Bab 7

1886 Kata
Laras memilih untuk tidak menjawab lagi. Kata-kata Adrian masih menggantung di udara seperti dinding yang tak bisa ia tembus. Ia hanya menatap punggung kursi di depannya, seraya jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Mobil terus melaju, menelusuri jalan-jalan lebar yang seolah menjauhkan Laras dari kehidupan lamanya setiap detik. Tak ada lagi percakapan di antara mereka. Suara yang terdengar hanyalah deru mesin, dentingan notifikasi ponsel Adrian, dan denyut jantung Laras yang terasa terlalu keras di telinganya sendiri. Ia benar-benar merasa gugup, karena ia sadar, ia baru saja memulai perjanjian yang mungkin tidak akan pernah bisa dilepaskan begitu saja. Ia juga tidak tahu apakah pria itu benar-benar tidak peduli, atau justru sengaja membuatnya merasakan jarak ini. Ketika mobil akhirnya berbelok ke jalan yang lebih sepi, Laras melihat sebuah gedung tinggi dengan fasad kaca berkilau di kejauhan. Mobil berhenti di area parkir basement yang sunyi. Adrian mematikan ponselnya, menaruhnya di pangkuan. Pandangannya tetap mengarah ke depan. “Raka, antar dia masuk. Tunjukkan semua yang perlu dia tahu.” “Baik, Pak,” jawab Raka singkat. Laras menoleh, sedikit terkejut. “P-pak Adrian… tidak ikut?” Adrian akhirnya menatapnya, sekilas. “No. I have work to do. Just follow the rules, and you’ll be fine.” Nada suaranya sangat datar dan tanpa ruang untuk dibantah. Ia kembali menoleh ke depan, memberi isyarat halus dengan tangannya agar Laras turun. Laras menarik napas, lalu membuka pintu. Udara basement yang dingin langsung menyusup masuk. Raka sudah berdiri di sisi lain mobil, menunggu. “Silakan, Nyonya,” ucapnya sambil mempersilakan Laras berjalan di depannya. Saat ia melangkah menjauh, Laras sempat menoleh sekilas. Adrian masih duduk di kursinya, satu tangannya mengecek ponselnya kembali, tanpa sedikit pun usaha untuk melihatnya pergi. Pintu mobil menutup, suara mesinnya kembali hidup. Dalam hitungan detik, kendaraan itu melaju meninggalkan area parkir, menyisakan Laras dan Raka yang berdiri di depan lift pribadi. “Ke sini,” ujar Raka singkat. Mereka masuk ke lift yang bergerak mulus menuju lantai tertinggi. Begitu pintu terbuka, lorong singkat mengarah pada pintu besar berwarna hitam doff. Raka mengeluarkan kartu akses dan memindainya di panel digital. Bip. Pintu bergeser otomatis. “Mulai malam ini, Nyonya tinggal di sini,” kata Raka sebelum mempersilakan Laras masuk. Tak ada senyuman ramah dan tak ada nada hangat. Hanya pernyataan fakta yang berat seperti vonis. Laras menelan ludah. Dengan perasaan campur aduk, langkah Laras terasa ringan dan berat di saat bersamaan ketika ia mengikuti mereka masuk. Aroma lembut kayu yang bercampur dengan wangi citrus menyambutnya, berpadu dengan kesunyian yang terlalu sempurna. Laras melangkah masuk. Apartemen itu luas, hangat, dan mewah, dengan pencahayaan lembut serta jendela besar yang menampilkan panorama kota. Namun, bagi Laras, semua itu sama saja dengan penjara yang mewah, indah tapi dingin. Raka, dengan jas hitam rapi dan ekspresi datar seperti biasa, berjalan di belakangnya sambil membawa sebuah map tipis. “Silakan duduk, Nyonya Laras,” ujarnya singkat, mempersilakan Laras ke sofa besar di ruang tamu. Laras duduk perlahan. Jari-jarinya menyentuh kain sofa yang halus, tapi rasa asing justru semakin menekan dadanya. Raka duduk di sofa seberang Laras, meletakkan map hitam di pangkuannya sebelum membukanya. Raka membuka map itu dengan perlahan. “Ada beberapa hal yang harus Nyonya patuhi selama tinggal di sini, sesuai instruksi dari Pak Adrian.” Ia mengeluarkan selembar kertas tebal dan menaruhnya di meja kaca yang ada di antara mereka. Ujung jarinya mengetuk sekali kepada poin di mana Laras bisa membacanya, seolah memastikan Laras memperhatikan. “Pertama, jam malam pukul sembilan. Nyonya tidak diperbolehkan berada di luar unit ini setelah itu, kecuali ada izin langsung.” Laras menunduk sedikit, matanya bergerak membaca. "Ke-kenapa?" tanya Laras seraya menatap Raka di depannya. “Rumah ini dipantau oleh CCTV, sehingga Nyonya diharapkan tidak membuat kegaduhan atau hal-hal yang mungkin bisa mencurigakan.” jawabnya santai. “Saya lanjutkan, kedua, tidak menerima tamu dalam bentuk apapun, kecuali orang yang mendapat persetujuan langsung dari Pak Adrian.” “K-kalau Alma?” tanyanya pelan, mencoba terdengar biasa. Raka mengangkat pandangan sejenak, bola matanya mencoba untuk meneliti wajah Laras, lalu kembali ke kertas di tangannya. “Itu hal yang termasuk harus mendapat persetujuan beliau.” Laras mengangguk, lebih sebagai isyarat bahwa ia mengerti daripada tanda setuju. “Ketiga, semua aktivitas, termasuk jadwal KOAS Nyonya, harus dilaporkan setiap hari melalui saya. Keempat, tidak diperkenankan mengubah tatanan ruangan atau membawa barang tanpa pemeriksaan.” Bunyi gesekan kertas saat Raka merapikannya terdengar jelas di ruangan yang sepi itu. “Cukup itu saja. Saya harap Nyonya mematuhi semuanya,” ucapnya singkat sebelum menutup map. “Pak Adrian tidak menyukai pelanggaran.” Kertas di meja tetap terbuka. Laras menatapnya beberapa detik, menyadari bahwa meskipun aturan itu tampak sederhana, kertas itu jelas dimaksudkan untuk mengendalikan setiap gerakannya. Raka menutup mapnya, lalu berdiri. “Mbak Rini akan membantu Nyonya selama tinggal di sini. Kalau ada kebutuhan apa pun, sampaikan ke beliau. Saya pamit.” Dari arah lorong, seorang wanita berusia sekitar awal empat puluhan keluar. Tubuhnya ramping, rambutnya diikat rapi, dan wajahnya memancarkan kehangatan. “Selamat malam, NyonyaLaras,” sapanya sambil tersenyum sopan. “Saya Mbak Rini. Mulai sekarang, saya yang akan urus semua di sini, dari mulai masak, beres-beres, atau kalau Nyonya butuh ditemani, bilang saja.” Laras mengangguk singkat. “Terima kasih, Mbak.” “Kalau mau, saya bisa buatkan teh hangat atau makanan ringan. Di dapur masih ada sup,” tawarnya. “Tidak usah, Mbak. Saya… sudah makan,” jawab Laras pelan. Mbak Rini hanya mengangguk, lalu kembali ke dapur. Aroma kaldu samar menguar dari sana, memenuhi keheningan ruangan. Begitu Raka dan Mbak Rini menghilang dari pandangan, Laras menatap lembar aturan itu lama sekali. Pikirannya melayang ke Alma. Ia ingin sekali menekan tombol panggilan di ponsel, sekadar mendengar suara sahabatnya. Tapi gambar bingkai foto di lorong rumah Adrian itu kembali menghantam pikirannya pada Alma dan Adrian, berdiri berdampingan. Anak dan ayah. Kenyataan yang membuat tenggorokannya terasa kering. ** Malam merayap masuk, meninggalkan siluet gedung-gedung tinggi dan lampu kota yang berkilau di balik jendela besar ruang tamu. Laras duduk di sofa, buku catatan KOAS terbuka di pangkuannya. Matanya bergerak di atas halaman, tapi setiap kalimat terasa seperti bayangan seperti ada di sana, namun sulit ditangkap. Suara kunci elektronik berbunyi. Mendandakan pintu utama terbuka. Laras spontan menoleh. Adrian melangkah masuk. Jas kerjanya sudah tidak ada, meninggalkan kemeja putih dengan lengan yang tergulung rapi. Rambutnya sedikit berantakan, dan meski ekspresinya tetap dingin, guratan lelah terlihat dari matanya. “Kamu masih bangun,” ucapnya, nadanya datar tapi rendah, lalu menambahkan, “It’s late for you.” “Saya… sedang belajar,” jawab Laras cepat sambil menutup buku catatan. Ia tidak menyangka pria itu akan pulang malam ini. Adrian melewati ruang tamu tanpa banyak bicara. Pandangannya sempat berhenti pada lembar aturan yang masih terbuka di meja. Ia mengambil satu langkah mendekat. “Kamu sudah baca?” tanyanya, tatapannya lurus dan tenang. “Sudah.” “Good. Make sure you follow them. No exceptions.” Nada suaranya ringan, tapi ada tekanan halus yang cukup untuk membuat Laras kembali menunduk. Hening beberapa detik. Laras memberanikan diri membuka suara, meski napasnya terasa lebih berat. “Boleh saya tanya sesuatu?” Adrian mengangkat alis tipis. “Go ahead.” “Kemarin… Bapak bilang tidak akan tinggal di apartemen ini. Jadi… kenapa malam ini Bapak di sini?” Nada suaranya pelan, hampir ragu, seperti takut pertanyaan itu dianggap lancang. Adrian menatapnya sebentar, lalu menoleh ke arah jendela. “Plans change. Dan ini apartemen saya. I can be here whenever I want.” Jawaban itu tegas, tidak memberi ruang untuk diskusi lebih lanjut. Laras mengangguk kecil, kembali menunduk pada buku catatan yang sudah tertutup rapat di pangkuannya. Adrian berjalan ke dapur, menuang air mineral ke gelas dan meneguknya. Sekilas, Laras melihat gerakan bahunya yang tenang, seolah ia memang terbiasa berada di ruang ini, meski sebelumnya berkata tidak akan tinggal bersama. Ketika kembali melewati sofa, langkah Adrian melambat. Pandangannya jatuh pada buku catatan yang tertutup di pangkuan Laras. “How’s your first day?” suaranya datar, tapi cukup untuk membuat Laras mengangkat kepala. Sedikit terkejut mendengar ia bertanya, Laras menjawab pelan, “Saya masih… menyesuaikan diri di rumah sakit.” Adrian hanya mengangguk singkat. Ia melangkah lagi, tapi bukan menuju kamar tamu seperti yang Laras bayangkan. Justru ke arah koridor yang berujung pada kamar utama, yang saat ini adalah kamarnya. Laras sempat memandanginya, dahi berkerut. “Bapak… mau ke kamar saya?” tanyanya, nada suaranya ragu, nyaris gugup. Adrian berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi tenang yang entah kenapa justru membuat jantung Laras berdebar lebih kencang. “It’s my room,” ucapnya singkat. “You’ll adjust.” Tanpa menunggu reaksi, ia kembali berjalan dan membuka pintu kamar utama, masuk begitu saja. Sebelum menutup pintu, tatapannya sempat bertahan pada Laras selama beberapa detik tapi bukan tatapan hangat, dan lebih seperti menilai. “Get some rest. You’ll need it,” katanya sebelum naik ke kamar utama. Laras masih terpaku di sofa, merasakan dengan jelas bahwa malam ini akan berbeda dari yang ia bayangkan. Laras merapikan buku-buku yang berserakan di meja dan sofa, memasukannya kembali ke dalam tas. Lalu ia mulai beranjak meninggalkan ruang tamu menuju kamar utama. Perasaannya sangat campur aduk, ia benar-benar tidak terbiasa tidur dengan orang lain, terlebih ini adalah pria, yang sudah menjadi suaminya. Walau kenyataannya sangat pahit. Satu persatu anak tangga ia naiki dengan perasaan was-was. Sesampainya di depan kamar, Laras tidak langsung masuk, ia mencoba menetralkan pikiran dan rasa cemasnya. Laras berdiri di depan pintu kamar utama. Tangannya menggenggam gagang pintu. Dari balik kayu itu, samar-samar terdengar suara air mengalir. Napasnya terasa berat. Ia menelan ludah, lalu memutar gagang perlahan. Begitu pintu terbuka, aroma sabun dan uap hangat langsung menyergap. Adrian keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggang. Rambutnya basah, dan beberapa tetes air mengalir di sepanjang d a da dan perutnya yang berotot. Laras terpaku sepersekian detik, sebelum buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. “Maaf… saya kira Bapak sudah—” Adrian mengangkat alis tipis, setengah tersenyum seperti baru saja menangkap sesuatu. “You were staring,” katanya santai. “Don’t tell me you didn’t enjoy it. You did that night.” Laras memejamkan mata sesaat, mencoba menahan reaksi wajahnya. “Saya… bukan—” “Come on,” potong Adrian, suaranya lebih rendah. “If you think about it, this is our first night after the wedding. So why not do what newlyweds do?” Jantung Laras berdetak keras. Kata-kata itu membuat tubuhnya kaku di tempat, seperti kedua kakinya menolak bergerak. Adrian tidak mendekat, tapi tatapannya saja sudah cukup untuk membuat napasnya tersendat. Adrian mengambil kaus dari dalam lemari, tapi tidak langsung memakainya. Ia meletakkannya di kursi, lalu menoleh sebentar ke arah Laras yang masih berdiri di dekat pintu. “Kamu mau berdiri di situ terus?” tanyanya santai, nada suaranya nyaris terdengar seperti ejekan. Laras menghela napas, lalu melangkah masuk pelan. Ia memilih sisi tempat tidur yang paling jauh dari Adrian, duduk di tepi ranjang sambil menunduk. Adrian berjalan melewati sisi tempat tidur, tubuhnya masih hanya terbalut handuk. Ia menepuk pelan bagian ranjang di dekatnya. “Relax. I’m not going to do anything tonight.” Laras mengangkat kepala, sedikit lega, meski sorot matanya masih waspada. “Terima kasih,” ucapnya pelan. Adrian tersenyum tipis, tapi tatapan matanya tak lepas darinya. “But…” ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun setengah oktaf. “I’m not making any promises for the other nights.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN