Hujan turun lagi malam itu, menitik lembut di atas atap rumah kecil di pinggiran kota yang sepi. Aroma tanah basah bercampur udara dingin memenuhi udara, membawa suasana yang entah kenapa terasa terlalu tenang untuk hati Laras yang gelisah. Dari jendela kamarnya, ia memandangi tetes-tetes air yang mengalir di kaca, menelusuri garis panjang seperti waktu yang tidak pernah berhenti berjalan. Sudah hampir seminggu ia tinggal di rumah ini, rumah yang diberikan oleh Rendra. Tidak ada yang tahu tempat ini, bahkan Mbak Rini pun tidak tahu pasti di mana mereka sebenarnya berada. Yang ia tahu hanya satu, mereka jauh dari siapa pun yang mengenal mereka. Tidak ada suara mobil kota besar, tidak ada gang kecil seperti di Kertalaya, tidak ada orang-orang yang lewat membawa kabar atau sekadar berbincang

