanya akhirnya. Laras menunduk sejenak, mencoba menenangkan napas yang mulai tak teratur. Dengan tangan gemetar, ia merogoh saku jas putihnya, dan mengeluarkan sebuah kartu nama hitam. Sudut kertas itu sudah agak kusut, seolah terlalu lama digenggam. “Kamu sekarang di sini sebagai dokter muda. Bukan karena kartu nama itu,” gumamnya datar. Laras mengangguk. “Iya. Saya memang diterima di Mahendra Medika untuk KOAS. Kebetulan… sangat kebetulan.” Tatapan Adrian mengeras, sejenak memperhatikan wajah Laras yang pucat dan tubuhnya yang tampak tegang. “Jadi,” katanya, berjalan perlahan ke sisi meja, “kamu tidak tahu siapa saya… sampai pagi itu?” Laras menggigit bibir. “Saya tidak melihat wajah Bapak malam itu. Kamar itu gelap... dan Saya terlalu takut untuk...” Ia menghentikan kalimatnya. Matanya bergetar. Adrian akhirnya mengambil kartu itu dari tangan Laras, lalu tanpa berkata apa pun, menyelipkannya ke dalam laci meja. “Lucu,” katanya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kupikir kamu akan kabur sejauh mungkin.” Laras menggeleng. “Saya butuh tempat KOAS. Ini kesempatan besar. Saya nggak bisa pilih-pilih…” Keheningan kembali mengisi ruangan. Adrian menatapnya lekat-lekat, lalu dengan suara lebih pelan namun dingin. “Lalu sekarang, setelah tahu siapa saya... apa yang akan kamu lakukan?” Laras mengatur napasnya yang mulai memburu. Tangan di pangkuannya saling menggenggam erat, berusaha menahan getaran yang muncul dari dalam dirinya sendiri. “Sa-saya… butuh uang,” suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas untuk memecah kesunyian di ruangan itu. Adrian menyeringai tipis, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat perut Laras mencelos. Tatapan matanya tak berubah, tetap dingin, tetap tajam, namun senyuman itu membawa tekanan yang lain, seolah ia sudah memperkirakan semuanya. “So predictable,” katanya, setengah tertawa. “Karena perempuan seperti dirimu… always so strong, until the bills show up.” Laras menegang. Ia ingin membalas, ingin membela diri. Tapi, suaranya tertelan oleh ketakutan. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Adrian berhenti di depannya, berdiri begitu dekat hingga Laras bisa mencium wangi maskulin dari parfum pria itu. Mahal dan terasa mengintimidasi. “Jadi,” katanya pelan, menatap lurus ke matanya, “seberapa jauh kamu mau bertahan kali ini?” Laras menunduk, giginya menggigit bibir bawah. Ia bisa merasakan darahnya mendidih oleh rasa malu, tapi ia tak berani menunjukkan perlawanan. Pria di hadapannya terlalu tenang, terlalu tajam untuk dibantah. “Saya nggak datang untuk menjual diri,” ucapnya pelan. Suaranya bergetar, tapi ada sedikit keberanian di ujung nada. Adrian menyandarkan tubuh ke meja, menyilangkan tangan di depan d a d a. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, namun tatapan matanya seolah menyayat lapisan luar diri Laras, melihat sampai ke lapisan terdalam. “Lalu, untuk apa kamu datang? Mengembalikan kartu nama yang bahkan tidak kamu buang sejak pagi itu?” Laras terdiam. Jemarinya meremas ujung jas putih yang membungkus tubuhnya. Dadanya naik-turun tak teratur. “Saya cuma… butuh bantuan,” lirihnya. “Sedikit saja…” Adrian mendekat perlahan, nadanya seperti menantang. “So… how much this time? Let’s put a price on your silence.” “L-lima ratus juta…” bisik Laras. “Untuk pelunasan biaya KOAS dan administrasi rumah sakit.” Tak ada perubahan di wajah Adrian. Hanya diam yang semakin panjang. “Jadi, kamu datang ke sini untuk meminta uang?” tanyanya pelan. Laras menggeleng cepat. “Tidak… saya… saya hanya ingin bekerja. Maksud saya, saya bisa kerja apa saja. Jadi admin, atau bantu bagian farmasi…” Adrian mengangkat satu tangan, memotong ucapan Laras bahkan sebelum selesai. Ia berdiri tanpa suara, lalu melangkah pelan menuju jendela besar di belakang mejanya. Bahunya tegap, posturnya nyaris seperti patung, dan siluetnya tampak mengintimidasi dalam jas biru tua yang sempurna jatuh di tubuhnya. Laras menatap punggung dingin itu, jauh, dan tak bisa ditebak. Dari pantulan kaca, ia melihat wajah Adrian yang tenang, tanpa ekspresi, tapi menyimpan sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Adrian berbicara tanpa menoleh. “You don't really have much of a choice, do you?” Suara itu datar, namun cukup untuk menghantam d a d a Laras seperti palu godam. Laras diam, kepalanya tertunduk. Matanya mulai memanas, tapi ia menahan air mata dengan sekuat tenaga. “Saya bisa bantu,” lanjut Adrian. Suaranya tenang, nyaris terdengar biasa. “Tapi, saya tidak suka hubungan transaksional yang setengah-setengah.” Ia berbalik, kembali menatap Laras dari balik meja. “Let’s just get married, then.” Laras membeku. “A-apa?” “Pernikahan kontrak. Hanya di atas kertas. Kamu dapat apa yang kamu butuhkan. Saya dapat apa yang saya inginkan, dan tidak penting bagimu untuk tahu apa itu.” Napas Laras tercekat. “Kenapa... harus menikah?” Suara Laras nyaris tak terdengar, tercekat di tenggorokan. Adrian menatapnya lama, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dengan santai. Senyumnya tipis, nyaris seperti mengejek. “Because trust is expensive… and marriage? It's legally binding.” Ia berhenti sejenak, lalu menajamkan tatapannya. “At least I’ll know you won’t run the moment you get what you want.” Hening kembali mengisi ruangan. Laras menunduk, bingung, takut, dan tercengang dalam satu waktu. “Kamu bisa menolak. Tapi, tawaran ini hanya berlaku hari ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN