Laras duduk di tepi ranjang kontrakannya. Ia memilih pulang ke sini daripada kembali ke rumah di desa, tempat yang tak mungkin bisa menampung luka seperti ini.
Matanya sembab, menatap kosong ke dinding yang mulai retak. Di tangan kanannya, ponsel terus bergetar. Notifikasi dari Mami Risa membanjiri layar, semuanya menuntut satu hal, memaksa Laras mengembalikan uang itu.
Jantung Laras berdegup tak karuan. Uang itu belum sempat ia gunakan, hanya menatap nominalnya saja membuat perutnya mual. Dengan tangan gemetar, ia mengetik angka-angka transfer. Detik berikutnya, uang itu kembali ke rekening Mami Risa.
Beberapa menit kemudian, pesan masuk dari Mami Risa.
“Mulai hari ini, kamu nggak perlu kerja di tempatku lagi.”
Laras menatap layar ponsel lama sekali. Tidak tahu apakah harus lega… atau justru lebih hancur dari sebelumnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama “Alma” muncul di layar. Jantung Laras mencelos.
Ia menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya menarik napas panjang dan menjawab, “Halo, Ma?”
“Laras! Kamu di kontrakan, kan? Aku mau ke sana. Kita ngobrol bentar, ya? Aku bawain kopi!”
Laras menelan ludah. “S-sekarang?”
“Iya dong. Aku udah di ojek online, tinggal lima menitan lagi nyampe. Nggak apa-apa kan?”
“Oh... i-iya, tentu. Hati-hati di jalan ya.”
Laras mematikan telepon dengan tangan bergetar. Ia buru-buru bangkit dari kasur dan menyeka sisa air matanya. Tak bisa membiarkan Alma melihat wajahnya seperti ini, bengkak, dan sedikit lebam.
Ia menarik napas panjang. Setidaknya, untuk lima belas menit ke depan, ia harus tampak seperti Laras yang biasa. Meski di dalam dirinya telah retak dan hancur tak bersisa.
“Laras? Kamu di dalam?”
Suara lembut Alma terdengar dari balik pintu.
Laras buru-buru menyeka wajahnya dan mencoba terdengar normal. “Iya, masuk aja…”
Alma membuka pintu, membawa dua cup kopi hangat. Rambutnya diikat rapi, wajahnya cerah seperti biasa.
“Aku beliin kopi favorit kamu,” ucapnya sambil tersenyum, menaruh satu cup di meja.
Laras memaksakan senyum. “Makasih, Ma…”
Alma menutup ponsel dengan senyum lebar. “Akhirnya dapat juga! Kita mulai KOAS bareng besok!”
Laras mengerutkan kening. “Dapat di mana, Ma?”
“Mahendra Medika,” jawab Alma riang. “Yang pusat. Kamu belum cek grup, ya?”
Darah Laras seperti surut dari wajahnya. “M-mahendra… Medika?” ulangnya nyaris berbisik.
Alma mengangguk cepat. “Iya. Rumah sakit pusat yang paling besar itu lho. Gila, Ras, aku nggak nyangka kita bisa tembus di sana! Dengar-dengar, sistemnya ketat tapi fasilitasnya terbaik.”
Namun semua yang Alma ucapkan terdengar jauh. Nama itu… langsung menyeret Laras kembali ke pagi tadi. Ke kamar hotel mewah itu. Ke selembar kartu nama hitam elegan di meja.
Adrian Mahendra
Direktur Utama – Mahendra Medika Group
Jantung Laras berdentam di dadanya. Tangannya mencengkeram lututnya yang gemetar.
“Ras?” Alma memiringkan kepala. “Kamu kenapa?”
Laras memaksakan senyum. “Cuma… kaget aja. Aku nggak nyangka kamu daftar ke sana.”
“Loh, kan kita udah sepakat mau KOAS bareng? Makanya aku daftarin kamu juga kemarin. Kamu sibuk, jadi aku bantuin.”
Laras menunduk. Mulutnya tercekat. Ia bahkan tidak bisa marah. Bukan pada Alma, yang niatnya baik. Tapi takdir benar-benar sedang mempermainkannya.
Bagaimana jika ia bertemu pria itu? Bagaimana kalau pria itu mengenalinya?
“Aku... nggak kenapa-kenapa, Ma. A-aku senang kok.”
**
Hari pertama KOAS tiba lebih cepat dari yang ia harapkan. Laras berdiri di depan gedung utama Mahendra Medika dengan jas putih rapi dan name tag menggantung di d a da. Matanya menyapu lobi mewah itu, marmer mengilap, aroma antiseptik dan wangi segar bunga lobi bercampur menjadi satu. Rumah sakit ini terlalu megah… terlalu mahal untuk impiannya yang sederhana.
“Laras!”
Alma melambai ceria dari dekat meja resepsionis. Di sampingnya ada seorang wanita muda berseragam resmi rumah sakit.
“Ini Kak Elin, koordinator rotasi kita.”
Laras tersenyum sopan dan menjabat tangan wanita itu. “Selamat pagi…”
“Selamat datang di Mahendra Medika. Kalian akan mulai dari ruang rawat VIP hari ini. Harap jaga etika dan profesionalitas. Banyak tokoh penting yang dirawat di sini.”
VIP. Tentu saja.
Langkah Laras terasa berat mengikuti rombongan KOAS menuju lantai atas. Entah kenapa, hatinya berdebar tak karuan.
Saat lift terbuka, seberkas suara langkah berat dan bariton tegas terdengar dari lorong samping. Beberapa perawat langsung berdiri tegak dan membungkuk sopan.
Langkah sepatu terdengar berderap di ujung koridor.
“Selamat pagi, Pak Adrian,” sapa seorang perawat.
Langkah Laras langsung terhenti.
Suaranya sopan, tapi cukup untuk membuat dunia Laras mendadak membeku. Ia menoleh pelan, tubuhnya seperti digerakkan sesuatu yang tak terlihat.
Dan di sana, berdiri seorang pria jangkung dalam setelan biru tua. Rambutnya tersisir rapi, rahangnya kokoh, dan sorot matanya tajam. Setiap langkahnya mantap, penuh wibawa. Sekilas, ia tersenyum tipis ke staf rumah sakit… lalu pandangannya beralih ke Laras.
Detik itu juga, jantung Laras seperti meloncat ke tenggorokan.
Tatapan itu. Ia tahu tatapan itu. Pria itu.
Adrian Mahendra.
Pandangan mereka bertaut sesaat. Tatapan pria itu datar, bukan karena lupa, tapi seperti tak pernah mengenal. Lalu Adrian kembali melangkah, melewati mereka begitu saja.
Tangannya mencengkeram map putih erat-erat, hampir meremukkan tepinya. D a da Laras sesak, tubuhnya seperti ditarik gravitasi dari dua arah.
“Ras?” suara Alma pelan. “Kamu kenapa? Pucat banget.”
Laras buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahnya. “Itu siapa?” tanyanya lirih, suara bergetar nyaris tak terdengar.
“Oh… Pak Adrian,” jawab Alma santai, seolah tak terjadi apa-apa. “Direktur Mahendra Medika. Jarang kelihatan, tapi kalau muncul… ya gitu deh. Auranya kayak CEO drama Korea.”
Laras mengangguk kecil, mencoba tertawa, tapi rasanya getir.
Alma masih bicara, “Dia itu… nggak banyak ngomong. Tapi semua orang di rumah sakit hormat banget. Kalau capek, biasanya agak jutek sih. Di rumah juga… eh, maksudku, di ruangannya, suka ngurung diri.”
Laras menoleh cepat. “Rumah?”
Alma terdiam sepersekian detik, lalu tertawa canggung. “Yah, rumah sakit ini kan kayak rumah kedua ya buat dia. Gitu maksudku.”
Tapi Laras tak menjawab. Ia hanya memandang Alma lama, diam-diam mencoba menebak sesuatu.
Alma menghindari tatapannya. Laras tahu ada sesuatu yang tak dikatakan sahabatnya. Tapi ia belum siap menggali lebih dalam, karena bahkan menatap punggung Adrian saja tadi sudah membuatnya nyaris roboh.