Sakti merasa terusik dengan kejadian tadi. Sudah hampir tiga jam lamanya dia kembali dari rumah Agni, dan selama itu juga bayangan Flora yang membuang muka dan menutup gorden jendela dengan kasar terus terekam dalam ingatan.
Lelaki itu semakin gusar. Otaknya terus berpikir, menjunjung tinggi kewarasannya yang setengah mati mengatakan semuanya baik-baik saja. Toh, tidak ada hubungan apa-apa yang terjalin di antara mereka.
Namun, lagi-lagi kata hatinya terus menganggu. Belum pernah Sakti melihat tatapan Flora sedemikian rupa padanya. Tatapan seperti seorang gadis terhadap lelaki yang telah menyakiti hati kekasihnya.
Sibuk dengan berbagai macam pertanyaan yang bergelayut dalam benaknya, lamunan Sakti buyar seketika saat dering ponselnya mengalun indah. Diraihnya benda pipih nan canggih itu dari atas nakas.
"Iya Ma." Kalimat pertama yang meluncur dari bibir Sakti begitu lelaki itu menggeser icon hijau pada layar ponselnya.
"Tampan, kapan pulang Sayang? Papamu udah bolak balik nanyain, Mama bingung mau jawab apa," sahut Tania.
"Harus banget pulang ya Ma?"
"Memang mau alasan apa lagi kamu, hah? Sampai berbusa mulut Mama buat bujuk Papamu, memang kamu nggak kangen sama Mama apa?"
"Iya Ma, baiklah. Besok aku pulang."
"Baguslah! Nanti kalau kamu udah nikah, Mama saranin buat kamu punya banyak anak ya, biar kamu nggak ngrasain apa yang Mama dan Papa rasakan saat kamu nggak ada di rumah. Sepi," oceh wanita itu.
"Iya Mamaku yang cantik. Hm, aku juga kangen masakan Mama."
"Pokoknya besok Mama tunggu. Awas aja sampai kamu nggak pulang, jangan salahin Mama kalau Mama sama Papa nyusul ke tempat kerja kamu."
"Aduh, jangan Ma! Bisa gagal rencanaku. Pokoknya Mama tenang aja, besok aku pasti pulang," janji Sakti.
"Mama pegang kata-kata kamu, awas sampai nggak pulang," ancam Tania.
"Iya Ma."
"Ya sudah Mama matikan dulu teleponnya. Kamu jaga diri baik-baik ya, jangan sampai telat makan, jangan kecapekan dan jangan begadang!"
"Iya Mamaku Sayang."
Sambungan telepon pun terputus. Sakti kembali meletakkan gawainya.
Angan Sakti kembali melayang. Kali ini ingatannya tertuju pada percakapannya dengan Agni, pagi tadi.
"Kalau Flora emang anak pembantu, berarti bener dong Agni lah gadis itu, dan lagi dia juga bilang kalau dia satu-satunya anak Pak Panji. Tapi masalahnya kenapa aku ngerasa kok dia beda ya," monolog Sakti. "Aku harus memikirkan cara agar bisa lebih dekat dengan Agni," imbuh Sakti.
Lelaki itu terus sibuk dengan pemikirannya.
Tak jauh berbeda dengan Sakti. Sedari tadi Flora terus menekuk wajahnya. Menelungkupkan kepalanya di kasur, bibirnya terus mengerucut sebal, belum lagi ocehan yang terus meluncur dari bibir itu.
"Sakti jelas bukan selera Agni. Aku tahu betul selera gadis itu tipikal laki-laki parlente, jadi nggak mungkin kan mereka bisa dekat apa lagi sampai pacaran? Ih ... Nyebelin banget sih!"
Bantal itu tak urung menjadi pelampiasan Flora. Tak hanya memukul, gadis itu juga meremas dan menceramahi benda empuk itu seolah sedang memarahi kekasihnya yang ketahuan jalan dengan perempuan lain.
Oh, hati. Segumpal daging berwarna merah kehitaman, tempat semua rasa berpunca, kenapa tak bisa dikompromikan?
Flora terus merutuki dirinya.
Malam harinya, ketika langit telah menggelap sempurna. Flora mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya yang ayu ia biarkan polos begitu saja. Kaos oblong putih yang dipadukan dengan rok jeans selutut berwarna hitam nampak pas membalut tubuh semampainya. Menyambar tas selempangnya, gadis itu buru-buru ke luar dari kamarnya.
"Wah, anak Ayah udah cantik, malam mingguan mau ke mana nih," goda Panji yang waktu itu sedang duduk di ruang tengah.
"Cuma mau nemenin Bi Sri belanja kebutuhan bulanan Yah."
"Eh, tumben?"
"Ya, akunya bosen di rumah terus. Dari pada nggak ada kerjaan, mending ikut Bi Sri biar bisa bantu-bantu," cetus Flora.
'Namanya juga kampungan, nggak cocok kamu terlahir kaya dan hidup mewah. Kamu emang cocoknya jadi pembantu, dasar Upik Abu!'
Hal itu tentu hanya dapat Agni katakan dalam hati. Mana berani dia secara terang-terangan menyerang Flora di depan ayah sambungnya.
"Jangan sampai ada barang yang kelupaan ya Flo," ujar Adel.
"Iya Ma. Semua barang belanjaan sudah dicatat sama Bi Sri, Mama tenang aja. Aku pergi dulu Yah." Flora mencium punggung tangan Panji, juga Adel.
Dengan mobil yang dikendarai Pak Yanto, Flora dan Sri pun segera meluncur menuju pusat perbelanjaan.
"Kamu nggak keluar Sayang?" Tanya Adel pada sang putri.
"Nggak Ma, males," jawab gadis itu acuh.
"Mana mau punya pacar kalau tiap hari kerjaannya mengeram di rumah. Usiamu sudah cukup untuk menikah lho."
"Mama apaan sih bahas soal nikah? Aku belum kepikiran sampai situ, Mama doain aja biar aku ceper ketemu jodoh yang kaya raya, yang sesuai dengan kriteria aku," celoteh Agni.
"Kalau soal itu udah pasti lah. Mama selalu doain kamu."
"Kalau berdoa itu yang baik-baik. Mintalah jodoh terbaik tanpa embel-embel. Kaya bukan jaminan bagi seseorang memiliki attitude yang baik," Panji menyela.
"Agni juga udah tahu soal itu Yah, tapi materi kan lebih penting. Aku nggak mau hidup sengsara sama pria miskin, bisa mati muda aku," timpal Agni.
Panji yang terbiasa melihat tingkah anak tirinya itu pun hanya mengelus d**a. Tabiat gadis itu dengan putri kandungnya memang bak langit dan bumi.
"Eh, Mas. Omong-omong kamu punya kenalan pengusaha muda yang sukses buat dikenalin sama Agni. Ya siapa tahu kan mereka berjodoh, dan lagi kamu kan punya banyak kenalan orang-orang dari kalangan atas Mas," kata Adel.
"Dih, Mama jangan kayak ibu-ibu sosialita yang ada di novel-novel deh! Enak aja main jodoh-jodohin, aku bisa ya cari suami sendiri!"
"Tentu Sayang. Kau kan cantik, terpelajar, calon pengusaha wanita sukses dan pastinya akan ada banyak lelaki yang tergila-gila dan mengejar-ngejar kamu," balas Adel.
"Nah itu tahu."
"Ya barangkali aja kalau sama kenalan ayahmu kan kita bisa tahu bibit, bebet, bobotnya."
Panji mengunci rapat mulutnya ketika dua wanita keras kepala di depannya itu sedang beradu argumen.
"Udah ya, pokoknya aku nggak mau dijodohin. Aku bisa cari sendiri Ma, Mama tenang aja. Udah lah, mending aku ke kamar dari pada meladeni ocehan Mama."
"Mama belum selesai bicara Nak," cegah Adel.
"Bodo amat!" Gadis itu berlalu begitu saja."
"Aku juga mau istirahat, tolong kamu antar aku ke kamar," kata Panji.
"Hm."
Meskipun menampilkan raut wajah tak suka, tapi Adel tetap melakukan tugasnya. Wanita itu mendorong kursi roda suaminya dan membantu lelaki itu berbaring di kasur.
Flora dan Sri keluar dari mobil begitu Yanto selesai memarkirkan mobilnya.
"Pak, sambil nunggu Bapak bisa ngopi dulu atau mau jalan-jalan, silakan. Ini buat beli kopi." Flora menyodorkan lembaran uang kertas merah pada pria berusia lima puluh lima tahun itu.
"Nggak usah Non, Bapak bawa uang kok," tolak si supir dengan halus.
"Nggak apa-apa Pak, ambil aja! Kemungkinan aku sama Bik Sri bakalan lama di dalam." Flora menyelipkan uang itu di genggaman Yanto, lalu gegas mengapit lengan Sri memasuki gedung pusat perbelanjaan itu.
"Terima kasih Non."
Flora mengangguk seraya menampilkan senyum ramahnya seperti biasa.
"Beda banget sama nenek lampir. Non Flora baik, sedangkan Non Agni jahatnya nggak ketulungan," gumam Yanto sambil berlalu dari sana.
Flora terus mengapit lengan Sri ketika memasuki gedung berlantai lima itu.
"Memangnya Non Flora nggak malu apa jalan sama Bibi seperti ini?" Tanya Bi Sri.
"Malu? Emangnya kenapa musti malu Bi?" Mengambil troli dan mulai mendorongnya menuju lorong panjang yang berisi rak berjajar.
"Ya, Bibi kan cuma pembantu, nggak pantes lah kalau Non nempel-nempel sama Bibi."
"Semua manusia sama Bi, lagi pula sekarang udah nggak ada lagi tempat untuk bermanja selain sama Bibi. Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi selain Ayah dan Bibi."
"Ya sudah, jangan sedih lagi. Bibi sayang sama Non Flora."
Wanita tua itu mengusap punggung Flora dengan lembut. Mereka pun mulai sibuk mengisi troli. Flora memilih untuk mendorong troli dan menyebutkan nama barang yang harus dibeli, sementara asisten rumah tangga itu sibuk mengambil dan memasukkan barang tersebut ke dalam keranjang.
"Apa lagi Non?"
Sri menoleh setelah pertanyaannya yang untuk kesekian kalinya tak kunjung mendapatkan jawaban dari Flora. Mendapati Flora tengah terbengong melihat satu titik, menuntun pandangan wanita itu.
Sosok lelaki yang sedang memilih dua buah bungkusan berbeda di dua tangannya. Pemuda itu nampak tampan dengan celana jeans berwarna hitam yang dia padukan dengan kaos oblong oversize warna putih. Jaket jeans model retro dengan aksen sobek-sobek melengkapi penampilannya.
Sri tersenyum menyadari sosok pria itu menjadi pusat perhatian Flora.
"Bibi kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Flora begitu ia memalingkan wajahnya.
"Nggak apa-apa Non." Wanita itu menunduk malu. "Tampan ya," imbuhnya.
Dahi Flora sukses berkerut dengan kedua alis bertaut. "Apanya Bi?"
"Pemuda itu." Menunjuk dengan dagunya.
"Oh, biasa aja Bi," balas Flora, datar.
Sesaat sebelum Flora kembali mendorong keranjang belanjaannya, ia sempat menoleh ke arah Sakti. Pandangan keduanya bertubrukan, tapi tak bertahan lama karena Flora buru-buru membuang muka dan pergi dari sana.
"Ayo Bi, cepetan!" Ajaknya.
"Kenapa musti buru-buru Non, baru juga jam tujuh," sahut Sri.
"Takut keburu habis dan kita nggak kebagian sayurannya Bi."
Sri menggeleng melihat tingkah nonanya, dia tahu betul itu hanya akal-akalan Flora saja.
"Bi, yang ini namanya apa? Cantik ya warnanya, wangi lagi? Emang bisa di masak kok aku lihat ada di tumpukan bagian sayuran," oceh Flora sembari menyodorkan setangkai bunga yang masih agak kuncup berwarna merah muda.
"Ooh, yang ini namanya bunga honje Non. Memang bisa dimasak. Buat sebagian orang yang suka, mereka akan menambahkan kelopak bunga ini untuk menambah harum masakan, supaya tampilan masakan juga lebih cantik, tapi ada juga yang nggak suka Non," jelas Bi Sri.
"Hm, pantesan. Emang biasanya dimasak apa Bi?"
"Banyak, tapi umumnya sering dibuat gado-gado, rujak sayur sama urap. Kadang dimasukkan juga dalam tumisan seperti kangkung dan yang lainnya."
Flora mengangguk sambil ber oh ria. "Terus kalau mau masak sop iga, bahan-bahannya apa aja Bi? Lain kali ajari aku masak sop iga sama perkedel ya. Biar aku bisa masak makanan kesukaan ayah."
"Baik Non."
Dua wanita beda generasi itu terus berjalan hingga keranjang belanjaan mereka hampir penuh.
Flora menghentikan kakinya saat tiba-tiba seseorang menyodorkan sebatang cokelat tepat di hadapannya. Gadis itu pun menoleh.
"Buat kamu," ujar Sakti. Tangan lelaki itu masih menggantung di udara, Flora belum juga menerima cokelat pemberiannya. Lelaki itu sengaja membuntuti Flora.
"Ng ... Nggak usah Kak, aku udah beli sendiri kok," sahut Flora sedikit gugup.
"Nggak apa-apa, ambil aja! Kan lain, ini pemberianku."
Untuk sesaat Flora ragu, tapi kemudian tangannya terulur untuk menerima bungkusan cokelat itu.
"Terima kasih Kak."
"Iya sama-sama. Kamu lagi belanja?"
"Iya," jawab Flora singkat.
"Sama siapa?"
"Sama Bi Sri." Flora menunjuk wanita tua yang tengah sibuk memilih daging sapi segar. "Kakak juga belanja?"
"Iya. Maklum lah, single dan hidup di kost. Apa-apa serba sendiri."
"Ya udah aku duluan Kak."
Dengan cepat Sakti menahan laju troli yang tengah didorong Flora sebelum sempat gadis itu pergi dari sana.
"Ada apa?" Tanya Flora heran.
"Senin aku jemput kamu ya?"
"Nggak usah Kak, kost an Kakak kan berlawanan arah dari rumahku, nanti malah ngrepotin."
"Nggak apa-apa lagi, aku nggak ngrasa direpotin kok," balas Sakti.
"Dari pada jemput aku, Kakak kan bisa narik ojek, lumayan bisa dapet duit."
Sakti menghembuskan napas panjang. Sejak awal pertemuan mereka tadi, Flora sama sekali tak berusaha membalas tatapannya. Gadis itu juga seperti gelisah dan tidak nyaman berlama-lama dengannya. Hal itu semakin menguatkan pendapat Sakti yang mengatakan kalau Flora sedang berusaha untuk menghindarinya.
Kenapa?
Satu kata yang terus Sakti serukan dalam hati.
"Makasih buat cokelatnya Kak, aku pergi dulu takut bibi nyariin."
Sakti tercenung di tempatnya. Lelaki itu hanya diam melihat kepergian Flora yang semakin menjauh.
'Ini cuma perasaanku aja apa emang Flora beneran sedang menghindar dariku ya?' batin Sakti menerka-nerka.
Hari telah berganti. Bentangan karpet hitam raksasa telah berganti menjadi gumpalan awan seputih kapas yang berarak. Sinar matahari masih terasa begitu hangat menyentuh kulit.
Usai jogging selama hampir satu jam lamanya, Sakti lekas membersihkan diri. Rencana untuk pulang ke rumah orang tuanya sudah tak bisa untuk ditunda lagi.
Tampan maksimal dengan baju santainya, Sakti menyalakan mesin motornya dan mulai membelah jalanan.
Menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk sampai di rumah di rumah Wisnu, sang ayah. Beruntung, karena jika dia memakai mobil, jarak tempuhnya akan jauh lebih lama mengingat tingkat kemacetan yang terjadi hampir di seluruh ruas jalan Ibukota.
Benar saja. Sakti melihat wanita cantik yang telah berjasa dalam hidupnya itu telah berdiri di depan pintu menantikan kehadirannya.
"Mama!" Berlari bak anak kecil dan menghambur ke dalam dekapan Tania.
"Gimana keadaan kamu Sayang, sehat kan? Mama tuh kepikiran kamu terus. Kamu makan dan tidur dengan baik kan?"
"Ya Ma. Mama nggak usah khawatir." Keduanya saling mengurai pelukannya.
"Ayo masuk! Papa udah nungguin dari tadi." Tania menggandeng lengan putranya.
"Papa."
Lelaki yang sedang membaca koran di ruang tengah itu pun menoleh. Diletakkan kertas lebar itu di meja dan segera memeluk putra kesayangannya.
"Akhirnya kamu pulang juga jagoan! Papa kangen banget lho sama kamu."
"Aku juga jauh lebih kangen lagi sama Papa dan Mama," balas Sakti.
"Ya udah ayo, kita sarapan dulu. Mama sama Papa sengaja nunggu kamu datang biar kita bisa sarapan bersama," ajak Tania.
"Ayo Ma. Aku juga sengaja nggak sarapan dari rumah karena kangen sama masakan Mama."
Keluarga kecil itu pun berjalan beriringan menuju meja makan. Aneka sajian telah terhidang di atas meja. Tania sibuk mengisi piring suami dan juga anaknya.
"Wah, udah lama banget nggak makan ayam bakar madu buatan Mama, ini pasti enak," gumam Sakti.
"Jelas, Mama masak dengan sepenuh hati. Nanti nambah lagi nasi sama lauknya ya," ujar wanita cantik itu.
"Yaah, sia-sia dong aku olahraga, jaga pola makan biar bentuk tubuh aku tetap bagus kalau ujung-ujungnya Mama kasih aku makan yang enak-enak," lontar Sakti.
"Sekali-kali kan nggak apa-apa."
Ketiganya makan dengan khidmat. Selanjutnya hanya terdengar denting peralatan makan yang beradu hingga acara sarapan pagi itu berakhir.
Kini, ketiga orang itu duduk di ruang tengah. Menikmati secangkir teh dengan cemilan yang sama sekali belum tersentuh.
"Gimana Nak, sudah ketemu gadis itu?" Tanya Tania, penasaran.
"Sudah Ma."
Tania bersorak kegirangan. "Syukurlah! Lalu kenapa tidak langsung kau katakan saja niatanmu untuk segera menghalalkan dia? Dia masih single kan?"
"Aku bingung Ma," lirih Sakti.
"Bingung? Bingung kenapa?" Wisnu turut buka suara.
"Dia belum menikah kan!" Sambar Tania.
"Belum Ma, tapi anehnya aku nggak merasakan getaran apa-apa sama dia Pa, Ma," ungkap Sakti.
Wisnu terbahak mendengar penuturan putra semata wayangnya.
"Kenapa Papa tertawa," protes Tania.
"Anakmu itu lucu Ma. Ada-ada saja kamu Sakti ... Sakti ... Jelas saja kamu nggak akan bisa merasakan getaran itu. Gadis itu hanya cinta masa kecil kamu yang berawal dari rasa kekagumanmu saja, dan Papa rasa wajar jika rasa itu tak ada lagi. Sudah belasan tahun yang lalu, terlebih kalian juga sudah sama-sama dewasa sekarang. Dia mungkin juga sudah tidak mengingatmu lagi."
Tawa Wisnu makin menjadi-jadi. Beberapa kali pria itu menyeka sudut matanya yang berair akibat tawanya.
"Lihat Papa Ma! Jauh-jauh aku pulang cuma buat diketawain," adu Sakti pada sang ibu.
"Sudah, biarin aja. Ntar Mama bantu pikirkan jalan keluar untuk permasalahan ini ya," bujuk Tania.
"Serius Ma?"
"Iya. Nanti Mama kasih rumus rahasia untuk mendekati seorang gadis," cetus Tania.
"Ya Ma. Makasih Mamaku Sayang." Sakti mendekap tubuh ibunya lagi.
Ketiga orang itu kembali mengobrol seputar rencana Sakti.
Bersambung ....