Sakti, Pahlawanku

1672 Kata
Flora menubruk d**a seorang pria. Rasanya sungguh memalukan, tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Biar bagaimanapun juga dia harus berterima kasih pada orang itu. Bola mata Flora membulat penuh saat melihat sosok yang dikenalinya itu tengah tersenyum padanya. "Kamu ..." "Kakak naik bus juga?" Tanya Flora. "Iya, motorku lagi di bengkel." "Hm." "Omong-omong rumahmu di mana?" "Dekat koh Kak, cuma perlu jalan kaki lima sampai sepuluh menitan." "Heum, lumayan juga ya. Tiap hari naik bus?" Flora mengangguk. "Iya." "Nanti habis gajian, sisihkan sedikit uangnya buat nabung biar bisa beli motor. Ya kalau sekarang kamu nggak lembur, tapi lain waktu kalau kamu lembur sampai malam kan bingung juga pulangnya." Flora terkekeh. Sosok lelaki yang baru beberapa hari dikenalinya itu memang dewasa dan bijaksana. Hubungan mereka berdua pun telah akrab layaknya seorang teman. Pembawaan Sakti yang ramah membuat lelaki itu mudah bergaul dan cepat beradaptasi dengan lingkungan dan juga teman-temannya. "Kok malah ketawa? Emang bagian mana yang lucu?" "Nggak ada yang lucu, tapi nggak tahu kenapa tiap lihat Kakak bawaannya aku jadi pengen ketawa. Kenapa, nggak boleh?" Pria bernama Sakti itu pun tersenyum simpul. "Kamu tuh ada-ada aja." Reflek Sakti mengacak rambut Flora, membuat gadis itu melongo. Sakti yang menyadari hal itu pun langsung minta maaf. "Eh, sorry! Nggak sengaja, lihat kamu aku jadi gemes." Lagi, Sakti tertawa, menampilkan barisan giginya yang putih bersih. Bus berhenti tepat di depan halte kantor tempat Sakti bekerja. Mereka pun gegas turun dan memasuki bangunan megah itu. "Lumayan, masih ada waktu dua puluh menit sebelum kita kerja. Aku mau sarapan dulu, kamu udah sarapan belum?" Sakti membuka kotak makanan dari dalam tas kerjanya. "Udah tadi," jawab Flora. Kebetulan kubikel Flora memang bersebelahan dengan Sakti. "Aku bawa croissant nih?" Sakti menyodorkan kotak dengan beberapa potong roti manis di dalamnya. "Ayo ambil!" Ragu-ragu, Flora mengambil sepotong roti itu. "Mau sekalian dengan susunya? Kebetulan mamaku juga bawain termos kecil nih." Bersiap mengeluarkan tabung stainless itu dari tasnya. "Nggak usah Kak, ini aja udah cukup. Aku bawa air minum kok." "Makan croissant dengan segelas s**u hangat akan terasa lebih nikmat." "Nggak usah. Makasih rotinya ya." "Hem." Sakti menyahut dengan mulut penuh. Usai meneguk s**u hangatnya, Sakti berniat mengelilingi ruangan itu. Masih sisa waktu sepuluh menit sebelum jam kerja dimulai. Tanpa sadar Sakti melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan. Berdiri di depan jendela, lelaki itu berusaha memeriksa keadaan dalam ruang kerja itu. "Hei. Sedang apa kamu? Tingkahmu mencurigakan sekali seperti seorang pencuri!" Sakti berjingkat kaget saat seseorang menghardiknya. "Oh, Ibu. Selamat pagi Bu?" Sakti membungkuk hormat, menyapa wanita dengan setelan kerja seksi. "Nggak usah banyak omong kamu! Cepat kembali ke tempatmu," sinis gadis itu yang tak lain adalah Agni. "Ya Bu." Sakti mempercepat langkahnya, menghindari wanita itu yang bisa saja kembali menghukumnya dengan hukuman tak masuk di akal jika sampai dirinya membuat Agni marah. Pernah berurusan dengan pimpinan perusahaan ini langsung, membuat Sakti harus lebih berhati-hati lagi dengan Agni. Susah payah dia mendapatkan pekerjaan itu dan Sakti tidak mau semua usahanya menjadi sia-sia. "Audy, saya minta kamu perhatikan karyawan tadi ya. Gerak-geriknya mencurigakan, saya takut dia sebenarnya adalah penyusup yang sengaja datang ke kantor ini untuk mendapatkan rahasia perusahaan," ujar Agni pada sekretarisnya. "Baik Bu." 'Saya akan beri kamu pelajaran jika sampai terbukti kamu orang jahat!' Agni mendorong pintu, lalu dengan bangga menduduki kursi kebesarannya. Bibir gadis itu terus melengkung ke atas, membayangkan semua keinginannya dengan mudah terwujud. Keberuntungan sepertinya terus berpihak padanya. Kata siapa yang benar akan menang? Buktinya semua yang Flora miliki kini telah menjadi miliknya. Semuanya, tak terkecuali. Waktu menunjukkan pukul lima saat Flora mengemasi barang-barangnya. Gadis itu sempat bercermin sebentar. Memoleskan perona bibir dan memastikan wajahnya segar saat bertemu sang ayah di rumah sakit nanti. Brak! Flora berjengit saat seseorang membanting benda itu di meja kerjanya. Rasa penasaran menuntun pandangannya melihat orang itu. "Kamu bisa kerja yang bener nggak sih? Ini kantor, tempat orang bekerja, bukan tempat bermain. Kalau kau memang tidak sanggup bekerja di sini, silakan! Saya tunggu surat pengunduran diri kamu besok," ucap Agni setengah berteriak. Flora memberanikan diri mengambil map itu dan mulai membukanya. "Semuanya sudah benar Bu, saya mengerjakannya dengan baik. Saya bahkan sampai berulang kali mengeceknya sebelum memberikan laporan ini pada Pak Adit," ungkap Flora. "Tapi apa hasilnya? Lihat! Kamu punya mata kan? Teliti dong! Saya gaji kamu mahal ya, jadi tolong perbaiki kinerja kamu sebelum saya berubah pikiran. Di kantor ini tidak butuh karyawan pemalas sepertimu!" Agni berkacak pinggang. "Selesaikan sekarang juga, atau kau akan tahu konsekuensinya." Usai mengatakan hal itu, Agni pergi dari sana. Memegang hand bag keluaran pabrik mode ternama Paris, gadis itu bersiap meninggalkan kantor. Flora terduduk di kursi putarnya. Sepersekian detik, bahunya bergetar menahan tangis. Agni benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya gadis itu mengada-ada, mengatakan semua keburukannya di depan banyak orang. Rasanya Flora ingin menangis sejadi-jadinya jika saja di sana tidak ada orang. Entah sudah seperti apa wajahnya sekarang. Sungguh menyakitkan dipermalukan seperti itu. "Jangan terlalu dipikirkan. Biar kulihat?" Flora menoleh saat Sakti mengusap bahunya lembut. Ah, lelaki itu selalu saja muncul sebagai pahlawan seperti dalam dongeng yang sering ia baca sewaktu kecil. "Aku sudah mengerjakannya dengan teliti Kak, aku tidak mungkin salah," adu Flora, hampir menangis. "Aku tahu," balas Sakti, singkat. Lelaki itu menarik kursi putarnya, membuat mereka duduk saling berdekatan. "Masalahnya bukan ada padamu, melainkan pada atasan aneh itu." "Maksud Kakak?" "Setelah aku cek, memang tidak ada yang salah dalam laporan ini. Jadi bisa kita simpulkan kalau dia membencimu. Aku perhatikan sejak awal dia selalu membuat masalah denganmu, tapi yang aku herankan. Ngapain dia susah-susah urusin kamu? Dia kan petinggi perusahaan, aneh kalau dia ngurusin staf biasa kayak kita." Flora terdiam, bingung harus menjawab apa. "Ya udah, nih! minum dulu. Aku bantu revisi ini sedikit ya, semoga aja bos besar terima dan nggak marah lagi." Sakti kembali mendaratkan bokongnya di sana dan mulai sibuk dengan peralatan kerjanya. "Kak, aku kerjain sendiri aja. Udah mau malam juga. Sebaiknya Kakak pulang aja! Aku nggak enak ngrepotin kakak terus," ujar Flora. "Udah nggak apa-apa, palingan juga ini cuma sebentar kok." Flora memangku tangannya melihat lelaki di hadapannya yang tengah serius. Dilihat dari segi manapun, Sakti terlihat tampan, sangat tampan malah. Di tambah dengan kebaikan dan ketulusan lelaki itu, makin menambah daya pesonanya saja. "Ngeliatinnya jangan kayak gitu banget Flo, awas nanti jatuh cinta sama aku," goda Sakti. Blush! Semburat merah menyembul di kedua tulang pipi Flora. Dia merasa sangat malu karena ketahuan sedang menikmati pesona Sakti. "Dih, Kakak narsis." "Ya nggak apa-apa, sama kamu inih." Sakti terkekeh. Beberapa menit kemudian. "Nih udah kelar. Sekarang kamu simpan baik-baik, besok pagi-pagi kamu setorin ke Pak Adit." "Iya Kak. Sebenarnya aku bingung mau gimana lagi makasih sama kamu. Kakak udah sering banget nolongin aku." "Nggak usah dipikirin, aku biasa aja kok. Kita kan teman. Ya udah ayo balik! Takut nggak ada bus." "Kakak naik bus juga?" "Lha, kan tadi pagi aku udah bilang motorku lagi di bengkel." "Ya aku pikir kan dijemput sama saudara atau papa kamu mungkin," seloroh Flora. "Aku anak tunggal. Papaku juga sibuk kerja, nggak tega lah beliau capek pulang kerja kalo suruh jemput aku." Mereka pun berjalan kaki menuju halte, dan beruntungnya mereka karena bertepatan dengan itu datanglah sebuah bus. Sakti meraih tangan Flora sebelum dia menginjakkan kakinya di bus itu. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kursi kosong. "Ayo! Duduk!" Titah lelaki itu pada Flora. "Bangku yang kosong cuma satu, kenapa nggak Kakak aja yang duduk?" "Ish! Dibilangin jangan ngeyel. Aku kan cowok, berdiri sepanjang perjalanan juga nggak masalah." Lagi-lagi Flora terdiam. Pandangannya terus tertuju pada wajah Sakti. Mendapatkan perlakuan dari Sakti membuatnya jadi berandai-andai, jika saja dia punya kakak atau saudara, mungkin akan ada orang untuknya dapat berkeluh kesah. Flora mengeluarkan pouch kecil dalam tasnya. Gadis itu mulai sibuk dengan cermin, bedak dan juga liptint. "Cie, yang mau ketemu pacar!" Ledek Sakti. "Enak aja! Aku belum punya pacar Kak!" Seru Flora. "Terus kamu dandan buat siapa?" Tanyanya, penuh selidik. "Mau ketemu ayah." "Ayah kamu yang kamu bilang lagi sakit itu? Gimana keadaannya sekarang?" "Sudah lebih membaik, kemungkinan dua atau tiga hari lagi sudah diperbolehkan pulang," jelas Flora. "Aku kira kamu dandan buat nemuin pacar kamu?" "Enggak. Cuma mau ketemu ayah," gadis itu menyahut. "Tapi hebat sih kamu, ketemu ayah saja sampai dandan gitu." "Hanya ayah saja satu-satunya keluarga yang aku punya Kak." "Hm, ibu? Yang lainnya?" Flora menggeleng. "Bunda sudah lama meninggal." "Sorry," cicit Sakti. "Nggak masalah." "Jadi kamu sekarang juga mau ke rumah sakit ini?" "Iya." "Ya udah aku turun duluan ya. Kebetulan udah deket." "Ya Kak." Bus berhenti tak lama setelahnya. Sakti sempat melambaikan tangannya pada Flora. *** Setelah memastikan alamat yang tertera di tangannya itu benar, Sakti memutuskan untuk memencet bel pintu sebuah rumah mewah. Tangannya memegang bungkusan makanan dari rumah makan ternama kota itu. Beberapa saat kemudian pintu pun terbuka, menampilkan sosok wanita tua berseragam pelayan. "Ada yang bisa dibantu, Mas?" "Oh, malam Bi. Saya mau antar pesanan." "Pesanan?" Wanita tua itu bertanya. "Ya, pesanan makanan." "Siapa Bi?" Seorang gadis berteriak dari dalam rumah. "Ini Non, kurir katanya nganter pesanan." "Ooh, aku yang pesan Bi. Bawa ke sini!" "Baik Non." Sakti yang sejak tadi mendengar suara itu pun penasaran. "Bi, maaf ... Tadi itu seperti suara." "Non Agni, anaknya Pak Panji, pemilik rumah ini?" "Oh." Sakti menganggukkan kepalanya. "Kenapa lama banget sih Bi? Aku udah laper lho." Agni muncul di sana. Ia terkejut melihat salah satu stafnya memakai seragam ojek online. "Lho, kamu kan ..." "Malam Bu." Sakti menganggukkan kepalanya. "Kamu jadi tukang ojek online juga?" Tanya Agni. "Ya Bu, siang saya kerja. Malam atau pas weekend saya berganti profesi, seperti yang Ibu lihat." "Ooh, ya udah makasih ya. Nih, buat kamu." "Nggak usah Bu, tadi kan udah dibayar lewat aplikasi," tolak Sakti saat Agni menyodorkan selembar uang kertas merah padanya. "Udah ambil aja, anggap aja sebagai rasa terima kasihku. Kasihan kamu udah capek kerja, masih aja nyari sambilan." Sakti mematung dengan tangan yang terus menengadah di udara. Dilihatnya lembaran merah itu. "Jadi ini rumahnya," monolog Sakti. Lelaki itu sempat memperhatikan seluruh bangunan sebelum dia pergi dari sana. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN