Adrian berdiri di hadapan jendela besar kamarnya, memandang kosong ke arah taman yang mulai diselimuti embun pagi. Perintah ayahnya semalam masih terngiang, memaksanya untuk pindah, yang ia tahu akan mengubah segalanya. Bukan karena ia keberatan dengan kemegahan rumah utama Mahendra yang jauh lebih besar, melainkan karena kepergiannya dari rumah ini berarti meninggalkan Laras dalam bayangan, sebuah langkah yang terasa seperti mengkhianati hati kecilnya. Perasaan bersalah, namun juga tuntutan akan tanggung jawab besar, bergejolak di dalam dadanya. Tok… Tok… “Masuk.” Raka membuka pintu kamar utama, “Semua sudah siap, Pak. Mobil juga sudah menunggu di teras.” Adrian tidak menoleh, pandangannya masih terpaku pada kabut tipis di luar. “Bagaimana dengan Laras?” Suaranya rendah, tanpa emosi

