Penasaran

1216 Kata
Agni duduk gelisah di kursi kebesarannya. Dia tengah memikirkan cara untuk mengetes seseorang. Sejauh ini dia sudah mengamati satu orang, dan dia ingin memastikan kalau orang tersebut tidaklah salah jika dia jadikan sebagai orang kepercayaannya. Gadis itu meraih gagang telepon, mendial sambungan dengan sekretarisnya. "Ya Bu," Audy menyahut dari meja kerjanya. "Cepat masuk!" Titah Agni. "Baik Bu." Kembali meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Tak lama kemudian, pintu pun diketuk, Audy mengayunkan kakinya memasuki ruangan itu. "Ada yang bisa dibantu Bu?" Tanyanya sopan. "Iya. Duduk!" Agni menjeda sejenak kalimatnya. Setelah memastikan Audy duduk, Agni kembali membuka suara. "Saya mau tanya sama kamu." "Soal apa Bu?" "Selama Ayah saya menjabat posisi ini, siapa yang jadi orang kepercayaannya?" "Ada banyak Bu? Salah satunya Pak Burhan, direktur keuangan. Pak Edo yang menjabat sebagai direktur pemasaran, maaf kalau boleh tahu, kenapa Ibu menanyakan hal itu?" "Saya butuh orang kepercayaan yang bisa saya andalkan untuk membantu memajukan perusahaan ini, tapi rasa-rasanya saya nggak mungkin menghubungi dua orang yang kamu sebut barusan. Kamu tahu sendiri reaksi mereka waktu pertama kali aku menjabat posisi ini menggantikan Ayah, mereka sangat tidak menyukaiku," oceh Agni. "Hm, soal itu. Lalu, Ibu ingin orang seperti apa yang Ibu harapkan dapat menjadi orang kepercayaan Ibu?" "Itu dia masalahnya, kalau saya tahu, saya nggak akan nanya sama kamu." Hening sesaat. Dua wanita itu nampak berpikir keras. "Hm, Bu. Kalau boleh usul, coba Ibu minta saran sama Ibu Bunga saja," cetus Audy. "Bunga, kepala HRD?" "Iya Bu. Setahu saya, Ibu Bunga itu orangnya bijaksana, saya yakin beliau bisa kasih saran sama Ibu." "Hm, OK. Kamu atur saja ya, suruh dia temui saya pas ada waktu nanti." "Baik Bu." Audy pun undur diri dari ruangan tersebut. *** Adelia berjalan pelan menyusuri lorong panjang di hadapannya. Ibu paruh baya yang gemar merawat diri itu hendak menjemput suami keduanya. Suami yang memberikan kehidupan layak yang suami pertamanya tak pernah berikan padanya. Lelaki yang tengah membaca, menjadi pemandangan pertama yang pertama kali Adel lihat sewaktu dia membuka pintu. "Mas." "Oh, kau sudah datang?" "Ya, bagaimana barang-barangmu?" Adel menyapukan pandangannya. "Sudah Flora rapikan, tinggal membawanya saja." Panji menunjuk tas kecil berisi baju ganti juga keperluan selama Panji menginap di rumah sakit, yang Flora letakkan di sofa. "Ya sudah kalau begitu, Mama panggil perawat dulu buat bantu Mas duduk di kursi roda ya." "Administrasinya gimana?" "Udah beres Mas." Panji dibantu seorang perawat lelaki untuk duduk di kursi roda, mengantarkan Panji sampai di parkiran sementara Adel sibuk membawa tas keperluan suaminya. Mobil yang dikemudikan Adel pun melaju membelah jalanan. "Kenapa nggak minta Pak Yanto aja yang nyetir Del?" Panji menghela napas lega usai diperbolehkan pulang dari rumah sakit. "Lagi nganter Bik Sri belanja kebutuhan," jawab wanita itu, datar. "Terima kasih sudah mau menjemputku," lirih Panji. "Mas kan masih suamiku terlepas dari keadaan Mas sekarang." "Hm, bagaimana keadaan Agni? Anak itu sehat? Dia bisa memimpin perusahaan dengan baik kan?" Panji teringat anak sambungnya. Selama dirinya dirawat, Agni tak pernah sekalipun menjenguknya. "Anak itu baik Mas, perusahaan akan aman berada di tangannya jadi kamu nggak usah terlalu khawatir." "Syukurlah kalau begitu." Panji tersenyum satir. Seandainya saja perangai Agni seperti Flora, mungkin akan semakin lengkap kebahagiaannya. Sayangnya Agni tetaplah Agni, gadis yang terbiasa memiliki gaya hidup hedon. Di kantor. Agni berjalan cepat menuju ruangannya begitu rapat selesai. Mendadak kepala gadis itu terasa pening usai mendapati kekacauan di perusahaan yang baru dipimpinnya selama beberapa minggu itu. "Bagaimana bisa kekacauan terjadi berbarengan seperti ini Audy! Belum lagi beberapa perusahaan yang membatalkan kerja samanya dengan kita, ditambah lagi harga saham menurun!" Omel Agni. "Saya sendiri tidak tahu Bu, tapi sepertinya ada orang yang sengaja menyabotase pekerjaan kita," balas Audy. "Maksud kamu?" "Mohon maaf sebelumnya, Ibu kan tahu kalau banyak orang yang nggak suka Ibu menggantikan posisi Pak Panji." "Huh, ya kau benar. Lalu sekarang apa yang harus saya lakukan?" Agni memijit pelipisnya demi mengurangi denyutan di kepalanya yang kian menjadi. "Jam tiga nanti, Bu Bunga akan menghadap Ibu, saya harap dengan ini Ibu bisa mendapatkan jalan keluar." "Semoga saja," pasrah Agni. *** Jam kerja telah berakhir lima menit yang lalu, Flora tengah membereskan mejanya, memastikan tak ada barangnya yang tertinggal di sana. Besok hari sabtu, setidaknya dia bisa istirahat dua hari sebelum kembali disibukkan dengan rutinitasnya. "Flo, pulang bareng yuk?" Sakti menyembulkan kepalanya dari kubikel. "Kakak naik bus lagi?" "Nggak, motorku udah jadi. Aku anter kamu pulang ya?" "Nggak usah Kak, nanti malah ngrepotin." "Ish, nggak apa-apa lagi, kayak sama siapa aja." "Tapi kan tetap aja nggak enak Kak." "Udah ayo! Kebetulan aku bawa helm dua." Tanpa seizin Flora, dengan cepat Sakti menggandeng tangan gadis itu, membawanya menuju tempat parkir motor. "Kak, emangnya pacar kamu nggak marah kalau misalnya kamu boncengan sama cewek lain?" Flora sedikit kesulitan mengimbangi langkah Sakti yang lebar. "Kenapa emangnya? Kamu mau daftar jadi pacar aku? Aku belum punya pacar jadi nggak masalah," balas Sakti. "Ah, masa sih? Masa cowok sekeren kamu belum punya pacar," sergah Flora, tak pernah. "Serius ih! Keren apanya, orang cuma staf keuangan biasa yang suka ganti profesi jadi tukang ojek online kok." "Seriusan?" "Iya, kenapa? Kaget?" "Nggak nyangka aja orang kayak Kakak mau jadi tukang ojek online." "Aku serius Flora!" Tegas Sakti. "Ha-ha-ha, aku nggak nyangka, beneran deh Kak," Flora terbahak. "Terserah kamu kalau nggak percaya. Kerja tuh ya apa aja asal halal." "Ya, ya Pak bijaksana," kelakar Flora sambil menahan tawa. Kini keduanya telah sampai di tempat parkir. Sakti membantu Flora memakai helmnya. Pria itu juga membantu menyingkirkan anak rambut yang terburai menutupi wajah cantik Flora. Setelahnya, Sakti pun memakai helmnya. Detik berikutnya, Flora dibuat terkejut saat melihat kelakuan Sakti. Lelaki itu melepas jasnya lalu memainkannya untuk menutupi rok pendek selututnya. "Biar kamu nyaman, motornya tinggi," cetus Sakti. Ah, Flora merasa desiran halus menyusup ke dalam relung hatinya. Belum pernah dia temukan lelaki sesopan Sakti. "Ayo sekarang naik dulu! Awas sepatumu!" Lagi, Flora masih mendapat kejutan saat tiba-tiba Sakti mengangkat tubuhnya dan membantu mendudukkannya di jok belakang. Caranya mengangkat Flora, seolah gadis itu seringan kapas. Jangan lupakan tangannya yang juga selalu terjaga kesopanannya untuk tidak menjamah tubuh Flora terlalu lama. Itu pun hanya di bagian tertentu saja. Motor pun melaju. Dengan tangan kirinya, Sakti berusaha menarik tangan Cinta agar mau berpegangan padanya. Takut Cinta terjatuh, begitu alasannya, dan tak cukup sekali lelaki itu melakukannya. Sakti kembali menarik tangan Cinta saat gadis itu mengurungkan pegangannya. "Rumah kamu di mana Flo?" "Kakak lurus aja terus, di depan ada traffic light ambil kanan," ujar Flora memberikan instruksi. "Siap bos kecil," canda Sakti. Sakti begitu lihai mengemudikan motornya hingga tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di depan gerbang sebuah rumah mewah. Sakti terkejut saat menyadari rumah yang dimaksud Flora. "Flo, ini rumah kamu?" "Hm, sebenarnya ..." "Flora! Cepat turun! Buka pintunya!" Kedua insan itu kompak menoleh ke arah sumber suara, dan benar saja, Agni tengah duduk di balik kemudi mobil mewah dengan tatapan tak bersahabat. "Kak, aku turun dulu ya." Belum sempat Sakti menjawab. Flora sudah lebih dulu turun dan gegas membuka gerbang. Gadis itu bahkan lupa dengan helm yang masih menempel di kepalanya dan masuk begitu saja. Sakti menganggukkan kepalanya saat mobil Agni memasuki rumah mewah itu. 'Flora siapanya Agni?' Sakti membatin. Ada banyak pertanyaan dalam benaknya yang cukup membuatnya penasaran. Setelah cukup lama berdiam diri di sana, akhirnya Sakti memutar balik arah, kembali melajukan motornya menembus jalanan yang mulai menggelap. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN