Pagi itu, langit di atas kota sudah begitu terik ketika Adrian melangkah masuk ke gedung utama Mahendra Medika Group. Dari luar, bangunan itu tampak megah, berdinding kaca, berdiri kokoh di tengah kawasan bisnis kota. Adrian berjalan cepat melewati lobi, disambut oleh beberapa karyawan yang menunduk hormat. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Jas dokter berwarna abu-abu tua membungkus tubuhnya rapi, tapi sorot matanya tidak menunjukkan ketenangan seorang dokter. Ada kelelahan, ada tekanan yang tidak pernah benar-benar padam. Begitu sampai di lantai delapan, lantai eksekutif tempat ruang rapat keluarga berada, Adrian mendapati sosok yang sudah menunggunya di depan pintu kaca besar. “Mas Adrian,” sapa Safira pelan. Wanita itu berdiri anggun di bawah cahaya lampu gantung yang jatuh lembut ke

