RSH.04 PRIA SAMPAH
Beberapa hari setelah istriku Natalie Scott dan putriku Nessa Beufort pergi meninggalkan rumah, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku tetap menjalani keseharianku seperti biasa, namun hatiku terasa hampa. Aku yang terbiasa memiliki dua orang yang selalu aku rindukan di rumah, kini telah pergi meninggalkan aku sendirian. Meski aku bisa melakukan apa pun sendiri, namun aku masih membutuhkan istri dan anakku untuk menemaniku. Karena mereka berdua adalah harta yang berharga dalam hidupku.
Saat aku mengantar makanan ke beberapa toko yang merupakan toko langganan pabrik tempatku bekerja, salah seorang pemilik toko tersebut bertanya padaku, “Hans… Apa kamu masih tinggal di tempat yang lama?”
“Tentu saja, Tuan. Jika bukan tinggal di sana, dimana lagi aku akan tinggal?” Aku menjawab dengan santai sambil menyusun barang pesananannya di rak makananan.
“Tapi beberapa hari terakhir aku melihat istri dan anakmu tinggal di kawasan Bougival.”
Seketika aku tersentak mendengar ucapan pemilik toko itu menyebutkan nama Bougival. Bougival adalah salah satu kawasan perumahan elite yang ada di Paris dimana kediaman keluarga Scott berada. Sudah dipastikan bahwa anak dan istriku kini tengah berada di kediaman Scott. Aku terdiam cukup lama hingga akhirnya pria paruh baya pemilik toko itu kembali bersuara, “Apa keluargamu baik-baik saja, Nak?”
“Ya. Kami baik-baik saja, Tuan.” Aku menjawab dengan canggung.
“Syukurlah. Dalam berumah tangga, bertengkar itu adalah hal biasa. Meski kita sudah berusaha sebaik mungkin menjalaninya bersama pasangan kita, tetap saja akan ada perselisihan. Tapi dikembalikan pada diri kita yang menjalaninya. Hadapi semua masalah yang ada dengan lapang d**a dan pikirkan jalan keluarnya dengan kepala dingin.”
Aku yang mendengarkan nasehat dari pria paruh baya pemilik toko tersebut hanya bisa tersenyum. Aku tidak bisa berkata apa-apa, karena sebenarnya rumah tanggaku kini sedang mendapat cobaan dan hubunganku bersama istriku mulai retak. Saat ini aku hanya bisa berharap bahwa keluargaku akan kembali utuh seperti dulu lagi.
“Tuan, aku sudah selesai menyusun kue-kuenya. Ini tagihan penjualan minggu lalu.” Aku memberikan selembar kertas pada pria paruh baya itu.
Pria paruh baya itu menarik laci kasirnya lalu memberikan sebuah amplop berisikan uang kepadaku yang telah di persiapkan terlebih dahulu. Aku menerima amplop yang berisikan cukup banyak uang tersebut dan berkata, “Terima kasih, Tuan. Aku pergi dulu.”
“Sama-sama, Hans. Terima kasih telah membantuku menata roti itu dalam raknya.”
Aku menganggukkan kepala dan tersenyum sambil melangkah keluar toko kue tersebut. Kemudian aku kembali menaiki motor tuaku menuju toko-toko lainnya yang memesan kue. Aku mengunjungi toko-toko tersebut, mengantarkan pesanan mereka dan menerima uang makanan yang telah dijual minggu lalu. Setelah mengunjungi semua toko tersebut hingga sore hari, aku pun kembali ke pabrik untuk mengantarkan uang yang telah dibayarkan oleh para pedagang pada atasanku.
Namun sepanjang perjalanan menuju pabrik, otakku selalu memikirkan keluarga kecilku. Aku merindukan anak dan istriku saat ini. Dan aku juga menyesali diriku sendiri. Seandainya aku bisa mendapatkan uang yang lebih banyak, aku rasa anak dan istriku akan kembali hidup bersamaku. Mereka tidak akan meninggalkan aku sendirian karena aku bisa memberikan apa pun yang mereka inginkan. Dan istriku Natalie Scott pasti tidak akan menceraikan aku.
Seketika muncul ide buruk dalam benakku. Dengan segera aku memutar stang motorku berlainan arah dari arah menuju pabrik. Aku mengendarai motor tuaku menuju kediamanku yang ada di pinggir kota. Aku berencana untuk membawa kabur uang yang telah dibayarkan para pedagang itu dan menggajak anak istriku untuk pergi bersamaku.
Saat aku telah sampai di rumah, aku pun dengan segera memasuki kamarku. Aku meletakan tas yang berisikan uang milik pabrik di atas meja. Lalu menghempaskan tubuhku yang lelah di atas sofa tua yang ada dalam kamarku. Aku terdiam cukup lama dengan segala rasa resah dalam hatiku. Aku merasa resah dan bimbang, apakah semua uang yang ada dalam tas itu akan aku berikan pada pihak pabrik atau aku melarikan diri?
Aku memandangi langit-langit kamar sambil terus berpikir. Memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Jika aku mengikuti nafsuku yang berencana melarikan uang milik pabrik, bukan berarti masalahku selesai dan bisa hidup tenang. Namun hidupku akan semakin bertambah sulit. Istri dan anakku pasti akan semakin membenciku. Tapi apa aku harus tetap seperti ini dengan hidup serba pas-pasan? Aku juga ingin membahagiakan keluarga kecilku dan hidup serba cukup.
Aku mengambil ponsel yang ada di dalam saku celanaku lalu menghubungi nomor ponsel istriku. Berulang kali aku mencoba menghubunginya, aku masih tidak mendapatkan jawaban. Bahkan nomor ponsel itu sudh tidak aktif lagi. Dengan perasaan kesal aku bangkit dari sofa yang tidak empuk itu. Aku mengambil tas yang berisikan uang pabrik lalu melangkah keluar rumah. Saat ini aku ingin pergi ke Bougival, dimana keluarga Scott tinggal.
Aku mengendarai motorku dengan perasaan tak menentu. Sepanjang perjalanan menuju Bougival hatiku selalu dirundung kesedihan. Saking larut dalam pikiran sendiri, aku tidak menyadari bahwa aku mengendarai motorku begitu cepat hingga akhirnya sampai di Bougival dengan begitu cepat. Aku menghentikan motorku di depan sebuah pagar rumah yang begitu besar. Lalu menekan bel yang ada di samping pagar tersebut. Aku menekan bel tersebut beberapa kali, hingga akhirnya seorang security muncul dari balik pagar.
“Selamat sore, Tuan. Apa ada yang bisa aku bantu?” Security itu bertanya padaku dengan ramah.
“Aku ingin bertemu dengan anak dan istriku. Apa ia ada di rumah?”
“Anak dan istri?”
Aku mengangguk, “Ya. Istriku Natalie Scott dan putriku bernama Nessa.”
Belum sempat security itu menjawab, sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah, tepatnya di samping motorku. Kemudian seorang pria muda turun dari mobil tersebut. Ia adalah Nelson Scott, kakak kandung istriku. Saat ia telah berdiri di hadapanku, ia memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan merendahkan. Lalu berkata, “Ada apa kamu datang kemari?”
“Kak, apa kabar?”Aku menyapa Nelson Scott dengan sopan sambil mengulurkan tangan.
Nelson Scott tidak menjabat tanganku yang terulur di hadapannya dan berbicara dengan wajah dingin, “Aku bukan kakakmu. Jadi jangan panggil aku kakak.”
“Ma-maaf.”
“Untuk apa kamu datang kemari?”
“Aku ingin bertemu dengan Nessa dan Natalie, Kak.”
“Ia tidak ada di sini.”
“Tapi aku yakin ia ada di sini.”
Di sele-sela perbincanganku dengan Nelson Scott, terdengar suara teriakan putriku Nessa Beufort dari balkon lantai dua rumah. Ia berteriak memanggil dengan penuh semangat, “Daddy… Daddy…”
Spontan aku mengangkat wajahku menatapnya yang sedang melambaikan tangan padaku dari balkon. Aku membalas lambaian tanagannya padaku sambil tersenyum lebar. Lalu aku menoleh pada Nelson dan berkata, “Ternyata mereka ada di dalam.”
Dengan penuh semangat aku melangkah memasuki gerbang rumah keluarga Scott. Namun baru berjalan satu langkah, Nelson Scott menahanku dengan memegang lenganku. Dengan tegas ia berkata, “Siapa yang mengizinkanmu masuk?”
“Nelson, aku ingin bertemu dengan anak dan istriku.”
“Aku tidak akan mengizinkannya.”
“Tapi Nelson, aku hanya ingin bertemu dengan keluargaku. Aku ingin bertemu dengan Nessa. Tolong beri aku waktu sebentar untuk bertemu dengannya. Setelah itu aku akan pergi.”
Suara Nelson Scott pun meninggi, “Sudah aku katakana bahwa aku tidak akan mengizinkanmu bertemu dengan keponakanku dan adikku.”
“Tapi aku adalah suami Natalie. Dan Nessa adalah putriku.”
Medengar ucapanku, Nelson Scott pun mendorong tubuhku dengan kasar hingga aku terjatuh ke lantai. Dengan angkuhnya ia berkata, “Aku tidak akan membiarkanmu memasuki rumah keluarga Scott ini. Aku juga tidak akan membiarkan pria miskin sepertimu menjadi menantu keluarga Scott. Karena kamu sangat tidak pantas untuk menjadi menantu orang terpandang seperti kami. Satu lagi, jangan pernah datang lagi ke kediaman ini. Karena orang miskin sepertimu tidak pantas menginjakan kaki di sini. Aku juga tidak akan membiarkan adikku dan keponakanku hidup sengsara bersamamu. Kamu benar-benar pria tak berguna. Pria sampah!”
Saat Nelson Scott memakiku, tiba-tiba Natalie Scott muncul dari balik pagar dan bertanya pada security yang dari tadi hanya diam di pinggir pagar menonton penghinaan Nelson Scott terhadapku. “Apa yang terjadi?”
“Istriku…” Aku yang masih terduduk di lantai menyapa Natalie Scott yang baru saja muncul di hadapanku.
Dengan wajah kaget Natalie Scott menatapku lalu berkata dengan nada ketus, “Hans, kenapa kamu kemari?”
“Aku… Aku ingin bertemu denganmu dan Nessa. Aku merindukan kalian. Pulanglah! Aku ingin kita hidup kembali bersama dengan bahagia.”
“Adikku tidak akan pernah bahagia hidup dengan pria miskin sepertimu.” Nelson menambahkan.
Natalie Scott melipat kedua tangannya di d**a dan berkata, “Hans, pulanglah! Aku tidak bisa kembali pulang bersamamu.”
Dengan segera aku bangkit dari lantai. Lalu aku melangkah menghampiri Natalie Scott yang berdiri beberapa meter di hadapanku. Aku meraih dan menggenggam tangannya dengan erat sembari berkata, “Natalie, aku mohon pulanglah denganku. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan bekerja lebih giat lagi agar kamu dan Nessa bisa hidup lebih baik. Aku janji Natalie, aku janji akan membahagiakanmu… Aku janji.”
“Hans, lepaskan aku. Aku tidak bisa lagi bersamamu. Aku tidak bisa lagi hidup sulit bersamamu. Pulanglah! Aku tidak akan ikut denganmu.” Natalie Scott berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tanganku.
“Natalie, aku mohon pulanglah denganku!” Aku bicara sambil meneteskan air mata.
Selama menjadi seorang pria dewasa, baru kali ini aku meneteskan air mata dengan perasaan memohon. Aku bukanlah pria yang sangat lemah dan dengan mudah meneteskan air mata saat aku merasakan sedih dan terpuruk. Namun saat aku berhadapan dengan wanita yang aku cintai, serta masih mengharapkan cinta dan kasih sayang seperti dulu darinya, air mataku mengalir begitu saja seolah tidak bisa ku bendung lagi. Selama menjalani kerasnya hidup, aku hanya meneteskan air mata saat kedua orang tua meninggalakanku untuk selamanya. Dan kali ini air mataku kembali menetes saat aku memohon untuk dapat tetap hidup bersama orang yang aku cintai. Namun sayang, sepertinya air mataku jatuh sia-sia.
Dengan kasar dan tidak punya perasaan, Natalie Scott melepaskan tanganku yang menggenggam tangannya sembari berkata, “Hans, sudah aku katakan. Aku tidak bisa bersamamu lagi. Aku tidak bisa hidup miskin bersamamu. Pulanglah! Aku tidak bisa bersama pria miskin sepertimu!”
Aku tersentak ia mangatakan aku seorang pria miskin. Hatiku hancur saat mendengarkan kata-kata itu keluar dari mulut istriku sendiri, wanita yang selama ini aku cintai. Aku tidak menyangka wanita yang aku cintai, pernah menjadi istriku dan hidup bersamaku beberapa tahun terakhir malah tega menghinaku. Ia telah jauh berubah dan aku tidak bisa mengenalinya lagi. Aku rasa janji pernikahan yang kami berdua ucapkan beberapa tahun lalu tidak berharga lagi baginya. Natalie Scott benar-benar telah berubah.
“Baiklah. Aku akan pergi.” Aku melangkah pergi dengan tubuh lemas dan perasaan hancur.