Luke

2012 Kata
Apa yang terjadi pada diri Luke? Bagaimanakah kelanjutan dari ceritanya? Apakah yang akan para leveler lain lalui selanjutnya? Apa yang akan terjadi di "dalam sana" setelah ini? Temukanlah jawabannya dan... selamat menikmati. +++++++ Aku adalah seorang pemuda “biasa” yang berasal dari keluarga “biasa” dengan kehidupan yang… seharusnya “biasa” juga. Aku berasal dari suatu negara konstituen yang berbatasan dengan Britania Raya di sebelah selatan, Laut Utara di sebelah timur, Samudera Atlantik di sebelah utara dan barat, serta Selat Utara dan Laut Irlandia di sebelah barat daya. Singkat kata aku ini warga negara Skotlandia. Aku terlahir di ibukota Edinburgh dan tumbuh besar di sana. Di negara tempat aku berasal. Tidak ada kewajiban untuk melanjutkan sekolah di atas usia enam belas tahun. Dan walau aku bisa pergi kuliah setelah menyelesaikan S5. Aku memutuskan untuk tetap bertahan di sekolah dan menyelesaikan S6 (Senior 6 atau jenjang pendidikan menengah paling akhir di Skotlandia). Walau aku anak yang lumayan cerdas masalah pelajaran di sekolah. Kalau boleh jujur aku sama sekali tidak punya minat pada ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sejak kecil aku telah menyembunyikan ketertarikan yang aku miliki sebenarnya. Dengan berlagak bergabung ke berbagai macam klub olah raga yang memiliki kesan manly serta macho. Seperti gulat, judo, pencak silat, sampai angkat beban. Aku harap dengan begitu aku bisa merubah minat yang aku miliki sebenarnya. Kenyataan memang tidak punya tangan. Tapi, selalu bisa sesekali memberi seorang manusia tamparan. Tidak peduli berapa lama waktu yang aku habiskan dengan berkecimpung di dalam semua kegiatan itu. Sesuatu yang benar-benar ada di dalam hatiku tetap saja tidak juga mengalami perubahan yang selalu aku harapkan. Aku jatuh cinta pada balet. Ha ha ha. Apa terdengar lucu? Untuk laki-laki yang selalu berusaha untuk memasang kesan macho seperti aku. rupanya memiliki hasrat yang terkesan sangat manis seperti kembang gula seperti itu. Pilihan hidup yang aku inginkan. Adalah satu hal yang benar-benar ditentang keras oleh kedua orang tuaku. Jika tadi aku bilang bahwa aku berasal dari keluarga yang biasa saja… maafkan aku. Ucapan itu sepertinya harus diralat. Aku sama sekali tidak berasal dari keluarga yang biasa saja. Ayahku adalah seorang Glaswegians yang kini menjabat sebagai seorang The Right Honorable Lord Provost of Glasgow. Sementara ibuku adalah seorang profesor sekaligus peneliti sains senior di University of Edinburgh. Sebagai pasangan suami istri terpandang yang informasi soal mereka bisa kau temukan dengan mudah di internet. Mereka memiliki harapan besar padaku. Pada satu-satunya anak laki-laki yang mereka miliki ini. Karena punya seorang adik perempuan. Mereka ingin aku memiliki karakter kakak laki-laki pelindung yang tangguh, selalu macho dan juga kuat. Tapi, semakin besar harapan mereka. Semakin jauh aku melenceng darinya. Aku tidak ingin jadi pemimpin daerah atau politikus. Aku tidak punya keinginan untuk bekerja sebagai bawahan Ratu Elizabeth 2. Aku juga tidak berminat untuk menelusuri jejak gemilang ibuku sebagai seorang peneliti nebula astrofisika atau apalah itu. “Aku ingin mendaftar ke The Royal Scottish Academy of Music and Drama, Ayah, Ibu,” beritahuku setelah wisuda kelulusan S6. Kalau aku anak biasa aku pasti tidak perlu acara meminta izin seperti ini segala. Tapi, karena kedua orang tuaku sangatlah terpandangdan berada di tempat asal kami. Aku harus menjaga setiap tindak tanduk yang aku lakukan. Agar tak sampai memberi efek tidak baik pada karir mereka. “Hah?” respon ibuku berlebihan. Ia melirik ke arah ayahku yang memasang wajah seperti patung batu. “Ingin masuk ke departemen apa?” tanya ayahku tak lama kemudian. Nada suara yang ia gunakan saat itu terdengar cukup dingin dan datar. Namun, walau aku bisa menebak ke arah mana obrolan ini akan berlanjut. Aku tetap pada keteguhan niat serta tekad. Pokoknya akan aku utarakan niatan ini sampai selesai. Saat aku ingin menjawab, “Aku ingin bergabung ke departemen…” Pria itu sudah memotong… “Kalau Music School Departments mungkin masih bisa kami pikirkan. Walau itu kampus yang lebih cocok untuk Lenorah, sih,” lanjut pria itu. Walau sudah tau bagaimana ini akan berlanjut. Aku akan tetap mengatakannya, “Drama,” koreksiku dengan suara lantang. Kepercayaan diri yang mungkin tak semua orang miliki. “Lucas Acacius Lachlan!” pekik ibuku seraya memanggil nama lengkapku. Kalau sudah begitu biasanya dia pasti sedang naik darah. Ayahku yang masih kalem berusaha menenangkan ibuku dengan meminta ia kembali duduk di sofa. “Drama jurusan apa?” tanyanya untuk memperjelas. Aku sangat menyukai pikirannya yang tidak mudah tersulut dan kadang suka menelan sesuatu dengan mentah mentah seperti ibuku. Aku langsung menjawab, “Modern Ballet.” Dengan lantang. Seolah tidak ada ikatan yang menjerat jiwa. “Luke, sudah berapa lama kamu memikirkan hal ini?” tanya ibuku kemudian. Cukup jauh lebih tenang ketimbang sebelumya. “Umm, sejak dulu,” jawabku. Ibu sedikit terbelalak kala mendengar jawaban yang aku utarakan. Ia berkata lagi, “Apa itu semua gara-gara…” “Tidak juga, sih,” potongku cepat sebelum pembicaraan ini jadi semakin melantur keluar dari topik yang sebenarnya sedang kami bahas. Aku segera berkata lagi, “Kakak kan meninggal saat aku masih berumur delapan tahun, Bu. Aku baru mulai menyukai balet dua tahun setelah itu. Dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan tendensi ketertarikan ke arah jenis kelamin. Aku benar-benar menyukai balet hanya karena itu indah dan menawan.” Ibuku tak langsung memberikan respon. Ia naikkan salah satu kakinya ke lutut dari kaki lain. Dari yang tadinya kaki kanan di bagian atas. Segera ia ubah menjadi yang kiri yang di bagian atas. Salah satu pertanda ia sedang memikirkan banyak hal: mengubah-ubah posisi silangan kaki. Bahkan tidak jarang tangan pun jadi ikut disilangkan di d**a. Dan diganti-ganti posisinya. Sementara ayahku… ia tampak jauh lebih tenang. Sebagai seorang kepala daerah. Sikap yang tergesa-gesa dan terlalu menunjukkan perasaan tentu saja akan jadi kurang menguntungkan. Tapi, dari kediaman yang ia tunjukkan. Aku seperti sudah bisa membayangkan apa yang tengah ia pikirkan. Tengah berkecamuk di dalam kepalanya. Hufft… Sebenarnya aku sudah tau kalau hal seperti ini pasti akan terjadi. Dan perkiraan itu sama sekali tidak melenceng. Mereka tidak mungkin tidak. Alias pasti akan segera menyangkut pautkan apa yang aku impikan. Dengan kakak laki-lakiku yang memiliki kelainan dalam orientasi seksual. Singkat kata kakak lelakiku adalah seorang kaum “pelangi” alias lgbt. Untuk pribadi aku sendiri sebenarnya sama sekali tidak peduli pada hal semacam itu. Tapi, yang namanya orang tua memang selalu memiliki cara berpikir yang berbeda dengan anak muda. Dan itu bukan masalah. Hanya jadi masalah jika cara berpikir mereka mempengaruhi jalan hidupku sebagai manusia. Manusia yang baru. manusia yang tidak seharusnya dipaksa untuk mengikuti jalan berpikir “lama” yang konservatif dan kuno. Tak lama setelah itu kedua orang dewasa sukses di hadapanku memasang tampang yang sangat “menyedihkan”. Merasa sudah gagal total dalam membesarkan anak lelaki mereka satu-satunya menjadi sosok gentleman yang baik. Aku merasa sangat kesal. Padahal negara tempat aku berasal merupakan "negara terbaik di Eropa untuk kesetaraan hukum LGBTI". Dan ayahku sendiri adalah seorang pejabat dengan kekuasaan setara pejabat tertinggi yang bertugas mengurus disiplin militer kerajaan Inggris Raya. Tapi, nasibku sendiri malah jadi seperti ini adanya. Mengenaskan sekali. Ibu menatap kedua bola mataku bulat-bulat. “Luke, apa kamu masih menyukai perempuan?” tanyanya serius. Aku terdiam sejenak. Mengalihkan pandangan. Menghembuskan nafas pendek. Menjawab, “Tentu saja, Ibu. Aku tidak sama seperti Lance. Dan aku tidak akan mati dengan cara yang sama sepertinya.” “…” “…” Eh? Gawat! Gawat! Gawat! Aku melihat ayahku menggeleng pelan mendengar jawaban yang aku utarakan. Apa yang sedang pria itu pikirkan? Aduh, begini, ya. Aku memang belum pernah pacaran atau suka pada perempuan sepanjang hidup. Tapi, apa itu membuat aku secara otomatis menjadi seorang gay? Tentu saja tidak, ‘kan? Bahkan kalaupun aku gay. Aku belum tentu mati karena HIV, AIDS, atau yang semacamnya, ‘kan? Ayolah! Ayolah! Ayolah! Ibuku berkata, “Akan kami bicarakan soal ini sebentar. Kamu tunggulah Ibu di kamarmu. Malam ini kita akan kembali ke Edinburgh,” beritahunya. Aku tak merespon perintah ibuku dengan kata. Hanya mengangguk dan mendirikan tubuh. Melakukan apa yang ia perintahkan. Aku sangat tidak yakin pada apa yang akan ia dan ayahku putuskan. Sepanjang perjalanan menuju kamar yang terletak di lantai tiga manor house ini. Aku terus saja merutuki sikap kolot dan parnoan kedua orang tuaku. Mereka memang super konservatif. Aku tau mereka masih trauma pada kejadian yang dialami oleh kakakku. Dan tidak ingin hal yang sama terjadi padaku. Satu-satunya putra mereka yang tersisa dan bisa mewarisi nama keluarga. Tapi, haruskah mereka jadi begitu kuno seperti itu? Aku benar-benar tidak tahan. Apa aku kabur ke luar negeri saja, ya? Ah, ah, ah, sepertinya itu bukan ide cukup bagus. Kalau aku menghilang itu akan berkembang jadi berita nasional. Malah tidak berlebihan kalau jadi berita internasional yang membuat pencarian akan diriku digelar sampai seluruh negara di benua Eropa. Aaarrggh!!! Meresahkan sekali! Cukup lama aku menunggu Ibu di dalam kamar. Sampai aku tidak sadar nyaris tertidur karena terlalu bosan. Tapi, sebelum aku benar-benar berpindah “dunia”. Daun intu kamarku diketuk lembut oleh seorang pelayan. Tuk tuk tuk. Ia menyuruh aku pergi ke ruang tamu. Di depan pintu. Tampak salah satu mobil keluarga kami. Sudah siap bersama Ibu yang duduk di kursi kemudi. Aku masuk. Blaam. Menutup pintu dan mobil pun melaju. “Luke, kami sudah memutuskan jawabannya,” buka Ibu ketika mobil mulai melaju. Aku bertanya, “Jadi bagaimana?” “Kamu akan melanjutkan pendidikanmu selanjutnya di universitas Ibu. Jurusan apa saja terserah kamu. Asal yang tidak seperti kegiatan wanita. Paham?” tanyanya. Hufft. “Bagaimana kalau aku tidak mau?” tanyaku seraya menopangkan tangan kanan ke jendela. Bagaimana, ya? Walau aku sudah memperkirakan jawaba “klasik” seperti itu. Aku tetap saja sangat kesal saat benar-benar mendengarnya. “Semua yang kami putuskan adalah demi nama baik keluarga kita. Kami akan mengirimmu ke villa di luar negeri dan mengisolasimu di sana selama beberapa lama. Untuk memastikan bahwa kamu masih normal saja. Itu lebih baik timbang membiarkan dirimu bebas di lingkungan yang menjerumuskan,” jawab ibuku datar. Sama sekali tidak memikirkan apa yang tengah anak bujangnya ini rasakan. Sekali lagi. Aku sudah menyangka kalau pasti tidak akan diizinkan. Tapi… diisolasi? Ha ha ha! Tolong biarkan aku menertawakan semua hal bodoh ini. Kalau memang harus seperti itu jadinya… lebih baik aku mati saja sama seperti Lance, bukan? Awalnya Luke berpikir bahwa kematian akan lebih baik ketimbang terus-terusan menjalani hidup yang dikendalikan. Hidup yang bukan hidup. Hidup yang penuh dengan keterpaksaan. Lagipula… sial sekali sih ia memiliki orang tua super parnoan dengan putra pertama yang meninggal karena inveksi dan virus penyakit kelamin. Gara-gara hal itu juga ia jadi harus memendam impian besar untuk jadi seorang ballerina man. Padahal menjadi ballerina sama sekali tak ada hubungannya dengan orientasi seksual maupun penyakit mematikan. Semua itu hanya stereotip tidak jelasyang dibuat oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Yah, walau sebagian besar memang benar, sih. Tapi, tidak ada alasan sedikit pun untuk menganggap bahwa semua pria yang menjadi ballerina adalah penyuka sesama jenis, bukan? Pada awalnya ayah dan ibu Luke pun memiliki pemikiran terbuka soal orientasi seksual anak mereka. Seperti pada umumnya warga negara di negeri unicorn itu. Mereka juga dengan tangan terbuka menerima pilihan orientasi seksual putra pertama mereka, Lancelot Grant Lachlan. Namun, pikiran mereka berdua langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Begitu Lance mati mengenaskan. Disebabkan karena penyakit kelamin yang dicurigai akibat dari s*x bebas dan hubungan sesama jenis yang kerap kali ia lakukan. Sejak saat itu, Luke, sebagai satu-satunya anak lelaki mereka yang tersisa. Mau tak mau hidup bagai berada di dalam penjara kaca. Padahal… sekali lagi ditekankan… menjadi seorang male ballerina sama sekali tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual apalagi penyakit kelamin! Tapi, ya sudahlah. Toh, sekarang semua cerita itu sudah tidak ada artinya. Yang harus seorang Lucas Acacius Lachlan pikirkan adalah bagaimana cara untuk terus bertahan hidup dan bisa kembali ke dunia nyata. Persetan dengan apa pun yang akan terjadi selanjutnya. +++++++ "Sanggupkah pemuda itu kembali ke kehidupan yang sempat ia sesali? apakah yang akan terjadi setelah ia mati? Akankah ia tiba di tanah yang telah "dijanjikan"? Atau malah berhasil kembali ke dunia "nyata"? Entahlah yang mana. “Apa tujuan dari semua kejadian ini? Misteri apa yang tersimpan dari alam semesta? Yang rasanya belum semua sempat digali oleh para manusia..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN