Mencari Informasi

1256 Kata
"Siapa dia Nak?" Flora menoleh saat mendengar pertanyaan ayahnya. "Oh, itu ... Tukang ojek online Yah." "Kalau itu Ayah tahu, maksud Ayah, kamu kenal sama dia? Kok ngeliatinnya gitu amat?" "Gitu gimana Yah? Biasa aja kok. Dia itu temenku di kantor," beritahu Cinta. "Oh ... Cuma temen?" "Ayah kok nanyanya gitu sih?" "Cuma nanya," ulang Panji dengan nada menggoda. "Eh, tapi dia keren lho Yah. Biarpun cuma staf keuangan biasa, tapi dia jago, kayak yang udah profesional gitu kerjanya." "Dia staf keuangan?" "Iya." Flora mengangguk. "Kamu berteman sama staf keuangan?" Deg. Oh tidak, hampir saja Flora keceplosan. Untung saja dia tidak mengatakan kalau Agni menyuruhnya menjadi staf keuangan, jika tidak. Bisa kacau urusannya. "Iya Yah, kenapa emangnya? Kan Ayah sendiri yang bilang kalau kita berteman itu nggak usah pilih-pilih. Selama dia baik dan nggak memberikan pengaruh negatif, kenapa enggak?" Flora berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kau memang putri Ayah, Ayah beruntung memiliki anak berhati mulia sepertimu." "Omong-omong kita masuk yuk, udah siang, untuk hari ini Ayah udah cukup berjemurnya, besok lagi ya," ujar Flora. Gadis itu melepas sarung tangan plastik di tangannya, membasuh wajah, tangan dan kaki di kran air yang berada tak jauh dari sana lalu mendorong kursi roda sang ayah memasuki rumah. "Agni nggak nyusahin kamu kan selama di kantor?" "Enggak, Ayah nggak usah khawatir. Ayah fokus aja sama kesehatan Ayah," sahut Flora. "Ya. Sudah pasti." "Sekarang sebaiknya Ayah istirahat dulu ya, biar aku antar ke kamar." Selesai mengantar Panji ke kamar, Flora pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Duduk di bibir ranjang. Bayangan Agni yang menempelkan tubuhnya saat membonceng Sakti tadi terus berkelebat. "Ih, ngapain juga sih aku kepikiran mereka terus? Toh Kak Sakti kan juga bukan siapa-siapanya aku. Ya lagi pula namanya tukang ojek online ya udah pasti boncengin banyak orang kan? Nggak cuma cewek aja. Ih ... Sebel!" Oceh gadis itu. *** Agni melingkarkan tangannya di perut Sakti. Ia sengaja menggesekkan dadanya di punggung lelaki itu. Dia kira dengan begitu Sakti akan tergoda, tapi sepertinya dugaan Agni salah. Sakti pria beretika, kedua orang tuanya selalu menanamkan nilai-nilai sopan santun dan menghormati wanita. Terbukti, Sakti sama sekali tak terpengaruh. "Kita jalan sesuai dengan tujuan di aplikasi kan Bu?" Sakti terus memacu motornya. "Ya ampun Sakti please deh, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi kalau nggak di kantor. So, jangan panggil aku dengan sebutan 'ibu' kesannya aku udah tua banget." "Ya maaf. Jadi saya harus panggil apa?" "Nggak usah formal gitu Sakti! Panggil aja aku Agni." "Apa?" "Iya. Kamu boleh panggil aku 'bu' selama kita di kantor, selain itu, kau cukup panggil namaku aja," kata Agni. "Serius ini? Nggak apa-apa emangnya?" "Ya nggak apa-apa." Tiga puluh menit berkendara, Sakti memarkirkan motornya di area parkir sebuah gedung berlantai dua. "Ibu ... Eh, maksud aku, kamu sering ng-gym di sini?" "Iya. Bantu aku lepas helmnya, aku nggak bisa." Agni memajukan kepalanya. Helm dan jaket yang sempat dikenakan Agni kini telah kembali kepada pemiliknya. "Aku udah bayar pake aplikasi tadi ya." "Siap!" Sakti mengacungkan jempolnya. "Oh ya, omong-omong mau ikut masuk nggak?" Sakti mengerutkan keningnya. "Biar aku yang bayarin sekalian, aku butuh teman ngobrol. Kamu lagi nggak ada orderan kan?" Sejenak Sakti berpikir. 'Kesempatan bagus untuk mengorek informasi,' batin lelaki itu. "Ya udah deh." "Nah gitu dong. Ayo!" Sakti terbengong-bengong melihat Agni mengapit lengannya, setengah menyeretnya memasuki bangunan itu. Setelah mengganti pakaiannya, dua orang itu pun langsung melakukan pemanasan. Treadmill menjadi alat olahraga pertama yang mereka gunakan. "By the way, sebelum kamu kerja di kantorku, kamu kerja di mana?" "Aku pernah sih sekali dulu kerja di perusahaan konstruksi gitu." "Terus kenapa keluar?" Tanya Agni lagi. "Ya waktu itu ada pengurangan karyawan, agak lama juga aku nganggur sampai masuk perusahaan kamu. Itu sebabnya aku sempat jadi tukang ojek online, bahkan sampai sekarang pun masih aku jalani di sela-sela kesibukanku." "Ooh gitu. Kamu tinggal di mana?" "Aku ngekost di daerah belakang taman kota," balas Sakti. "Orang tua kamu?" "Ada. Mereka tinggal di daerah terpisah sama aku." Agni menganggukkan kepalanya tanda ia telah paham. "Kalau kamu sendiri? Berapa bersaudara?" Gantian Sakti melancarkan aksinya. "Aku anak tunggal." "Hm, pastilah kamu jadi anak kesayangannya Pak Panji." Sakti sempat melirik Flora sejenak. "Iya begitulah, namanya anak cewek satu-satunya, udah pasti dia sayang banget sama aku," balas Agni. 'Seandainya saja kamu tahu kalau aku cuma anak tiri. Dia emang sayang sama aku, tapi biar bagaimanapun anak kandungnya tetap menjadi prioritas utamanya.' "Eh, aku boleh nanya nggak? Maaf sebelumnya takut dikira nggak sopan," kata Sakti, penuh kehati-hatian. "It's OK, santai aja. Emang mau nanya apaan?" "Semalam aku lihat Flora masuk ke rumah yang sama denganmu, kalian sepertinya memiliki hubungan?" Bidikan Sakti tepat sasaran, tinggal menunggu saja bagaimana hasilnya. "Ooh, soal itu. Ya jelas lah dia pulang ke rumahku, dia itu anak pembantu di rumahku. Itu sebabnya dia juga kerja di kantorku," dusta Agni. Sakti terdiam. Lelaki itu sibuk dengan pemikirannya. Anak pembantu? Ucapan itu terus terekam dalam benak Sakti. Pantas saja Agni memperlakukannya dengan sangat buruk di kantor. Di sisi lain belahan bumi berbeda. Wanita anggun dengan gaun selutut memberikan secangkir kopi untuk suaminya. Tania, wanita paruh baya yang masih tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu juga menaruh piring berisi potongan cheesecake di meja. "Sudah berapa hari anak itu tidak pulang?" Tanya Wisnu, suami Tania. "Seminggu mungkin. Katanya masih sibuk, ada banyak hal yang harus dia kerjakan Pa," sahut Tania. Wisnu membuang napas kasar, meletakkan kembali cangkirnya di meja. "Repot dibikin sendiri, apa salahnya menyewa detektif, pekerjaan beres, tanggung jawabnya juga tidak terbengkalai begini." "Yang penting kan dia masih tetap mengawasi pekerjaan anak buahnya Pa." "Tetap saja. Tanggung jawab yang diembannya cukup banyak, tapi dia malah menghabiskan waktunya demi mencari cinta masa kecilnya yang tidak jelas. Belum tentu dia menemukannya, kalaupun iya mereka dipertemukan, bagaimana kalau si gadis sudah menikah? Seperti tidak ada stok wanita cantik saja di dunia ini," lagi, Wisnu mengoceh. "Papa kan tahu alasan Sakti mencarinya," Tania menimpali. "Ya sudahlah. Kita lihat saja sejauh mana anak itu akan beraksi. Papa heran, di antara banyaknya gadis cantik yang kita pilihkan, tidak ada satupun yang menarik perhatian anak itu!" "Percuma Pa kalau mau menjodohkan Sakti, Mama yakin seribu persen, anak itu pasti akan menolaknya mentah-mentah." "Itu dia masalahnya. Kita tidak bisa memaksa, tapi kita juga sudah tua Ma, Papa ingin mendengar tangisan bayi mewarnai rumah ini. Kebahagiaan kita masih belum lengkap jika belum melihat Sakti naik ke pelaminan." "Doakan saja yang terbaik Pa, semoga Sakti bisa segera menemukan gadis yang dicarinya." Wisnu mengaminkan doa sang istri. "Besok hari minggu, suruh dia pulang karena Papa sangat merindukannya," pinta lelaki itu pada Tania. "Iya, nanti Mama hubungi dia." *** Siang harinya. Deru mesin motor yang berhenti di pelataran rumah membuat Flora tergerak untuk melihatnya. Dari kamarnya di lantai dua, gadis itu membuka jendela. Dilihatnya Sakti dan Agni sedang mengobrol, terlihat sangat akrab. "Makasih ya udah nganterin aku. Aku udah save nomor ponsel kamu biar sewaktu-waktu pas aku butuh tinggal hubungi kamu aja," kata Agni. "Siap Nona. Kalau gitu aku pulang dulu ya. Makasih atas hari ini." "Sama-sama. Harusnya aku yang makasih karena kamu udah mau nemenin aku." "Ya udah sana masuk! Sinar matahari nggak bagus buat kulit kamu." "Ya. Aku masuk dulu ya. Dah! Sampai jumpa lagi hari senin di kantor." Sakti membenahi letak helmnya. Lelaki itu masih duduk di motornya menatap kepergian Agni yang kini tak lagi dapat dia lihat. Saat hendak menyalakan motornya, secara tak sengaja Sakti mendongak. Iris matanya sempat bertubrukan dengan netra kecokelatan milik Flora, tapi tak bertahan lama karena setelahnya Flora membuang muka dan langsung menutup jendelanya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN