Seth I

1552 Kata
Apa yang telah terjadi pada diri Seth? Di masa lalunya. Hal yang membuat ia jadi dirinya yang sekarang sampai "pantas" untuk diundang ke pertarungan mempertaruhkan hidup dan mati di Ceantar Ghleann Dail. Bagaimanakah kelanjutan dari ceritanya? Apa yang akan ia alami setelah mengalami "kematian" itu? Apakah yang akan para leveler lain lalui selanjutnya? Apa yang akan terjadi di "dalam sana" setelah ini semua? Temukanlah jawabannya dan... selamat menikmati. +++++++ “Seth Sampoerna Wirya, mulai hari ini tidak ada siapa pun yang boleh mengetahui bahwa kamu adalah putra saya,” ucap ayahku di pertemuan terakhir kami. Aku sendiri masih berusia sembilan tahun kala itu. Mari kita panggil pria tidak bertanggung jawab itu sebagai Wirya Senior. Semua berawal sejak sekitar satu minggu yang lalu. Wirya Senior memanggil aku yang baru saja pulang dari main sepulang sekolah. Tanpa basa basi pembuka atau penghalus acara. Ia langsung berkata bahwa untuk beberapa hari ke depan kami sudah tidak akan bisa lagi tinggal bersama. Wirya Senior akan menitipkan aku, putra kandung satu-satunya sendiri, di salah satu panti asuhan milik kenalannya. Singkat cerita… aku ini sudah “tidak lagi diinginkan”. Dan secara terang-terangan dibuang oleh kedua orang tuaku sendiri. Saat itu sebagai seorang anak kecil yang normal. Aku benar-benar hanya bisa menangis dan berkali-kali berusaha untuk merajuk. Memohon suedikit saja belas kasihan. Coba bertanya, “Kenapa? Mengapa? Apa salahku? Apa keluarga kita sedang punya masalah? Apa rumah kita akan disita oleh bank? Apa Ayah dan Ibu punya hutang pada mafia atau lintah darat? Apa… kenapa… bisa jadi seperti ini? “Apa alasan kalian berdua, Ayah, Ibu?” Aku terus bertanya sampai tenggorokanku kering. Di sekolah juga aku tidak bisa mengatakan masalah yang tengah aku alami pada siapa pun. Membuat aku pada akhirnya hanya memendam semua racun ini seorang diri. Di malam terakhir yang tersisa untuk aku tinggal di rumah kedua orang tuaku. Aku masih belum bisa memikirkan jawaban dari pertanyaan yang menghantui kepalaku. Kenapa mereka ingin membuangku. Aku memang bukan anak yang paling pintar di sekolah. Semua nilaiku B saja. Sesekali dapat A, tapi sangat jarang memang. Aku anak yang sehat. Tidak punya penyakit mematikan yang akan membuat kamu miskin untuk membayar seluruh biaya pengobatannya. Hanya seorang anak lelaki yang normal. Terseok ke pinggir dari kenyataan… Tidak, aku tidak seperti itu. Aku benar-benar anak yang biasa saja. Bahkan aku pernah “iseng” bertanya pada guru di sekolah, “Kenapa ada orang tua yang ingin membuang anak mereka?” Bukannya menjawab pertanyaan yang aku utarakan. Guru perempuan berhijab yang masih sangat muda itu malah memasang tampang khawatir. Dan melontarkan balik pertanyaan tidak penting yang tidak aku butuhkan. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu mengenal seseorang yang tengah mengalaminya? Kamu tidak apa-apa, ‘kan? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Kalau ada sesuatu yang terjadi segera hubungi Ibu, ya. Bagaimana kabar orang tua kamu, Nak? Nak? Nak? Nak? “Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Heeekh, memuakkan sekali. Aku tidak ingin menjawab semua pertanyaan tidak berguna wanita itu. Akhirnya sampai saat terakhir aku dibiarkan menginjakkan kaki di kamar ini. Alasan yang membuat kedua orang tuaku memutuskan untuk membuangku masih clueless. Tanpa petunjuk. Aku menjalani hari-hari setelah itu bagai tanpa tenaga. Tanpa gairah. Tanpa minat dan tujuan apalagi harapan. Seperti ampas muntahan bayi. Semua terlihat seperti sampah. Aku tidak mau terlalu dekat dengan semua orang yang ada di panti asuhan ini. Baik anak asuh yang lain maupun para pengurusnya. Aku hanya ingin hidup terpencil dan menyendiri. Setelah itu mati sendiri tanpa kedua orang tuaku ketahui. Aku tidak ingin membenci kedua orang tua yag sudah melahirkan aku ke dunia yang berat ini. Tapi, di saat yang sama aku juga tidak bisa melupakan tindakan kejam yang sudah mereka lakukan. Itu terlalu menyedihkan. Aku sudah berusaha keras guna memasukkan beragam pikiran baik soal alasan mereka menjadikan aku anak yatim piatu secara paksa. Mereka kan orang dewasa. Sangat mungkin jika mereka punya alasan yang tidak akan bisa dipahami anak kecil sepertiku. Yah, bodo amat. Hidupku masih harus terus berlanjut. Sekalipun sekarang statusku berubah menjadi “anak yatim piatu”. Dan aku tidak akan mendapat dukungan keuangan apa pun lagi dari Wirya Senior. Tidak apa-apa. Serius, semua itu bukan masalah. Manusia diciptakan dengan dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki, dua paru-paru, dua ginjal, dua lubang hidung, dan satu otak memangnya untuk apa??!!! Untuk apa??!!! Untuk bertahan hidup dengan kaki dan diri mereka sendiri, ‘kan? Aku berjanji untuk memiliki tekad agar tidak pernah menyimpan dendam apa pun pada pria itu. Pada Wirya Senior dan istrinya yang merupakan ibundaku (mantan, huh). Tapi, aku akan melakukan hal lebih dari yang ia pintakan padaku malam hari itu. Ia bilang, “Mulai hari ini tidak ada yang boleh mengetahui bahwa kamu adalah putra saya.” Baiklah, itu hal mudah. Aku akan menjadikan ucapannya sebagai motivasi untuk menggapai kesuksesan sedini mungkin. Dan saat aku jadi orang kaya raya nanti. Aku akan memberitahu seluruh dunia soal apa yang kau ucapkan padaku saat membuang aku ke tempat ini. Pastikan kau masih hidup saat hari pembalasan dariku tiba, Wirya Senior! Tapi, yang namanya menjadi orang sukses kaya raya itu memang benar-benar tidak mudah. Apalagi dengan otakku yang biasa saja. Aku harus berjuang keras sejak masih sekolah untuk bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Karena panti asuhan tempat aku tinggal ini adalah suatu panti asuhan yang sangat m-i-s-k-i-n. Aku bahkan tidak pernah mendapat uang jajan. Setelah pulang sekolah tidak ada lagi acara main bersama teman-teman. Aku harus mengamen, cuci piring di rumah makan padang dan warung tegal, atau melakukan pekerjaan apa saja yang bisa mendatangkan pundi-pundi uang. Demi pembalasan dendam yag menggelora di hatiku… maksudnya demi impian yang tengah membakar jiwaku. Aku nyaris tidak pernah ada di panti asuhan lebih dari tiga jam. Nyaris dua puluh satu jam perhari aku habiskan di sekolah untuk mencari ilmu. Atau di jalan untuk mencari pengalaman serta rezeki. Demi mewujudkan mimpi yang banyak orang anggap sebelah mata. Aku sudah bertekad tak akan mengharapkan apa pun lagi dari orang lain. Aku akan bergantung pada diriku sendiri. Harus aku akui kalau aku jadi sedikit “sinting” karena obsesi untuk membalaskan dendam pada Wirya Senior… ralat, maksudku obsesi untuk mewujudkan mimpi waktu itu. Semua semakin parah setelah aku lulus dari SD. Saat itu aku mulai menjadi sedikit rebel. Nekat terjun ke jalanan dan berkawan dengan para penghuninya. Jika saat SD aku masih “main aman” dengan hanya mencari pekerjaan-pekerjaan remeh temeh nan halal di mata masyarakat. Tapi, begitu SMP aku sedikit kelepasan dalam berkawan. Semakin menjerumuskan ke kehidupan kelam jalanan. Mengamen, mencopet, menjambret, oplosan, tawuran antar geng remaja, merusak ketertiban masyarakat sampai fasilitas umum, obat-obatan haram sampai… tarung jalanan individual sampai untuk kelompok. Demi mendapatkan uang atau perempuan. Tidak bisa dipungkiri kalau kehidupanku saat SMP itu memang sudah benar-benar rusak. Tapi, begitu kembali ke sekolah atau saat di panti asuhan. Aku akan kembali menjelma menjadi sosok Wirya yang “bisa diterima”. Oh iya, nama pertamaku memang Seth. Tapi, entah kenapa orang-orang lebih suka memanggil aku dengan nama Wirya. Lebih mudah diucapkan untuk lidah Indonesia katanya. Nama yang sebenarnya sangat ingin aku lupakan. Berapa sih biaya ganti nama di pengadilan? Aaarrgh, sial! Aku lalui 3 tahunku selama di SMP dalam dunia gelap itu. Tanpa seorang pun dari dunia yang terang ketahui. Namun, di penghujung kelas 9 SMP. Sesuatu yang cukup luar biaa terjadi dalam hidupku… “Wirya,” panggil Pak Mukti, seorang tokoh agama yang menjabat jadi ketua dari panti asuhan susah ini saat aku baru pulang ke panti sekitar pukul setengah tiga pagi. Walau sedikit takut akhirnya aku hampiri dia. Baru pertama kali aku dipergoki seperti ini. Biasanya mereka akan berlagak tidak peduli dan membiarkan saja. “Ada apa, Pak?” tanyaku. Pak Mukti mengajak aku untuk duduk di teras panti asuhan sederhana itu. “Kamu habis minum, ya?” tanyanya tiba-tiba seraya mengendus beberapa bagian tubuhku. Haduh, aku belum pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Aku sudah berusaha bersikap sekasar dan seacuh tak acuh mungkin pada semua orang di kehidupan “terangku”. Niatnya sih agar mereka membenci dan pada akhirnya tidak ingin mencampuri urusanku lagi. Tapi, tampaknya cukup berbeda untuk kali ini. Pelan aku menganggukkan kepala, “Iya, Pak.” Aku tak biasa bersikap sopan seperti ini pada orang dewasa. Tapi, Pak Mukti seperti punya aura yang terasa sedikit berbeda. “Bapak selalu memperhatikan kamu sejak pertama kamu tiba di sini. Tapi, anak-anak lain bilang kamu selalu menjawab jangan ikut campur atau urus saja urusanmu sendiri. Waktu dinasihati sama Bunda. Sampai Bapak sendiri bingung bagaimana harus menasihati kamu,” ucap Pak Mukti. “Ini semua demi masa depan saya, Pak. Saya harus membangun relasi dan mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin untuk mewujudkan mimpi saya. Saya tidak butuh kehidupan normal atau damai di panti. Apalagi beragam ujaran kasih sayang yang ketinggalan zaman. Saya sama sekali tidak butuh itu semua. “Saya sudah memutuskan untuk menempa hidup saya sekeras mungkin,” balasku. “Apa alasannya?” tanya Pak Mukti dengan tatapan mata yang teduh, tapi tampak sangat serius. +++++++ "Akankah pemuda berkulit kuning langsat itu kembali ke kehidupan yang masih menyisakan pertanyaan yang belum diketahui jawabannya? Apakah yang akan terjadi setelah ia mati? Akankah ia tiba di tanah yang telah "dijanjikan"? Atau malah berhasil kembali ke dunia "nyata"? Entahlah yang mana. “Apa tujuan dari semua kejadian ini? Misteri apa yang tersimpan dari alam semesta? Yang rasanya belum semua sempat digali oleh para manusia..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN