“Ini… kamu yakin?” suara Adrian terdengar nyaris seperti bisikan. Siang tadi, setelah menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit, ia mendapat telepon panik dari Raka. Tanpa pikir panjang, ia langsung kembali ke kantor. Adrian duduk di kursinya dengan punggung tegang, kedua tangannya bertaut di atas meja. Wajahnya tampak serius, dan tatapannya tidak lepas dari layar laptop yang menampilkan lembar perjanjian kerja sama antara Mahendra Group dan Wijaya Group. Raka, asistennya, berdiri di samping meja sambil membawa beberapa berkas. Raka menelan ludah. “Saya sudah periksa ulang. Di kontrak yang dikirim dari pihak Wijaya, ada tambahan klausul. Nilainya besar, dan merugikan pihak Mahendra. Kalau kita tanda tangan versi itu… Mahendra bisa kehilangan hak atas aset rumah sakit utama.” Adrian

