“Pak Rendra…” ucapnya pelan, ragu-ragu. “Maaf kalau tadi saya nggak bisa baca situasi.” Suara itu terdengar serak, nyaris seperti bisikan. Rendra tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap ke depan, mengikuti garis jalan yang berkilau oleh sisa air hujan. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu yang berat. “Pipi kamu gimana?” tanyanya akhirnya. Laras sempat terkejut. Ia kira Rendra akan menanggapi permintaan maafnya, tapi ternyata tidak. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipinya yang masih terasa panas. Denyut nyeri kecil terasa di bawah kulit, tapi ia tidak mempermasalahkannya. “Nggak apa-apa, Pak,” jawabnya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata. “Cuma agak perih sedikit. Saya pantas, kok.” “Jangan bilang begitu,”

