Misi Dijalankan

1527 Kata
Buru-buru Agni ke luar dari mobilnya. Gadis itu langsung menyeret Flora begitu ia berhasil mengejar Flora yang lebih dulu memasuki bangunan megah itu. "Eh, Flo. Jadi cewek tuh ya jangan kegatelan, baru juga kenal berapa hari udah boncengan kayak gitu!" Sinis Agni. "Maksud kamu apa ya? Kami emang berteman kok, emangnya ada yang salah kalau aku pulang boncengan sama dia?" "Dih, dikasih tahu malah nyolot. Jaman sekarang tuh jangan aneh-aneh, bergaul sama orang yang udah lama kita kenal aja belum tentu bener. Kemakan baru tahu rasa kamu!" "Kok kamu ngomongnya gitu sih? Aku emang baru kenal ma dia, tapi aku yakin dia bukan orang jahat kok. Lagian bukannya selama ini tuh kamu sibuk, ngapain juga ngurusin urusan aku?" Flora hendak berlalu dari sana, tapi dengan cepat Agni mencekal tangannya. "Kamu mau aku aduin sama ayah? Biar ayah tahu kalau anak kesayangannya ini sedang belajar jadi cewek murahan. Ha-ha-ha, aku lupa kalau kau kan sudah jatuh miskin. Bahkan di sini pun kau hanya menumpang," ejek Agni. "Kamu tuh sebenernya ada masalah apa sih sama aku? Kenapa kamu hobi banget nyusahin aku? Kamu seneng bgt kalau lihat aku menderita, selalu ada aja yang kamu jadikan masalah. Lama-lama capek tahu nggak!" "Baguslah kalau kamu tahu. Tujuanku nyuruh kamu kerja di kantor adalah untuk membuatmu sengsara, dan tujuan hidupku adalah untuk membuatmu menderita." Mendengar keributan yang terjadi di ruang tamu, membuat langkah Adel tertuju ke sana. Ketukan sepatu hak tingginya beradu dengan lantai, menggema memenuhi ruangan itu. "Kalian berdua kenapa sih? Pulang kerja bukannya capek, istirahat malah berantem. Memang apa yang kalian ributkan?" "Flora duluan yang mulai Ma," Agni mengadu. "Enggak Ma, Agni duluan yang mancing-mancing. Aku juga udah mau masuk tadi, tapi tiba-tiba dia cegah aku dan malah ngomong nggak penting," balas Flora, membela diri. "Flora, kamu jangan suka bikin masalah dong! Kamu tahu betul sifat Agni, jangan pancing kemarahan dia kenapa sih?" "Ya ampun Ma." "Bener Ma, marahin aja tuh, dasar cewek gatal!" Belum sempat Flora menjelaskan, Agni sudah lebih dulu menyela. "Sudah cukup! Sebaiknya cepat kalian masuk kamar. Ayah sudah nungguin di meja makan. Jangan lama-lama?" Adel memutar tubuhnya, berjalan dengan anggun menyusul suaminya di meja makan. "Berani kamu nantangin aku Flo, tunggu aja pembalasanku besok," ancam Agni. "Dasar lampir! Nenek sihir!" Maki Flora. "Apa kamu bilang!" Agni mendelik, tak terima dikatai. "Emang kamu nenek lampir! Ngaca sana biar tahu sejelek apa wajahmu!" Secepatnya Flora berlari menuju kamarnya. "Flora!" Hardik Agni, murka. "Awas aja kamu Flo! Ini nggak bisa dibiarin, makin lama kamu makin ngelunjak. Lihat aja ntar, aku akan buat perhitungan sama kamu. Titik kelemahanmu ada dalam genggamanku." Agni tersenyum licik. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Tubuhnya terasa lelah. Jika tahu bekerja di kantor akan serepot dan secapek ini, rasanya dia ingin mundur saja. Namun, tak mungkin baginya untuk menyerah secepat ini. Dia benar-benar ingin menguasai perusahaan ayahnya. Pelan-pelan, nanti jika dia sudah tidak membutuhkan Flora lagi, akan dia hempas gadis itu bersama dengan ayahnya yang pesakitan. "Aku ada ide!" Tiba-tiba Agni bangkit dari posisinya. "Sorry aja ya, aku sih gak tertarik apa lagi cemburu sama kamu Flo. Terserah kamu mau jalan sama siapa, aku cuma penasaran aja. Seperti yang sudah-sudah, aku hanya tertarik untuk menghancurkan hubunganmu, dengan siapapun itu. Lagi pula Sakti jelas nggak level lah sama aku, staf keuangan yang merangkap jadi tukang ojek online, mau dikasih makan apa kalaupun aku nikah sama dia. Flora ... Flora ... Kalian berdua emang cocok, pasangan yang serasi. Sama-sama gembel." Tawa Agni melengking. Ada gurat kepuasan di wajahnya. Di lain kamar. Berulang kali Flora menghela napas kasar. Rasa kesal masih melingkupinya. Makin hari tingkah Agni makin menjadi-jadi. Agni selalu saja mencampuri urusannya. Kurang puas mungkin selama dia mengerjai Flora di kantor. Flora menyentuh kepalanya yang terasa berat. Seketika bibirnya melengkung ke atas saat menyadari Helm Sakti terbawa olehnya. Ditaruhnya benda itu di meja kecil dekat sofa. Masih dengan senyum yang membingkai wajah cantiknya, Flora melepas kaitan lengan jas yang bertengger di pinggangnya. Membayangkan kejadian beberapa jam lalu di tempat parkir, lagi-lagi menimbulkan gelenyar aneh dalam hatinya. Cepat-cepat Flora menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pikirannya yang mulai berkeliaran. "Dia baik sama kamu cuma karena menganggap kamu sebagai adiknya Flo, nggak lebih, jadi please ... Jangan kegeeran," ucap Flora pada dirinya sendiri. Begitu selesai membersihkan diri, Flora langsung menuju meja makan. Kali ini kebahagiaannya terasa lengkap manakala melihat sang ayah telah kembali ke rumah ini. Ya, meskipun Panji masih harus duduk di kursi roda karena mengalami stroke. Setidaknya itu jauh lebih baik dari pada Panji terus berada di rumah sakit. "Ayah, aku kangen sama Ayah," ujar Flora sambil memeluk pria paruh baya itu. "Ayah juga kangen sama kamu, sama suasana rumah ini, sama Agni juga," balas Panji. "Selamat datang kembali di rumah ini Ayah." "Terima kasih Sayang." Flora duduk di sisi kiri ayahnya, berhadapan dengan Adel. "Agni kenapa lama sekali sih," wanita itu mendengus. Putrinya memang seringkali menguji kesabarannya. "Ya aku udah datang. Bawel banget suruh nunggu bentar doang juga," cibir gadis itu. Agni mendekati kursi roda Panji. "Selamat malam Yah, Agni seneng Ayah pulang." Sebuah kecupan mendarat di pipi kiri Panji. "Terima kasih Sayang. Ayah kangen sama kamu. Bagaimana perusahaan?" "Aman Yah, nggak usah khawatir." Agni duduk bersebelahan dengan Flora. "Waktunya untuk makan, kalian bisa membahas apa saja setelah kita selesai makan malam nanti," ujar Adel. Malam ini, setelah sekian lama akhirnya keluarga itu dapat berkumpul juga untuk menikmati makan malam bersama. Flora berdoa dalam hati, semoga ketenangan dalam rumah itu tetap terjaga. Sifat Adel yang mudah berubah-ubah, mudah terpancing hasutan Agni cukup membuatnya was-was. Keesokan harinya. Karena hari sabtu, Flora dan Agni yang libur sejenak dari tumpukan file pun memilih untuk menghabiskan waktu dengan cara mereka masing-masing. Flora lebih senang menemani sang ayah di taman. Membiarkan Panji memberi makan ikan hias dalam kolam kecil, sementara Flora sibuk menata ulang tanaman bunga dalam pot. Ada berbagai jenis tumbuhan mawar dengan warna yang berbeda di sana. Flora merapikan sulur batangnya yang mulai tumbuh tak beraturan. "Flo." "Iya, Ayah?" "Ini kan akhir pekan, kamu nggak jalan-jalan?" Tanya Panji. "Jalan-jalan ke mana? Lebih baik di rumah istirahat," jawab Flora. "Ya barangkali saja ketemuan sama gebetan." "Ternyata Ayah gaul juga, emang Ayah tahu apa itu gebetan?" "Tahu lah, emang cuma kamu aja yang tahu?" Lelaki itu terkekeh. Bibirnya yang sedikit miring terkadang membuatnya kesulitan bicara, tapi beruntung kondisinya tak terlalu parah. "Aku nggak punya gebetan Yah," Flora menimpali. "Masa? Emang di kantor kekurangan stok cowok ganteng apa, biar nanti Ayah suruh Bunga untuk rekrut pegawai khusus cowok dengan kriteria ganteng maksimal," seloroh Panji. "Ayah ada-ada aja deh," Flora terkekeh. "Ayah serius. Nanti kalau misalnya kamu punya pacar, langsung kenalin sama Ayah ya." "Dih, Ayah makin merembet ke mana-mana ngomongnya." "Ayah serius Flora. Usai kamu udah cukup buat membina hubungan yang lebih serius. Ayah akan sangat bahagia jika melihatmu menikah." "Doakan saja Yah, doakan biar aku segera bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi pelengkap hidupku." Panji mengaminkan doa putrinya. Kedua orang itu masih asyik berbincang di sana sampai matahari mulai naik. *** Agni merapikan pakaiannya. Di depan cermin ia terus mematut diri, memastikan tak ada yang kurang pada penampilannya kali ini. Meraih tasnya, Flora pun gegas meninggalkan kamar. "Mau ke mana Sayang? Tumben pagi-pagi udah rapi?" "Mau ng-gym Ma." "Pakai baju kayak gitu?" Adel terus memindai penampilan putrinya. Roh hitam selutut warna yang dipadukan dengan kaos oblong warna kuning. Khawatir kalau-kalau Agni salah kostum. "Mama jangan norak kayak orang kampung dong! Aku bawa baju ganti lah." Menepuk tas ransel yang kemudian dia taruh di punggungnya. "Eh, kirain. Ya Mama kan takut kamu salah kostum Sayang." "Udah dulu ya Ma, tukang ojek online pesananku udah nunggu di depan," kata Agni. "What! Nggak salah kamu Sayang? Tumben naik ojek online, nggak takut kulitmu gosong." "Ah, Mama bawel banget. Aku pergi!" Seperti biasa, Adel dibuat mengelus d**a melihat tingkah laku Agni. Anak itu seolah tak menganggap ibunya. Padahal Flora saja yang hanya anak sambung, selalu memperlakukan Adel dengan baik. Sesampainya di teras. Benar saja, sebuah motor telah terparkir di sana. Cepat-cepat Agni menghampirinya. "Udah siap Bu," tegur si pengemudi ojek itu yang tak lain adalah Sakti. "Udah dong! Helm mana? Sekalian pinjem jaket, aku nggak mau ya kulitku gosong, mahal perawatanku di salon." "Siap Bu Bos," canda Sakti. Lelaki itu pun gegas memberikan helm dan jaketnya. Bukan jaket dengan logo khas ojeg online, melainkan jaket pribadi yang sering dipakainya. "Terima kasih." Agni tersenyum licik. Sesekali dia melirik ke arah Flora yang kebetulan bisa melihat kejadian itu dengan jelas. Hal itu tentu saja tak diketahui Sakti mengingat posisi lelaki itu yang memunggungi Flora. Agni menaiki motor Sakti, dan motor pun mulai melaju membelah jalanan. 'Misi dijalankan,' Agni membatin. Sejak semalam memang dia memikirkan cara menjauhkan Flora dan Sakti. Dimulai dengan menjalin kedekatan dengan lelaki itu, Agni harap dia dapat merebut simpati Sakti meskipun sama sekali tak ada rasa Cinta dalam hati Agni. Yang terpenting dalam hidup Agni adalah dia dapat menguasai semua yang dimiliki Flora. Beruntungnya Agni yang dengan mudah mendapatkan nomor Sakti. Perlahan, akan dia ciptakan celah hingga tak ada kesempatan bagi hubungan Sakti dan Flora untuk berkembang. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN