Flora mematut tampilannya di cermin. Usai meluapkan tangisnya, gadis itu berlari ke toilet untuk membasuh wajah. Berharap dengan begitu kepedihan dan air matanya hilang bersamaan dengan air yang mengalir.
Meraih beberapa lembar tisu untuk menyeka wajahnya. Beruntung matanya tak sampai bengkak, hanya memang masih menyisakan sembab.
"Ayah," sapa gadis itu begitu memasuki bangsal rawat ayahnya.
"Sayang, baru pulang?" Panji yang semula berbaring, lekas bangkit menyongsong kedatangan putrinya. Keduanya berpelukan.
"Iya Yah, maaf baru sempat datang."
"Nggak apa-apa Sayang, Ayah ngerti kamu sibuk. Bagaimana hari pertama kerja?" Panji mengusap puncak kepala Flora.
"Capek, tapi sangat menyenangkan Yah. Aku jadi punya pengalaman baru, nggak sia-sia Ayah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai kuliahku. Ilmuku akan terpakai di sana. Oh ya, Ayah sudah makan?"
"Sudah, satu jam yang lalu suster baru saja membawa tempat makan kotor Ayah." Panji menatap sendu sang putri. Entah apa hanya perasaannya saja, dia merasa Flora agak kurusan sekarang.
"Kelihatannya kamu sangat lelah, kenapa tidak langsung pulang ke rumah saja? Ada suster yang menjaga Ayah di sini, jadi kau tidak perlu khawatir."
"Aku kangen sama Ayah. Malam ini aku tidur di sini saja ya," kata Flora.
"Benarkah? Kau sudah dewasa Flo, usiamu telah cukup untuk menikah. Sepertinya kau harus segera menikah agar ada pria yang bisa kau rindukan selain Ayah," gurau Panji.
"Ayah selalu saja membicarakan hal itu. Aku masih ingin sendiri Yah, masih banyak mimpi yang belum aku raih. Mengembangkan usaha Ayah salah satunya."
"Maafkan Ayah," lirih Panji.
"Maaf untuk apa?"
"Semuanya. Maaf untuk semua kekacauan yang terjadi dalam hidupmu. Kau menderita akibat ulah Ayah," ucap Panji penuh penyesalan.
"Berhenti membicarakan soal itu Yah, kita sudah sering membahasnya. Semua yang terjadi adalah suratan takdir yang harus kita jalani. Tidak ada yang perlu disesali."
"Kau tidak akan berada dalam situasi serba sulit seperti sekarang seandainya saja Ayah tidak menikahi wanita jahat itu. Ini semua salah Ayah. Ayah terlalu percaya padanya hingga Ayah dibuat buta segala-galanya."
"Sudah ya, sudah cukup. Hm, Ayah mau makan sawo? Tadi aku sempat mampir di toko buah." Flora mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah. Kupaskan untuk Ayah," pinta Panji.
"Tentu, biar aku mencucinya terlebih dulu."
Membawa tiga butir buah berkulit cokelat itu, Flora masuk ke kamar mandi. Derasnya air dari wastafel seiring dengan hujan di wajahnya. Dadanya terasa sesak seakan batu besar menghimpitnya. Rasanya sangat menyakitkan terlebih saat melihat ayahnya, rasa sakit itu kian bertambah parah.
Flora tak memiliki pilihan. Seandainya saja dia seorang diri, bisa saja dia memilih pergi menjauh dari kehidupan ibu dan saudara tirinya. Namun, tidak. Flora sama sekali tak mempunyai pilihan.
Setelah memastikan tak ada jejak air mata di wajahnya, Flora keluar. Sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan laranya dalam hati. Tak ingin menambah beban Panji jika lelaki itu mengetahui derita yang tengah ia rasakan.
"Bagaimana Yah?"
"Manis. Ini sangat segar. Kau memang pandai memilih buah," Panji memuji anaknya.
Flora tak henti memindai wajah lelaki di hadapannya. Panji nampak lahap memakan buah itu hingga tak terasa dua butir sawo telah masuk ke dalam perutnya.
"Mau lagi Yah?"
Panji menggeleng. "Tidak usah. Hm, bagaimana keadaan kantor?"
"Semuanya baik-baik saja Yah. Agni bisa kok urus perusahaan, Ayah jangan terlalu memikirkan soal itu dan fokus saja pada kesembuhan Ayah."
Panji tahu putrinya sedang berbohong padanya, dan dia juga tahu alasannya. Flora tak ingin menambah beban pikiran yang malah akan berdampak buruk pada kesehatannya.
"Ayah sudah minum obat kan?"
"Sudah, Nak."
"Sekarang Ayah istirahat ya. Flora akan temani Ayah." Gadis itu memakaikan selimut di tubuh Panji. "Selamat malam Ayah, selamat tidur." Mengecup kening pria paruh baya itu.
"Selamat malam putri kesayangan Ayah, mimpi indah, Nak."
Flora mematikan lampu utama, menyisakan lampu malam dengan pencahayaan redup. Lalu merebahkan diri di sofa panjang yang ada di sana.
Di keheningan malam yang mencekam, Flora kembali teringat ucapan Adel. Wanita yang telah lebih dari sepuluh tahun menjadi ibu sambungnya itu sungguh kejam. Segala sesuatu yang keluar dari mulutnya tak ada manis-manisnya sama sekali. Setiap perkataannya mengandung racun yang berakibat menimbulkan rasa sakit tidak hanya di telinga saja, melainkan di hati juga.
Fajar menyingsing. Semburat jingga merekah di ufuk timur. Cericit burung mengantarkan alam menjemput hari baru.
Buru-buru Flora mematikan alarmnya ketika benda itu berbunyi nyaring. Setelah memastikan nyawanya telah terkumpul dari pengembaraan di alam mimpi, gadis itu lekas masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
"Yah, Ayah," panggil Flora penuh kelembutan.
Panji mengucek matanya. Senyuman terkembang di bibirnya manakala melihat wajah cantik putrinya saat pertama kali membuka mata.
"Sekarang Ayah duduk dulu ya, minum s**u. Aku siapin air hangat dulu buat bersihin badan Ayah."
"Iya Nak."
Tak lama kemudian Flora sudah kembali dengan baskom besar berisi air hangat. Dengan telaten gadis itu membersihkan tubuh ayahnya. Tak ada yang tersirat dari setiap perbuatannya selain hanya ketulusan, dan hal itu membuat Panji merasa trenyuh.
Dengan cepat lelaki itu mengusap setetes cairan yang meluncur dari pelupuk matanya, tak ingin menambah kepedihan Flora.
Harta berlimpah, nyatanya tak membuat Panji hidup tenang. Hari-harinya yang dipenuhi bara akibat pertikaiannya dengan Adel, bak neraka yang melahapnya perlahan.
"Kau berangkatlah, nanti terlambat."
"Masih jam enam Ayah."
"Tapi kan kau perlu bersiap-siap. Pergilah, Ayah tidak apa-apa. Lagi pula kau kan sudah mengurus Ayah, Ayah sudah wangi sekarang."
"Ya sudah. Flora pamit pulang dulu Yah, takut Mama nyariin."
Padahal faktanya adalah Adel akan memperlakukannya bak pelayan. Membuat sarapan merupakan tugas utama dalam kesehariannya sebelum berangkat ke kantor.
"Hati-hati Sayang."
"Iya. Ayah jaga diri baik-baik selama aku nggak ada," pesan Flora.
"Tentu. Oh ya, tidak usah mampir ke sini lagi sepulang dari kantor nanti. Istirahat saja di rumah ya."
"Lihat nanti aja Yah. Ya sudah, aku pulang dulu." Flora meraih tangan Panji dan menciumnya.
***
"Hari ini Mama mau sarapan apa?" Flora sudah memakai celemek di tubuhnya.
"Mama mau roti lapis daging aja, kamu apa Sayang?" Tanya wanita itu pada Agni.
"Ayam kukus tanpa garam dan sayuran segar. Mama kan tahu aku sedang diet," jawab Agni.
"Ya sudah, aku siapkan dulu ya." Flora berlalu dari sana.
"Kamu kan sudah cantik, Sayang. Kenapa diet terus sih? Nggak takut kerempeng kamu, kayak si Upik abu itu?"
Flora sempat mendengar ocehan ibu tirinya, hal itu tentu saja Adel tujukan untuk dirinya.
"Dih, amit-amit Mah. Si jelek itu kan depresi. Tertekan dia makanya dia kurus kering, so pasti jangan samakan denganku yang modis dan elegan. Dengan tubuh semampai seperti model, kau kan rajin perawatan," sahut Agni, tak terima.
"Iya lah, mana mungkin Mama akan samakan kamu sama dia. Dia kan cocoknya jadi babu."
Dua wanita beda generasi itu pun terbahak. Hidup dengan Panji membuat mereka hidup bergelimang harta. Mereka tak lagi merasakan apa itu kekurangan, tapi sayangnya hal itu malah membuat mereka lupa diri.
Segala bentuk kemewahan yang Panji hadirkan seolah tak cukup memuaskan Adel dan anaknya. Mereka yang begitu tamak malah menginginkan lebih. Banyaknya materi yang dimiliki Panji membuat mereka haus hingga dahaganya baru terpuaskan jika mereka memiliki semua yang Panji miliki.
Begitu menyelesaikan tugasnya di rumah. Flora langsung menyambar tasnya dan bersiap ke kantor. Dibutuhkan waktu lima menit untuknya berjalan kaki menuju halte bus.
Berulang kali Flora melirik jam tangannya. 'Semoga saja aku nggak kesiangan.'
Sesampainya di halte, Flora mendapati bus itu bersiap pergi dari sana. Flora pun berteriak agar supir menunggunya. Flora berlari kencang, dan langsung masuk ke dalam bus. Menenggelamkan diri di tengah banyaknya penumpang yang berdesakan, hampir saja Flora tersungkur jika seseorang tak menahannya.
Flora menubruk d**a seorang pria. Rasanya sungguh memalukan, tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Biar bagaimanapun juga dia harus berterima kasih pada orang itu.
Bola mata Flora membulat penuh saat melihat sosok yang dikenalinya itu tengah tersenyum padanya.
"Kamu ..."
Bersambung ....