Aku menghembuskan napas saat memandang wajah merana melalui cermin besar yang berdiri kokoh di depanku, sesekali aku melihat jariku yang kini sudah terpasang cincin pemberian Gibran G. Cincin cantik bermata satu yang semalam disematkannya tanpa seizinku. Setahuku semua wanita akan bahagia, tertawa dan menangis terharu tapi entah kenapa perasaanku kini aneh, aku merasa sedih seakan cincin ini hanya akan sebentar tersemat di jariku. "Anak gadis nggak boleh berdiri lama-lama di depan cermin, nanti pecah loh kacanya," suara kak Aisha membuatku kembali menghembuskan napas, aku yakin kedatangannya pasti untuk mengolok-olokku tentang lamaran Gibran G yang mau nggak mau, mesti, kudu, wajib, harus aku terima. "Takhayul," balasku sambil kembali duduk di ranjang, aku merebut majalah yang dipe