1. Kerinduan yang Mengigit
Arkatama Pravat berjalan tenang memasuki kantor Rumpun Sekata, platform menulis yang sudah dia rintis sejak tiga setengah tahun lalu. Ada perasaan bangga dan puas setiap kali melihat betapa pesatnya kantor ini berkembang. Arka memulai usahanya di sebuah ruko kecil dua lantai. Kini mereka telah menempati gedung perkantoran di bilangan elite Jakarta dan memakai tiga lantai sekaligus.
Baru saja Arka keluar dari lift, Kresni sudah menyambutnya. “Mas Arka, ini daftar sepuluh cerita rekomendasi dari tiap divisi untuk minggu mendatang.”
“Coba saya lihat dulu." Arka mengambil map biru dari perempuan yang sudah dua tahun ini menjadi manajer promosi di Rumpun Sekata. Dia memeriksa sekilas kelima halaman berisi daftar cerita rekomendasi itu dan menemukan satu halaman dengan data yang tidak biasa. “Kalau ini apa?”
“Ini ada satu cerita lagi yang menarik perhatian Divisi Roman, tapi mereka tidak terlalu yakin, Mas.”
Kening Arka langsung berkerut. “Alasannya?”
“Data pembacanya bagus. Sudah tiga minggu ini selalu masuk daftar cerita terlaris, tapi masalahnya sudah dua bulan lebih tidak ada pembaruan episode, Mas.” ujar Kresni menyampaikan hasil rapatnya bersama kelima divisi yang menangani masing-masing genre cerita di Rumpun Sekata.
“Ceritanya sudah lama tamat?”
“Bukan. Sepertinya cerita itu hiatus.”
“Beri saya waktu," ujar Arka tenang. "Saya akan periksa dulu semua. Nanti saya kabari kamu.”
Arka segera menuju ruangannya dan melihat tumpukan berkas yang sudah menanti di meja kerja. Hari baru saja dimulai, tetapi banyak pekerjaan sudah menanti. Namun, hal itu tidak menjadi masalah bagi Arka.
Sebagai pemilik sekaligus pimpinan tertinggi di Rumpun Sekata, dia memang terkenal sebagai sosok penggila kerja. Tumpukan pekerjaan dan jadwal yang padat tidak pernah membuatnya pusing, malah membangkitkan semangat. Bagi Arka, pekerjaan adalah prioritas dalam hidupnya.
Banyak orang yang berasumi bahwa Arka pasti merasa kesepian karena di usia yang sudah menginjak 32 tahun dia belum juga berkeluarga. Jangankan berkeluarga, pacar saja tidak ada. Namun, bukan Arka tidak laku. Secara penampilan, pria berdarah Indonesia-Thailand ini terlihat sangat tampan, bahkan nyaris sempurna. Hanya saja, bagi Arka urusan percintaan hanya membuang-buang waktu.
Setelah selesai memeriksa semua berkas di meja, Arka menyempatkan waktu untuk melihat cerita laris yang dikatakan sedang hiatus. Lamat-lamat dia membaca judulnya, “Seratus Malam di Pulau Dewata ….”
Arka segera membuka laman situs Rumpun Sekata dan mengetikkan judul itu dalam kolom pencarian. Baru membaca kalimat pembuka saja Arka langsung merasa terusik.
~ Pertemuan kami bukanlah sesuatu yang disengaja.
Namun, perpisahan ini kami yang pilih.
Bagiku, 100 hari yang kami lalui bersama begitu penuh kenangan.
Terima kasih untuk kamu yang sudah singgah dan memberi warna untukku.
Andai boleh meminta, aku ingin sedikit lebih lama bersamamu.
Bahkan, sedikit keserakahan membuatku berharap kelak kita bertemu lagi.
Meski mustahil terwujud, kebersamaan kita tidak pernah menjadi penyesalan bagiku.
Jika waktu bisa terulang, aku akan tetap memilih jalan yang sama. ~
Namun, Arka tidak punya waktu untuk membaca seluruh cerita berjumlah 28 episode itu. Arka langsung menuju episode terakhir. Seketika jantungnya berdegup kencang dan dia terenyak. Membacanya membuat Arka merasa deja vu.
“Kenapa membaca ini membuat aku teringat dengan kamu?” gumam Arka gugup. Tidak ingin membuang waktu, Arka segera mengangkat telepon dan menghubungi Kresni.
"Ya, Mas Arka?" sambut Kresni sigap.
“Kresni, apa cerita yang hiatus ini ditulis oleh penulis baru?”
“Tidak bisa disebut baru juga, Mas. Sebelum cerita yang ini, sudah ada dua cerita lain yang tamat. Ada juga satu cerita lain yang sedang digarap, tapi tidak terlalu ramai pembaca.”
“Siapa editornya?”
“Penulis ini pegangan Malini, Mas.”
“Tolong minta Malini ke ruangan saya.”
Seraya menunggu kedatangan Malini, pikiran Arka melayang pada sosok itu. Bayangan wanita dengan sejuta pesona itu memang selalu mengusiknya sejak hari terakhir mereka bertemu, membuat Arka merasakan kerinduan yang menyiksa. Tidak pernah sebelumnya Arka merasakan sesuatu seperti ini. Sosok itu adalah orang pertama yang sanggup membolak-balikkan seorang Arka.
Selang beberapa waktu, pintu ruang kerja Arka diketuk.
“Siang, Mas Arka,” sapa Malini sambil melangkah masuk. “Tadi Mbak Kresni bilang kalau Mas Arka panggil saya.”
“Kamu editornya KotakHitam?” tanya Arka memastikan.
“Betul, Mas.”
“Duduk, Malini. Ada hal yang mau saya tanyakan.”
“Ada apa, Mas?” tanya Malini sedikit kecut sambil berpikir-pikir adakah kesalahan yang telah dibuatnya?
Arka menunjuk layar komputernya dan bertanya tanpa basa-basi, “Cerita KotakHitam yang berjudul “Seratus Malam di Pulau Dewata” banyak dibaca, tapi sudah lama tidak ada pembaruan episode. Kamu tahu ada apa dengan dia?”
“Maaf, Mas. Saya kurang tahu.”
“Sudah pernah kamu tanya?”
“Sudah, Mas. Dia hanya menjawab, tidak tahu harus melanjutkan kisahnya seperti apa.”
“Sudah coba kamu dorong untuk melanjutkan?”
Pertanyaan bertubi dari Arka membuat Malini tegang bukan main. “Sudah, Mas. Tetap tidak berhasil. Dia malah memilih menggarap cerita yang lain.”
Arka menggeleng kecewa. “Sayang sekali tidak dilanjutkan. Padahal peluangnya besar untuk jadi laris.”
“Saya juga sudah bilang begitu, Mas. Apalagi kalau lihat komentar pembaca yang sepertinya sangat penasaran mengetahui kelanjutan kisahnya akan seperti apa.” Entah apa yang membuat cerita dari KotakHitam tiba-tiba menjadi laris padahal sebelumnya tidak, Malini sendiri tidak mengerti. Mungkinkah karena di awal sang penulis membuat pernyataan bahwa cerita itu berdasarkan kisah nyata?
Arka terdiam beberapa saat dan kembali mengajukan pertanyaan, “Apa kamu mengenal penulis ini secara pribadi?”
Malini terlihat tidak yakin, lalu bertanya hati-hati, “Maksud Mas Arka suka mengobrol?”
“Kurang lebih begitu.” Arka berusaha tetap terlihat tenang demi menjaga wibawa di hadapan bawahannya. Padahal, perasaan Arka mendadak tidak karuan saat ini. Ada sedikit harapan yang tiba-tiba hadir dalam hatinya untuk bisa bertemu kembali dengan wanita itu. “Mungkin kamu tahu siapa nama aslinya?”
Malini menggeleng penuh sesal. “Saya jarang mengobrol dengan dia selain untuk urusan pekerjaan, Mas. Orangnya sangat tertutup. Di grup saya pun tidak ada yang tahu siapa nama aslinya.”
“Kamu tahu media sosialnya?”
“Media sosialnya khusus memuat segala sesuatu tentang hal berbau kepenulisan, Mas. Tidak ada yang lain.”
“Tidak ada informasi soal di mana tempat tinggalnya?”
“Tidak ada, Mas.” Diam-diam Malini merasa heran. Mengapa Arka kelihatannya penasaran sekali dengan sosok KotakHitam? Sehebat itukah ceritanya di mata Arka?
“Kalau foto?”
Malini mengerutkan kening. “Foto diri maksudnya, Mas?”
“Benar.”
“Tidak ada, Mas.”
“Di nomor kontaknya tidak ada foto?” tanya Arka masih belum menyerah.
“Tidak ada dan belum pernah ada. Sosoknya sangat misterius, Mas.”
“Baiklah.” Arka sadar sudah waktunya dia berhenti bertanya. “Terima kasih, Malini.”
Kekecewaan tergambar di raut wajah Arka dan Malini menyadarinya. Dia memberanikan diri untuk bertanya, “Kalau saya boleh tahu, kenapa Mas Arka kelihatannya sangat penasaran dengan KotakHitam?”
“Bukan apa-apa.” Arka menggeleng kaku dan sikapnya seketika kembali seperti biasa.
Selepas Malini meninggalkan ruangannya, Arka kembali larut dalam kenangan.
“KotakHitam … apa mungkin kamu adalah dia?” Tiba-tiba saja Arka merasakan kerinduan yang begitu mengigit dan timbul keinginan besar dalam hatinya untuk bisa bertemu kembali. “Sachi, bagaimana kabar kamu? Aku rindu ….”