Laras masih terpaku di depan foto itu.
Matanya membelalak, tapi tak mampu fokus. Dunia di sekelilingnya mengabur, yang tertinggal hanya bingkai kayu hitam dengan selembar foto yang terlalu tenang untuk kenyataan yang menggelegar di kepalanya.
Alma… anak Adrian.
Anak dari pria yang menidurinya malam itu.
Pria yang kini jadi suaminya.
Sahabatnya. Pria yang menghancurkannya.
Dan mereka… ayah dan anak?
Kepalanya seperti didera badai. Nafasnya pendek. Lututnya lemas.
Suaranya nyaris tercekat ketika membuka mulut. “Bibi… kenapa saya… nggak pernah dengar soal ini?”
Bibi Ina, yang sudah setengah jalan ke arah pintu, menoleh pelan. Ekspresinya tak berubah banyak, hanya agak heran. “Soal Alma, Neng?”
Laras mengangguk lemah. Pandangannya masih tertambat pada foto itu. “Dia... nggak pernah cerita. Bahkan sedikit pun... tentang siapa Ayahnya.”
Bibi Ina tampak makin bingung. “Neng, kenal anak Pak Adrian?” tanyanya pelan, nyaris tak percaya.
Laras tidak menjawab. Tenggorokannya tercekat. Hubungan itu memang tak pernah kelihatan, karena mereka berdua memang tidak terlalu akrab untuk saling berbagi kisah.
“Oh... ya memang, Neng.” Bibi Ina melangkah pelan ke arahnya. “Dari dulu Non Alma memang nggak pernah ngomong macam-macam. Cuma yang saya tahu, dia itu anaknya Pak Adrian. Udah.”
Laras mengerutkan kening. “Bibi tahu sejak kapan?”
Bibi Ina menggeleng. “Saya juga nggak pernah nanya. Yang pasti, Pak Adrian pernah bilang sendiri waktu awal-awal saya kerja di apartemen ini. Cuma satu kalimat, ‘Kalau Alma datang, perlakukan dia baik-baik. Dia anak saya.’ Udah, gitu aja.”
Sederhana. Seperti semua hal yang menyangkut pria itu.
“Jadi… Bibi nggak tahu siapa ibunya? Atau latar belakang Alma?”
“nggak, Neng,” jawab Bibi Ina, jujur. “Pak Adrian bukan tipe yang banyak ngomong apalagi cerita. Dan saya nggak berani nanya. Di rumah ini, semua orang jaga jarak.”
Laras terdiam. Kepalanya semakin pening.
Jadi bahkan orang terdekat Adrian pun tidak tahu banyak?
Siapa sebenarnya Alma? Dan apa yang dia sembunyikan?
“Apa… mereka dekat?” bisiknya.
Bibi Ina diam sejenak sebelum menjawab. “Kalau dekat seperti ayah dan anak pada umumnya... kayaknya nggak, ya. Mereka jarang bareng. Kalau ketemu, paling cuma basa-basi.”
Laras menatap Bibi Ina. “Terus... kenapa ada foto ini?”
Bibi Ina tersenyum kecil. “Itu satu-satunya yang pernah saya lihat. Mungkin... waktu itu berharga buat Pak Adrian. Fotonya juga baru ditaruh pas Non Alma usia 17 tahun.”
Berharga. Itu kata yang tepat.
Laras mencengkeram jemarinya sendiri, mencoba meredam gelombang emosi yang makin liar.
Jadi Alma selama ini memilih diam dan menyembunyikannya.
“Aku... nggak ngerti, Bi. Kenapa semuanya jadi rumit begini ya...”
Bibi Ina mengangkat bahu pelan. “Di rumah ini, Neng, nggak semua hal ada jawabannya. Kadang kita cuma disuruh jalan lurus… walaupun nggak tahu ujungnya ke mana.”
Laras menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti peringatan yang terlambat.
“Silakan istirahat, ya. Kalau Neng butuh apa-apa, tinggal panggil Bibi.” Bibi Ina menepuk pelan lengan Laras, lalu berjalan pergi dengan langkah tenang.
Pintu menutup perlahan. Suara klik kunci magnetik terdengar jelas di telinganya, seperti gerendel penjara yang tak kasat mata.
Laras masuk ke kamar. Ruangan itu luas, bersih, tapi tak ada kehangatan. Semuanya terlalu rapi, terlalu sunyi.
Seolah bukan tempat tinggal. Tapi ruang isolasi.
Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, bahunya merosot. Bibirnya bergetar saat berbisik pada dirinya sendiri.
“A-aku harus gimana sekarang…”
Ia memejamkan mata, tapi bayangan foto itu terus muncul di kelopak matanya. Senyum Alma dan Adrian dalam satu bingkai, senyum yang dulu terasa biasa, kini tampak menyeramkan.
Kenapa tidak ada sedikit pun tanda bahwa mereka ayah dan anak?
Bahkan saat kami bertiga berada dalam satu ruangan?
Tidak ada isyarat atau apapun.
Apa mereka sedang pura-pura? Atau memang begitulah keluarga ini bekerja, menolak saling mengakui?
‘Dan sekarang... aku ada di dalamnya.’
‘Bukan sebagai anak. Bukan sebagai istri. Bahkan bukan sebagai tamu.’
‘Tapi sebagai pajangan baru di rumah ini.’
Ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk.
‘Besok jam tujuh pagi. Kita ke catatan sipil. Jangan terlambat. – A’
Laras menatap layar itu. Diam. Nafasnya pelan.
Tak ada sapaan. Tak ada pertanyaan.
Hanya satu kalimat perintah yang tak bisa ditolak.
“Aku bukan istri. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya alat.”
Tangannya bergetar saat meletakkan ponsel itu ke meja kecil di samping ranjang. Jari-jarinya terasa dingin. Kepalanya mendongak pelan ke langit-langit.
“Apa aku masih bisa pulang?”
Tapi tak ada suara menjawab. Tak ada pintu keluar dari hidup yang telah ia setujui sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, Laras sadar...
Yang ia jual malam itu bukan hanya tubuhnya, tapi seluruh hidupnya.
Pada pria yang bahkan tak sudi menyebut namanya dengan hormat.
**
Pagi datang terlalu cepat.
Laras duduk di depan cermin besar. Rambutnya dikuncir rendah. Gaun hitam sederhana yang disiapkan Bibi Ina menggantung pas di tubuhnya. Sederhana, tapi jelas mahal. Setiap jahitan terasa seperti simbol penjara.
Belum pukul tujuh, ketukan terdengar di pintu.
Raka muncul dengan ekspresi netral, membawa satu berkas dan sepasang cincin kecil di dalam kotak beludru hitam.
“Pak Adrian sudah di mobil. Kita berangkat sekarang.”
Laras mengangguk. Ia tidak bertanya apa pun. Ia bahkan tidak ingin tahu apa pun lagi. Langkah kakinya pelan tapi mantap, menuju lift yang akan membawanya ke lantai bawah, ke kehidupan baru yang tidak ia pilih.
Mobil hitam itu senyap, seperti ruang hampa yang tak memberi tempat bagi suara selain deru AC yang monoton. Laras duduk kaku di kursi belakang, tepat di samping Adrian Mahendra. Pria itu hanya menatap ke luar jendela, ekspresinya dingin dan nyaris tak bernyawa.
Tak satu pun kata keluar dari bibirnya sejak ia masuk ke dalam mobil.
Tak ada basa-basi.
Tak ada pertanyaan apakah Laras sudah makan, atau apakah ia baik-baik saja.
Yang ada hanya keheningan yang terasa lebih menusuk.
Dan detak jantung Laras yang memburu tak karuan.
Ia meremas rok panjangnya yang kini kusut di pangkuan. Napasnya pendek dan berat, tapi tetap mencoba mengatur keberanian yang berserakan.
“Pak…” Laras akhirnya memberanikan diri bicara, meski suara itu nyaris tak terdengar. “Tentang Alma…”
Adrian menoleh dengan cepat. Gerakannya halus, tapi tatapannya tajam, dingin, dan mematikan, menusuk langsung ke pusat ketakutannya.
“Jangan bawa-bawa dia.” Suaranya rendah, tapi penuh tekanan.
Laras membeku. Jantungnya terasa mencelos.
“Saya hanya—”
“—Saya tidak suka membahas hal yang tidak penting,” potongnya dengan suara yang tegas dan dingin, seolah setiap katanya adalah perintah yang tak boleh dibantah. “Fokus pada kesepakatan kita. Itu saja.”
Kata-kata itu seperti tamparan tak kasatmata.
Laras menggigit bibir bawahnya. Rasa malu, sesak, dan terluka bercampur menjadi satu. Ia tak tahu mana yang lebih menusuk, penolakannya atas pembicaraan itu, atau caranya menyebut Alma sebagai sesuatu yang ‘tidak penting’.
Dengan kepala tertunduk, Laras menatap jemarinya yang saling menggenggam erat, seperti mencari pegangan agar dirinya tak runtuh di tempat.
Pria ini… bukan seseorang yang bisa dimengerti.
Dan untuk pertama kalinya, Laras benar-benar merasa seperti orang luar dalam hidup yang Mereka sampai di kantor catatan sipil yang sunyi pagi itu. Udara dingin, langit mendung, seakan ikut menyaksikan pernikahan yang tak diiringi restu siapa pun.
Tanpa banyak bicara, mereka masuk ke dalam. Petugas mengarahkan mereka ke meja di sudut ruangan. Semua terasa seperti prosedur kosong. Selembar demi selembar dokumen ditandatangani. Laras hanya mendengar suara pena menggores kertas dan instruksi monoton dari petugas yang tak bertanya apa-apa soal cinta, atau kesiapan, atau janji sehidup semati.
Adrian menandatangani setiap berkas dengan tangan mantap, cepat, dan tanpa ragu. Seperti ia sudah melakukan ini puluhan kali.
Laras menuliskan namanya perlahan. Tangannya gemetar. Tinta di kertas hampir menumpuk di satu titik karena jemarinya nyaris terpaku di tengah garis tanda tangan.
Selesai.
Petugas menyerahkan buku nikah kepada mereka dengan senyum kecil yang terpaksa. “Selamat, semoga langgeng ya…”
Adrian menerimanya tanpa membalas senyuman itu, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Laras. Ia hanya menyelipkan buku itu ke dalam jasnya.
“Sudah selesai. Ayo,” ucapnya datar, tanpa intonasi.
Laras hanya menunduk. Ia mengikuti langkah Adrian dari belakang, seperti bayangan yang tidak dianggap. Sepatu hak rendahnya terdengar pelan bergesekan dengan lantai marmer yang dingin.
Di depan pintu keluar, ia mencoba bicara dan entah kenapa. Mungkin karena butuh sesuatu yang bisa ia pegang. Sedikit validasi, sedikit pengakuan.
“Pak…” gumamnya pelan. “Sekarang saya… istri Bapak, kan?”
Adrian berhenti sejenak. Bahunya naik turun pelan, lalu ia menoleh setengah. Tatapannya tetap datar.
“Secara hukum, yes. But don’t confuse legality with reality,” katanya pelan, dalam bahasa Inggris. “You signed a deal. Not a vow.”
Laras menelan ludah. matanya terasa matanya panas.
“Apa saya akan tinggal di rumah Bapak mulai sekarang?”
“Tidak. Saya akan atur tempat tinggal dan pengawalan. Jangan minta lebih dari itu.”
Jawabannya seperti pintu yang dibanting di depan wajahnya.
Adrian kembali berjalan tanpa menunggu, meninggalkan Laras yang berdiri di ambang pintu kantor catatan sipil. Bahkan Adiran sama sekali tidak menengok ke belakang.
Tapi ia tahu... sejak malam itu di kamar hotel, hidupnya memang sudah dijual. Ia hanya baru benar-benar menyadari berapa mahal harga yang harus dibayar.
Laras akhirnya berjalan di belakangnya, langkahnya pelan, seolah baru saja menandatangani kontrak dengan taruhan nyawa. Tapi ia tahu... sejak malam itu di kamar hotel, hidupnya memang sudah dijual. Ia hanya baru menyadari berapa mahal harga yang harus dibayar akibat keputusannya itu.
Mobil kembali melaju melewati jalan-jalan kota. Adrian masih diam, sibuk dengan ponselnya, seolah pesan-pesan itu lebih penting daripada seorang wanita yang duduk di sebelahnya dengan penuh gelisah.
Laras akhirnya tak tahan, dan mencoba untuk membuka suara. “Ke-kenapa Bapak memilih saya?”
Guliran di ponsel Adiran terhenti, tapi Adrian tidak langsung menjawab. Saat akhirnya bicara, suaranya datar, nyaris tak memberi celah perasaan untuk berbicara.
“Kenapa? Mulai menyesal sekarang?”
Laras menoleh cepat, matanya membulat mendengar jawaban Adrian. Itu bukan jawaban, justru itu adalah pertanyaan jebakan yang dilontarkan oleh Adrian.
Tapi Adrian tetap menatap lurus ke jalan. Sorot matanya gelap, suaranya tenang tapi kejam.
“Pernikahan ini hanya formalitas untuk saya, dan kebetulan kamu datang. Tidak lebih. Jangan berharap yang tidak perlu. Dan jangan sentuh urusan pribadi saya.”