Rencana Agni

1371 Kata
"Selamat malam Ayah," sapa Flora. Gadis itu mendekati bangsal Panji, mencium punggung tangan lelaki paruh baya itu dan memeluknya. "Kamu lembur atau bagaimana? Nggak biasanya pulang nanggung jam segini?" "Tadi agak lama nunggu busnya Yah." Terpaksa Flora berbohong, dari pada sang ayah tahu kalau putrinya terlambat pulang gara-gara Agni. Panji menghela napas berat, ditatapnya wajah putri semata wayangnya itu. "Maafkan Ayah ya, semua ini salah Ayah." "Sudahlah Yah, nggak usah dipikirin lagi. Ayah udah makan belum?" "Belum. Ayah nungguin kamu karena kemarin kamu bilang pengen makan bareng Ayah, dan lagi ... Makanan dari rumah sakit terlalu hambar." "Baiklah, khusus malam ini Ayah boleh makan makanan dari luar. Ayah mau makan apa, biar aku pesankan." "Apa ya? Terserah kamu saja, Ayah ngikut." "Sop iga aja Yah? Pakai perkedel sama sambal goreng ati favorit Ayah." "Pas banget itu," kata Panji. "OK, aku tambahin sama oseng kangkung terasi, pasti enak." "Terserah kamu saja." "Dessertnya apa Yah?" "Apa nggak kebanyakan Sayang?" "Ya nggak lah, kan aku pesan untuk dua porsi. Aku pesenin puding Regal aja," imbuh Flora. Panji mengangguk, wajahnya begitu sumringah. Setelah urusan pesan makanan selesai, sambil menunggu pesanan datang Flora pun memutuskan untuk mandi. Entah kapan terakhir kali Panji makan bersama dengan sajian rumahan itu, yang pasti itu sudah sangat lama sekali. Reta, istri pertamanya yang tak lain adalah ibu kandung Flora sangat pandai memasak. Meskipun dia juga merupakan wanita karier, tapi tak sedikitpun wanita itu melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Sungguh jauh berbeda dengan Adel. Ah, jika mengingatnya, tak akan habis penyesalan dalam diri Panji. Dia yang semula bermaksud untuk mencari ibu pengganti untuk Flora, malah terperosok ke dalam jebakan wanita iblis itu. Tak ada yang tersisa selain hanya penyesalan yang menggunung, juga air mata. "Nak. Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor? Kau mendapatkan posisi yang baik, bukan?" Gerakan tangan Flora yang sedang menyisir rambutnya sontak terhenti. Seandainya saja Panji tahu bahwa dirinya hanya dijadikan staf divisi keuangan, tapi lagi-lagi Flora lebih memilih untuk menyembunyikan soal itu. Terlalu banyak beban pikiran yang saat ini Panji emban. "Iya, Yah. Ayah nggak usah khawatir. Berapa kali aku bilang, pikiran kesehatan Ayah." Bersamaan dengan itu, pintu pun diketuk. Flora menyambar dompet dalam tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana. "Selamat malam Kak, pesanannya," sapa seorang berseragam hijau dengan ramahnya. "Makasih ya Mas." Tak lupa Flora menyodorkan uang itu. "Sebentar Kak, kembalinya." "Nggak usah, buat Masnya aja." "Tapi ini kebanyakan Kak," tolak si pria. "Nggak apa-apa Mas, ambil aja." Flora gegas menutup pintu. Setengah berlari mendekati bed rumah sakit. "Wanginya gurih banget Yah," celetuk Flora. "Hanya sop iga, kenapa sebahagia itu?" Panji terkekeh. "Kita udah lama banget Yah nggak makan bersama. Kalau nggak akunya yang sibuk kuliah, atau sibuk apa, Ayah pulang malam, atau dinas luar kota. Giliran aku udah lulus, Tuhan menguji kita dengan Ayah sakit." "Kenapa putri Ayah jadi melankolis begini? Sebaiknya kita cepat makan, Ayah sudah sangat lapar." "Ya baiklah." Flora mulai menyiapkan makanannya. Menaruhnya pada meja lipat Panji agar memudahkan lelaki itu ketika sedang makan. "Hm, omong-omong ... Kapan Ayah diperbolehkan pulang?" "Oh, ya. Itu yang mau Ayah kasih tahu sama kamu, tapi Ayah lupa. Untung kamu ingetin." "Jadi gimana?" "Besok Ayah udah boleh pulang." "Syukurlah kalau gitu Yah. Besok aku minta izin sama Agni biar bisa nganterin Ayah pulang," kata Flora. "Nggak usah Nak, kamu berangkat aja ke kantor. Dokter bilang Ayah baru bisa pulang sore harinya, Mamamu juga sudah bilang mau jemput Ayah kok." "Mama mau jemput Ayah?" Tanya Flora, tak percaya. Mana mungkin wanita itu mau menjemput ayahnya begitu saja, bukankah hubungan mereka tidak baik? Ada banyak pertanyaan dalam benak Flora. "Iya. Mama sendiri yang bilang mau jemput Ayah, jadi kamu nggak usah terlalu mikirin soal itu. Fokus aja sama kerjaan kamu di kantor." "Ya udah deh. Syukur kalau Mama Adel mau jemput Ayah besok." Keduanya kembali melanjutkan makan malamnya. Semenjak kedatangan Flora dalam ruangan itu, senyuman tak kunjung surut dari wajah Panji. Lelaki itu merasa sangat beruntung memiliki Flora dalam hidupnya. Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Flora telah bangun dan membersihkan diri. Tak lupa juga dia menyeka tubuh ayahnya, menyuapi Panji dan memastikannya minum obat sebelum dia kembali ke rumah. "Ayah baik-baik ya selama aku nggak ada. Nanti kalau misalnya mama nggak jemput Ayah, suruh suster buat hubungi aku, aku akan jemput Ayah." "Ya Sayang. Kamu mau pulang ke rumah dulu?" "Iya, kan aku nggak bawa baju ganti Yah. Nanti habis itu baru deh berangkat ke kantor." "Ya udah, hati-hati di jalan ya Nak." "Ya, aku berangkat Yah." Panji melepas kepergian putrinya dengan diiringi senyum. Lelaki itu lalu meraih kacamatanya. Membaca koran akan sangat membantunya mengusir jenuh yang melanda. Sesampainya di rumah. Flora langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja yang baru. "Mama sama Agni mau sarapan apa?" Tanya gadis itu saat sudah berada di meja makan. "Nggak usah! Bi Sri sudah masak nih, kamu tinggal duduk aja." 'Tumben Mama baik sama aku.' "Eh, Flora, kamu tuh kalau kerja yang bener dikit dong. Kamu kan lulusan manajemen bisnis terbaik di universitas ternama negeri ini. Bantuin Agni untuk memajukan perusahaan dong, toh perusahaan itu juga perusahaan ayahmu," seloroh Adel sembari mengunyah nasi goreng dalam mulutnya. "Biarin aja sih Mah, aku juga bisa kok bergerak sendiri. Siapa juga yang sudi minta bantuan sama dia, ogah!" Sinis Agni. 'Hm, memangnya dia pikir aku sudi apa membantunya, kalau bukan karena Ayah, aku juga malas satu kantor sama nenek lampir model begituan.' "Kamu nggak boleh ngomong gitu Sayang, biar bagaimanapun dalam hal ini Flora memang lebih unggul dibandingkan denganmu." "Kok Mama gitu sih? Mulai ketularan Ayah banding-bandingin aku sama dia. Aku sama dia jelas berbeda lah," teriak Agni tak terima. "Sayang, hei! Dengerin Mama dulu, siapa yang bilang begitu? Buat Mama kamu tetaplah yang terbaik Sayang." Adel mendekatkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu di telinga putrinya. "Maksud Mama adalah kenapa nggak kamu manfaatkan aja dia, sayang kan tenaganya nganggur, dia itu cerdas, bisa kamu manfaatkan untuk memajukan perusahaan ayahnya yang sudah nggak berguna itu. Kamu nggak perlu repot-repot buang tenaga. Biar semua orang tahu kamu yang bekerja keras membangun perusahaan sementara yang benar-benar melakukan itu adalah Flora," bisik Adel. "Soal itu Mama nggak usah khawatir. Aku udah ada kandidat yang bisa aku ajuin jadi orang kepercayaan di kantor," sahut Agni. "Benaran? Jangan sembarangan percaya sama orang kamu!" "Mama tenang aja. Serahin semuanya sama aku." Flora hanya duduk diam sambil menghabiskan sarapannya, di rumah sakit tadi memang dia tak sempat sarapan karena sibuk mengurus Panji. "Oh ya Ma, ayah hari ini sudah dibolehin pulang. Apa benar Mama yang mau jemput ayah?" Flora memberanikan diri untuk bertanya. "Ya. Sudah pasti Mama akan jemput ayah kamu, lagian mau siapa lagi yang jemput dia kalau bukan aku," tukas Adel. "Makasih ya Ma?" "Selama kamu nurut apa kata Mama, maka kamu sama ayahmu akan aman. Jadi jangan macam-macam dan jangan pernah membantah! Ngerti kamu!" "Ngerti Ma." "Ya udah sana berangkat. Kamu kan naik bus, nanti telat lagi!" "Ya, Flora juga udah selesai." Menaruh gelas kosong di meja, lalu meraih tas kerjanya. "Flora berangkat Ma," pamit gadis itu seraya mencium punggung tangan Adel. "Hm." Agni memutar bola matanya malas. Tak peduli sekasar apapun Adel pada Flora, wanita itu tetap memiliki sisi keibuan juga jika Flora sudah sedemikian hormat memperlakukannya. Hal itu membuat Agni takut kalau ibunya akan luluh dan melunak pada Flora. "Cepetan deh nggak usah banyak drama! Tinggal pergi doang juga!" Tak ingin menambah perkara, Flora lebih memilih pergi dari sana. "Udah sih, nggak usah kasar sama dia, lagian semua kendali juga sudah ada di tanganmu, kamu bebas mau berbuat sesuka hatimu. Harta dan semua yang dia punya kan sudah kamu miliki, mau apa lagi?" "Aku nggak suka ya Mama belain dia." "Mama nggak belain Flora, cuma Mama nggak mau kamu buang tenaga untuk mengurus hal yang nggak penting. Lagian dia juga udah nggak berdaya gitu, Sayang." "Udahlah, males aku ngomong sama Mama, ujung-ujungnya debat. Aku berangkat!" Agni memundurkan kursinya. "Hei! Kenapa nggak salim dulu sama Mama!" Teriak Adel yang kesal. Sudah menyodorkan tangannya, tapi Agni malah pergi begitu saja. "Dasar!" Adel mengumpat. Di kantor. Agni duduk gelisah di kursi kebesarannya. Dia tengah memikirkan cara untuk mengetes seseorang. Sejauh ini dia sudah mengamati satu orang, dan dia ingin memastikan kalau orang tersebut tidaklah salah jika dia jadikan sebagai orang kepercayaannya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN