Rasa Yang Tak Bernama

2040 Kata
"Bagaimana menurut Papa?" Tania menaruh kembali cangkirnya. Usai menghabiskan waktu dengan berbincang panjang lebar, Sakti memutuskan untuk naik ke kamarnya dan beristirahat, sementara suami istri itu masih setia duduk di ruang tengah. Mereka baru saja membicarakan tentang rencana Sakti. "Papa sih setuju-setuju saja dengan usul Mama, cuma ya itu ... Jangan sampai menimbulkan kecurigaan yang akan membuat rencana Sakti menjadi berantakan," pesan Wisnu. "Beres kalau soal itu, Papa tenang aja." "Sebenarnya Papa sudah sangat ingin melihat anak itu menikah. Kita sudah tua, teman-teman kita bahkan sudah banyak yang memiliki cucu, tinggal kita saja yang masih gigit jari." Wisnu menghela napas panjang. "Bersabar dan perbanyak doa Pa, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Menikah itu tidak seperti membeli sepatu, yang ketika tidak suka atau cocok usai membelinya kita bisa menukarnya dengan yang baru. Menikah itu ibadah, komitmen seumur hidup antara dua anak manusia dengan Sang Pencipta, berdoa saja semoga Tuhan memberikan jodoh terbaik untuk anak kita." "Tentu saja, aku selalu mendoakan anak itu. Kita banyak berhutang padanya, aku rasa kebahagiaan yang selama ini kita berikan padanya tak sebanding dengan kebahagiaan yang dia berikan untuk kita. Aku bersyukur memilikimu dan juga Sakti." Tania begitu tersentuh mendengar ucapan suaminya. Wanita itu pun membenamkan kepalanya di d**a Wisnu. "Maaf untuk ketidaksempurnaanku Pa," cicitnya sendu. "Tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain memilikimu dan juga Sakti. Aku akan selalu mencintaimu, sampai kapanpun," tutur Wisnu, lembut. "Terima kasih Pa. Kau adalah suami dan ayah terhebat di dunia." "Sudah, berhenti menangis! Kenapa malah jadi melow gini sih? Kalau tiba-tiba Sakti turun dan memergoki kita, kan malu sama umur," canda pria paruh baya itu. "Biarin, dia juga udah dewasa. Biarkan dia berpikir untuk segera menikah," jawab Tania dengan entengnya. Wisnu menggelengkan kepalanya mendapati tingkah istrinya. *** Cuaca siang ini cukup terik. Flora yang sedari tadi bermalas-malasan di kasur akhirnya memutuskan untuk turun ke bawah hendak membuat minuman. Dilihatnya Sri sedang menyiangi sayuran untuk memasak makan malam. "Non Flora mau apa?" "Buat sop buah Bi, kayaknya enak deh panas-panas gini makan sop buah," balas Flora. "Non Flora duduk aja, biar Bibi yang buat," tawar wanita itu. "Nggak usah Bi? Biar aku buat sendiri aja, Bibi selesaikan aja kerjaan Bibi." "Beneran nggak mau dibantu?" "Beneran Bi, nggak usah. Aku bisa buat sendiri kok." Flora membuka lemari pendingin, mengambil beberapa buah dan mulai berkutat di meja. Setelah semua bahan yang dibutuhkan sudah lengkap, Flora mengambil beberapa buah mangkuk dan mulai mengisinya hingga kini tampilan es buah dalam mangkuk itu terlihat sangat menggoda. "Ayah mana ya Bi?" "Tuan sepertinya sedang istirahat di kamar, Nyonya Adel sedang pergi keluar, kalau Non Agni ya sedang mengeram di kamar." "Hm. Ya udah kalau gitu aku buat dua dulu aja ya Bi, nanti sisanya kalau ada yang mau makan tinggal tambahkan es batu aja." "Emang yang satunya buat siapa?" Tanya Sri. "Buat Bibi sama aku lah. Ayo, Bi! Kita duduk dulu nikmati ini sama-sama ya." Flora mengapit lengan wanita dan mengajaknya duduk. Flora diam melihat wanita itu mencicipi sop buah buatannya terlebih dulu. "Gimana Bi?" "Luar biasa Non, enak, seger banget ini," puji Sri sambil mengacungkan dua buah jempolnya. "Ya udah habisin Bi." "Siap. Non Flora juga makan dong." "Iya ini mau aku cobain." Baru saja Flora hendak menyendok sop buahnya, Agni dengan cepat menggesernya. Tak hanya itu saja, gadis itu merebut sendok yang ada di tangan Flora dan dengan santainya Agni mulai memakannya. "Agni, apa-apaan sih kamu! Nggak sopan tahu nggak sih? Di meja kan juga masih ada, kenapa kamu ambil punyaku!" Seru Flora tak terima. "Nggak usah banyak omong deh, kamu nggak nyadar apa kalau sekarang kamu tuh cuma numpang di sini! Dan bahkan baju yang kamu pakai aja itu termasuk hak milikku. Aku bisa aja pakai barang-barangmu kalau mau, sayangnya aku nggak suka barang bekas, Jadi jangankan cuma semangkuk sop buah doang, kamu tuh cuma benalu ya di sini, jadi sadar diri dong!" Hardik Agni. Kesal. Flora pun tak lagi dapat mengendalikan diri. Prang! Agni terperanjat saat Flora membanting mangkuk di hadapannya. "Eh, nenek lampir! Kamu tuh kalau ngomong ngaca dong, siapa yang benalu dan siapa yang numpang? Aku harap kamu nggak lupa ya saat pertama kali ayahku memungut kamu dan ibumu, jadi nggak usah sok! Tanpa uluran tangan ayahku, kamu nggak akan pernah bisa makan enak!" "Mulai berani kamu ya? Mau nantangin aku, iya?" Agni mendorong Flora, beruntung Flora dapat menyeimbangkan diri hingga ia tak sampai terjatuh. "Kamu bener- bener nggak tahu diri ya, jangan kira selama ini aku diam karena aku takut sama kamu!" "Kurang ajar!" Agni bersiap melayangkan tangannya di wajah Flora, tapi belum sempat tangan gadis itu menyentuh pipi mulusnya, Flora sudah lebih cepat bertindak. Plak! Sri bergidik ngeri membayangkan betapa keras Flora menampar Agni. Wanita itu tak sanggup melerai pertikaian antara saudara tiri itu. "Apa-apaan kamu Flo!" Teriak Agni, murka. "Kurang ajar!" Gadis itu menerjang Flora. Plak! Sekali lagi tangan Flora berhasil mendarat di pipi Agni, membuat gadis itu menangis jejeritan. "Sekali-sekali kamu memang perlu diberi pelajaran," cetus Flora, geram. "Aku akan membuat perhitungan, kita lihat aja nanti," ucap Agni sambil memegangi pipinya. "Silakan! Aku nggak takut." "Kamu mau aku aduin sama ayahmu yang lumpuh itu!" Tantang Agni. "Yang sopan kalau ngomong! Lelaki yang kamu bilang lumpuh itulah yang udah kasih kemewahan hidup buatmu. Jaga mulutmu atau aku akan merobeknya sampai kau tidak bisa bicara apa-apa lagi." Prang! Kesal, Agni membanting mangkuk yang ada di meja. "Kau pikir hanya kau saja yang bisa?" Flora mendelik. Prang! Prang! Kalap, Flora membanting seluruh mangkuk yang ada di meja hingga tak tersisa. Agni menggigil, ini kali pertama dia melihat sisi lain Flora. Ya, tak ada lagi Flora yang cengeng dan selalu menangis ketika Agni melakukan perbuatan semena-mena. "Aku akan membalasmu, lihat saja nanti," ancam Agni. "Silakan! Aku tunggu," balas Flora. Gadis itu beralih menatap asisten rumah tangga yang sejak tadi mematung di kursinya. "Bi, tolong bersihin ya, takut nenek lampir kena pecahannya nanti, dia kan super sibuk harus ngurus perusahaan sekaligus gaet cowok kaya. Kalau sampai ada yang terluka, bisa-bisa nanti dia nggak bisa tebar pesona, kalau dia nggak segera mendapatkan calon suami, dia bisa menghabiskan harta ayahku." Usai mengatakan itu, Flora pun berlalu dari sana. Sial! Bukan sop buah segar yang ia nikmati malah harus bertikai dengan Agni. Flora terus mengutuk kejadian tadi, dia sendiri tak tahu mengapa dia berubah menjadi sangat ganas tadi. "Apa yang terjadi?" Flora menghentikan langkahnya begitu mendengar suara dari penguasa rumah ini, siapa lagi jika bukan sang ibu ratu alias Adel. "Ma, Flora nampar aku Ma, lihat ini!" Agni menunjukkan pipinya yang memerah. "Bi Sri yang jadi saksinya kalau Mama nggak percaya," adu gadis itu pada ibunya. "Astaga! Kenapa sampai merah begini?" "Tuh, Mama tanya aja sama upik abunya langsung," sinis Agni. "Flo!" Wanita paruh baya itu mendelik. Tatapannya pada Flora seakan hendak menelan gadis itu hidup-hidup. "Iya Ma, emang bener aku yang nampar Agni, tapi kenapa Mama nggak tanya alasan aku sampai nampar dia? Aku hilang kesabaran Ma," balas Flora, santai. "Sayang, jelaskan sama Mama." Agni pun langsung mengoceh pada sang ibu, menceritakan awal mula kejadian itu hingga akhirnya terjadi baku hantam yang membuat dapur itu menjadi seperti kapal pecah. Tentu saja dengan dibumbui drama agar Adel percaya. "Benar begitu?" Adel menelisik raut wajah Flora. "Benar yang dikatakan Agni?" Ulangnya. "Ya Ma, benar. Tapi coba Mama bayangkan kalau Mama dalam posisiku? Mungkin Mama akan membalasnya lebih gila lagi. Tanya sama Bi Sri, ada banyak mangkuk yang aku buat dan dia hanya perlu mengatakannya saja. Aku pun akan kasih kalau dia ngomongnya baik-baik Ma," beber Flora. Adel terdiam. Satu sisi dia sangat menyayangi Agni dan tak suka jika anaknya disakiti, tapi penuturan Flora juga ada benarnya. Ah, wanita itu benar-benar dibuat gila jika menghadapi pertikaian dua gadis itu. "Kenapa Mama diam? Jadi sekarang Mama lebih percaya sama dia dibandingkan denganku, anak kandung Mama sendiri!" Tuding Agni. "Bukan begitu Sayang," sanggah Adel. "Alah, udahlah! Males aku ngomong sama Mama. Di mana Mama yang selalu kompak dalam segala hal denganku? Ke mana perginya kebencian Mama sama upik abu itu!" "Adel!" Belum sempat Adel membuka mulutnya, panggilan Panji sudah lebih dulu menggema. "Adel! Cepat ke mari!" Teriak Panji, lagi. "Ya Mas." Adel mengusap bahu putrinya. "Kita bahas ini lagi nanti ya." Buru-buru wanita itu pergi dari sana. "Sial!" Teriak Agni, frustasi. Sementara Flora berlalu dari sana. Akan lebih baik jika dia tidur siang saja dari pada lama-lama berada dalam ruangan yang sama dengan si nenek lampir. *** Mentari nampak malu-malu ke luar dari peraduannya. Cericit burung bersahutan, menyemarakkan suasana pagi itu. Titik embun menetes di dedaunan. Udara masih terasa sangat segar. Flora menuruni satu per satu anak tangga. Gadis itu telah rapi dengan setelan formalnya, juga tas kerjanya. "Pagi Ayah, pagi Ma," sapa Flora, ramah. "Pagi Sayang. Setelah libur dua hari kau menjadi lebih siap bekerja hari ini?" Tanya Panji. "Tentu Yah. Dua hari cukup untuk merilekskan otot-otot yang tegang selama lima hari bergelut dengan tumpukan dokumen." Flora tertawa renyah. Tak ia pedulikan lirikan mematikan yang terus dilemparkan Agni padanya. Flora tahu, Agni masih menyimpan dendam untuknya. "Kalian yang rukun di kantor ya! Sering-seringlah sharing demi kemajuan perusahaan," seloroh Panji. "Siap Yah." Keluarga kecil itu pun memulai sarapan paginya. Tak ada yang berbicara di meja makan, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar mendominasi. Flora dan Agni bergantian menyalami Panji juga Adel. Mereka langsung berangkat ke kantor. "Nak, kamu tumben nggak bawa mobil?" Panji menanyai anak sambungnya. "Lagi males Yah, kebetulan juga udah ada yang jemput," Agni menyahut. "Siapa? Pacar? Kenalin ke Ayah dong." "Bukan Yah, ya ... Bisa dibilang baru jadi gebetan." "Ya udah. Berangkatlah, hati-hati di jalan!" Pesan Panji. "Iya Yah. Pamit dulu." Panji melirik istrinya. "Apa?" Tanya Adel. "Jika saja anak-anak kita menikah, aku akan sangat bahagia saat melepas mereka bersama lelaki yang dicintainya," ujar Panji. "Mas doakan saja supaya mereka cepat bertemu dengan jodohnya masing-masing." Panji mengangguk. Ia lalu meminta pada Adel untuk mendorong kursi rodanya menuju taman belakang. Flora berjalan terlebih dulu sementara Agni di belakang gadis itu. "Kasihan banget sih nasib kamu Flo, buat apa punya harta melimpah kalau nggak bisa digunain. Artinya kamu sama aja miskin dong," ejek Agni. Sontak Flora menghentikan kakinya, membalikkan badannya dengan cepat. "Aku rasa kamu punya kaca kan di kamar?" "Ya jelas punya lah, ngapain nanya kalau udah tahu jawabannya." "Kamu tahu nggak itu fungsinya apa?" "Buat lihat wajahku yang cantik mempesona lah." Flora tersenyum mengejek. "Nah itu tahu kegunaan kaca untuk bercermin kan? Sepertinya kamu perlu ngaca lebih lama biar kamu sadar diri! Masih mending aku orang kaya bersikap sederhana, dari pada kamu, aslinya orang kere tapi banyak gaya," sinis gadis itu. Agni mengepalkan tangannya. "Kurang ajar kamu Flo, bener-bener nantangin kamu ya! Awas aja nanti!" Flora tak lagi menggubris ucapan Agni, gadis itu mempercepat langkahnya menuju halte bus. Di depan gerbang, langkah kaki Cinta kembali terhenti saat melihat seseorang yang dikenalnya melintas di hadapannya. Sakti menghentikan motornya di depan Flora, membuka kaca helmnya. Flora tahu pria itu tengah tersenyum padanya, Flora dapat melihatnya meskipun wajah Sakti tertutup masker. "Tunggu Flo!" Cegah Sakti saat menyadari gadis itu hendak pergi. "Ada apa?" Tanya Flora dengan nada ketus. "Maaf ya nggak bisa jemput kamu, Agni mendadak maksa minta dijemput. Aku nggak enak karena dia maksa-maksa gitu, padahal aku udah bilang kalau aku lagi nggak narik dan mau jemput kamu," jelas Sakti. "Terserah." Flora meninggalkan Sakti begitu saja, sementara di sisi lain Agni tengah tersenyum penuh kemenangan. 'Ini belum seberapa Flo, akan ada kejutan yang lebih besar lagi menantimu nanti!' "Hai Sakti! Maaf ya ngrepotin." Agni menghampiri pemuda yang masih berada di atas motor itu. "Nggak apa-apa kok." Menyodorkan helm pada Agni. "Terima kasih ya." Sakti mengangguk. Begitu siap, Agni langsung duduk di motor. "Kita langsung ke kantor atau mau mampir dulu?" Tanya Sakti. "Langsung ke kantor aja. Ngebut ya Sakti, aku nggak mau telat!" "OK." Flora masih belum sampai di halte saat motor Sakti melintas. Melihat Agni membonceng Sakti dengan posisi tubuh yang sangat erat membuat terjangan gelombang di dadanya kian menjadi. Flora tahu Agni sengaja melakukan itu di depannya, tapi yang tidak Flora habis pikir, kenapa dia merasa marah sementara tidak ada hubungan apa-apa antara dirinya dan Sakti? Tidak mungkin ada cinta di hatinya untuk lelaki itu, bukan? Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN