Malam itu, kamar penginapan terasa terlalu sempit bagi kepala Adrian yang penuh sesal. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia bersandar di dinding, napasnya berat, jemarinya menekan pelipis seolah ingin memaksa semua amarah dan penyesalan keluar bersamaan. Bayangan tadi di pantai terus berulang di kepalanya, suara tangisan Safira, wajah Rendra yang berlumur darah, tangan Safira yang ia genggam terlalu keras sampai perempuan itu meringis kesakitan. Ia menutup mata, tapi justru semakin jelas bayangan itu muncul, Safira yang menatapnya dengan wajah basah, suara bergetar memohon agar ia berhenti. “S h it…” gumam Adrian pelan, nyaris seperti sebuah desahan frustasi. Langkahnya berat menuju meja kecil di sudut kamar. Di atasnya tergantung sebuah cermin yang memantulkan wajahnya sendiri, wa

