Flora memperlambat langkahnya ketika dari kejauhan dia melihat Sakti sedang bercengkerama dengan Agni. Mereka terlihat sangat akrab, terbukti dari candaan yang diselingi dengan tawa di sela-sela perbincangan mereka.
Gadis itu memilih memutar kakinya menuju kubikel Vita yang kebetulan berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Vit, lagi ngapain?"
"Eh, Flo. Ini ... Cuma beres-beres doang. Tumben ke sini, biasanya nggak sempet karena begitu sampai udah disibukkan dengan tumpukan laporan keuangan," celoteh gadis itu.
"Tuh!" Flora menunjuk dua insan yang tengah tertawa renyah.
Vita terpaku di tempatnya. "Itu nggak salah? Mereka kelihatan akrab banget padahal dulu pas pertama ketemu udah macam tikus dan kucing mereka, berantem mulu."
"Tahu ah! Aku aja kesel liatnya," ketus Flora.
"Maksudnya?"
"Ya gara-gara mereka aku jadi nggak bisa duduk kan? Aku mau duduk di mana kalau nenek lampir itu duduk di kursiku?"
"Kamu benar. Mau diusir pun nggak enak karena dia anak pemilik perusahaannya. Ya udah deh, duduk sini aja dulu! Lagian jam kerja juga masih lama." Vita menarik kursi putar untuk Flora tempati.
"Ngomong-ngomong aku mau sarapan dulu, tadi buru-buru banget berangkatnya karena kata Pak Ibra, kepala divisi aku mau adain rapat mendadak," beritahu Vita sambil membuka bungkusan kotak makan dari dalam tasnya.
"Ya silakan, aku udah makan tadi di rumah." Mata Flora terus tertuju pada Sakti dan Agni. Sesekali tangannya terkepal kuat.
Sementara Flora sibuk memperhatikan interaksi Sakti dan Agni, Vita terus menyuapkan salad buah ke dalam mulutnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya keheranan saat melihat reaksi temannya itu.
Sesekali Flora memukul meja. Bibir gadis itu juga terus bergetar seakan ingin memaki.
"Kamu cemburu Flo," cetus Vita.
"Apa? Kamu yang bener aja kalau ngomong," sanggah Flora.
"Mulut bisa saja menyangkal, tapi hati nggak bisa bohong lho dan aku bisa melihatnya dengan jelas di wajahmu."
Flora menatap lurus temannya. "Masa sih?"
"Iya. Kamu suka sama Sakti, itu sebabnya kamu marah lihat dia akrab banget sama nenek lampir itu, cuma kamunya aja yang masih belum menyadarinya."
"Aku suka sama Kak Sakti?" Tanya Flora pada dirinya sendiri.
"Jawabannya ada di sini." Vita menyentuh d**a Flora. "Di hatimu," imbuhnya.
"Menurut kamu gitu?"
Vita mengangguk mantap. "Sebagai sesama cewek, aku paham betul dengan apa yang sedang kamu rasakan. Kamu tuh sebenernya emang udah jatuh cinta sama dia," ulang Vita.
Sontak Flora membungkam mulut temannya. "Jangan keras-keras Vit, malu kalau sampai ada yang denger."
"Iya ... Iya, sorry."
"Aku juga sebenarnya nggak tahu kenapa aku bisa seperti ini Vit, tapi yang jelas aku kayak nggak rela Kak Sakti deket-deket sama lampir itu," cicit Flora.
"Bukan cuma sama lampir doang kamu sensinya, kalau Sakti deket sama cewek lain, kamu juga pasti bakalan marah. Itu namanya cinta Flo. Kamu kok polos banget sih jadi cewek, emangnya kamu belum pernah pacaran?"
"Boro-boro pacaran, perasaan aneh yang kamu bilang cinta aja baru kali ini aku rasain," ungkap Flora.
"Hm, pantesan. Padahal kamu cantik lho Flo, pasti banyak cowok yang suka sama kamu."
"Udah lah, malah bahas soal itu. Eh, tapi jangan bilang sama siapa-siapa ya soal pembicaraan kita kali ini. Awas sampai bocor!"
"Iya Flo, kamu tenang aja."
Dua gadis itu kembali melanjutkan pembicaraan mereka.
Di sisi lain.
Sakti salah tingkah saat Agni terus menatapnya.
"Ternyata kamu orangnya asyik juga ya diajak ngobrol," kata Agni.
"Ah, biasa aja. Orang kalau udah kenal sama aku pasti akan bilang begitu."
"Omong-omong kamu tinggal di mana? Lain kali boleh nggak aku main?"
"Aku tinggal di kost kecil, sempit dan nggak nyaman banget lah, kan aku pernah cerita sama kamu waktu itu. Bukannya aku mau larang kamu buat main, tapi aku yakin kamu pasti nggak nyaman di sana."
"Nggak apa-apa lagi, biar kita juga makin akrab kan. Mulai sekarang kan kita teman, bukan begitu?" Memangku tangan, Agni menatap lekat wajah tampan Sakti.
"Iya sih."
"Ya udah aku masuk dulu ya, bentar lagi jam kerja dimulai dan kebetulan aku ada meeting penting pagi ini," ujar Agni.
"Ya, silakan."
"Terima kasih ya atas tumpangannya, padahal tadinya mau aku bayar aja tapi kamunya ngotot nggak mau."
"Iya nggak apa-apa. Sesama teman masa itung-itungan sih," balas Sakti.
"OK. Sampai ketemu lagi jam makan siang ya." Agni melambaikan tangannya sebelum memasuki ruang kerjanya yang memang berjarak cukup dekat dengan kubikel Sakti.
Melihat kepergian Agni, Flora pun memutuskan untuk kembali ke kubikelnya.
"Aku balik ya Vit, thanks."
"Ya. Eh, ntar siang makan bareng ya," ajak Vita.
"Ya."
Flora mengayunkan kakinya, melirik Sakti sekilas sebelum akhirnya dia mendaratkan bokongnya di kursi yang tadi di tempati Agni.
"Pagi Flo," sapa pria itu.
"Pagi juga."
"Maaf ya, aku nggak bisa jemput kamu karena Agni maksa aku buat jemput dia tadi."
"Nggak masalah! Toh tadi juga kamu udah jelasin itu ke aku." Flora membuka tasnya. "Ini jas kamu yang waktu itu aku pakai, udah aku cuci kok, kali aja mau kamu pakaikan juga sama Agni."
Sakti terdiam. Lelaki itu sibuk menerka apa yang sebenarnya terjadi pada Flora sehingga gadis itu menjadi dingin acuh padanya.
"Helm Kakak juga udah aku taruh di motor. Terima kasih ya," ujar Flora lagi.
"Sama-sama."
Sakti masih ingin berbincang dengan gadis itu, tapi sepertinya Flora benar-benar sedang tidak ingin diganggu.
"Flo, gimana kalau nanti kita makan siang bareng," ajak Sakti.
"Maaf Kak, nggak bisa. Aku udah janjian sama Vita, lagian kamu pasti juga udah janjian sama Agni kan?"
Sakti tak bisa berkata-kata lagi, karena bersamaan dengan itu jam kerja telah dimulai.
Sesekali Sakti melirik Flora dari kubikelnya dan Flora bukannya tak tahu Sakti sedari tadi terus memperhatikannya, Flora hanya merasa kesal dan tak ingin bicara dengan Sakti. Setidaknya untuk saat ini.
***
Adel berjalan menuju ruang tengah dengan membawa nampan berisi secangkir teh chamomile dan beberapa potong red velvet.
"Diminum dulu tehnya Mas."
"Iya, terima kasih." Panji manyambut uluran cangkir dari tangan istrinya.
"Jam sembilan nanti aku mau keluar, ada acara arisan sama kumpul-kumpul biasa. Sementara aku pergi, kamu bisa minta tolong sama Bi Sri ya Mas," kata Adel.
"Ya, tapi usahakan jangan terlalu lama. Aku nggak pernah larang kamu untuk pergi, asal kamu bisa bagi waktu. Inget kewajiban kamu sebagai istri," Panji menyahut.
"Iya Mas. Nggak perlu Mas ceramah pun aku udah tahu kok. Ya udah aku ke kamar dulu mau siap-siap."
Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Adel sudah lebih dulu berlalu dari sana.
Usai berpamitan, Adel memacu kendaraan roda empatnya membelah jalanan Ibukota. Acara arisan kali ini diadakan di salah satu rumah teman Adel.
Sesampainya Adel di pelataran sebuah rumah mewah, ia pun segera turun dari mobil ketika melihat teman-temannya sudah berkumpul di sana.
"Halo Jeng Ana," sapa Adel.
"Eh, Jeng Adel. Ayo silakan masuk, teman-teman udah pada kumpul."
Setelah keduanya saling bercipika-cipiki, Adel mulai menyalami sekumpulan wanita sosialita yang ada di sana.
"Eh, Jeng. Kenalin ini temen lama aku, namanya Tania. Tania ini dulunya ikut suaminya ke Jerman," jelas Ana.
"Adel."
"Tania."
Dua wanita itu saling berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing.
"Suaminya Tania ini seorang diplomat lho, dia sudah keliling dunia semenjak menikah dan ikut dinas dengan suaminya," lanjut Ana.
"Wah, senang berkenalan dengan Jeng Tania. Semoga kita bisa menjadi teman akrab ya," ujar Adel.
"Ya Jeng. Saya menang baru setahun ini kembali ke Indonesia, jadi bisa dibilang saya nggak punya temen," Tania menimpali.
"Ya, kamu sibuk keliling dunia Jeng." Tawa Ana pecah.
Suasana menjadi ramai, sekumpulan wanita itu sibuk berbincang-bincang. Ada yang menceritakan masalah pribadi mengenai rumah tangganya, ada yang berbagi pengalaman kehidupannya yang dipenuhi kemewahan.
Tania sibuk mengawasi Adel. Kesan pertamanya bertemu wanita itu masih biasa saja, tapi perlahan dia akan menjalankan rencananya.
Untuk mengambil gadis yang ingin menjadi menantunya, Tania memang telah memberikan keputusan itu sepenuhnya pada Sakti.
Namun, Tania tetap tidak akan lepas tangan begitu saja. Wanita itu akan pastikan kalau gadis yang akan menjadi istri Sakti merupakan gadis yang tepat. Selain kecantikan fisik, attitude dan semua faktor penunjang lain harus dimiliki gadis itu sebelum melangkah menuju gerbang pernikahan.
"Oh ya, Tania ini punya satu anak lelaki. Usianya udah pas untuk menikah lho, barangkali ada di antara kalian yang mau menjodohkan anaknya sama dia," cetus Ana.
"Memang anak Jeng Tania apa pekerjaannya?" Tanya Adel.
"Ah, cuma staf biasa di kantor Jeng."
"Jangan didengarkan Jeng Adel, Tania ini emang suka merendah," Ana menyela.
"Oh ya, lalu apa pekerjaannya? Kebetulan saya punya anak gadis siapa tahu mereka mau dijodohkan," sahut Adel.
"Anaknya Tania ini pengusaha muda lho Jeng Adel," jawab Ana.
"Wah, bagus dong kalau begitu," puji Adel.
"Tidak seperti yang kalian pikirkan Jeng, anak saya masih tahap belajar. Perusahaannya juga nggak yang gede-gede amat, masih pemula," sergah Tania.
"Aku kira udah mapan Jeng, tadinya kalau udah mapan mau saya kenalin sama anak saya. Anak saya itu maunya nikah sama pengusaha yang udah mapan,"beber Adel.
"Ya sih. Memang bagus cari suami yang seperti itu, tapi kalau misalnya kita berhasil menemani suami dari nol sampai dia sukses juga kan menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi seorang istri," balas Ana.
"Iya, tapi sayangnya anak saya nggak mau sama pemuda biasa-biasa saja. Anak saya maunya pengusaha mapan yang kaya raya, dia takut hidup susah," kelakar Adel.
"Maaf, memang seperti apa anak gadis Jeng Adel? Saya jadi penasaran," Tania yang sejak tadi diam pun pada akhirnya membuka suara.
"Oh, ada di galeri foto saya. Sebentar ya Jeng." Adel menggulir layar ponselnya lalu memberikannya pada Tania.
Sosok cantik berbalut mini dress hitam sepanjang lutut tengah berpose di depan kamera. Gaun dengan belahan d**a rendah itu menampilkan bentuk isinya yang membusung padat. Ditambah dengan tatapan nakal nan menggoda yang menambah kesan seksi. Hal itulah yang dapat Tania tangkap saat melihat foto Agni.
'Jadi ini perempuan yang sudah mencuri hati anakku, tapi masa iya potongannya seperti gadis nakal,' gumam Tania dalam hati.
"Gimana anak saya Jeng? Cantik kan?" Tanya Adel.
"Cantik Jeng." Tania tersenyum. 'Tapi mungkin akan lebih cantik lagi jika memakai pakaian tertutup. Entah mengapa aku tidak yakin pada gadis ini, tidak akan aku biarkan anakku mendapatkan perempuan yang salah,' imbuh Tania dalam hati.
"Ya, makanya seleranya tinggi. Cari suami maunya yang udah mapan," sahut Ana.
Tania menjadi pendengar yang baik ketika Adel dan Ana sedang sibuk membicarakan perihal perjodohan itu.
***
Flora melirik arlojinya, jam makan siang tiba akan tetapi gadis itu masih sibuk dengan tumpukan dokumen.
"Flo, kamu nggak makan siang?" Sakti bangkit dari kursinya.
"Nanti aja Kak, tanggung ini bentar lagi kelar," jawab Flora tanpa mengalihkan pandangannya.
"Aku ..."
"Sakti!"
Belum sempat Sakti melanjutkan ucapannya sudah terdengar teriakan Agni.
"Sakti, ayo katanya mau makan siang bareng? Aku mau kasih rekomendasi makanan enak sama kamu. Kebetulan restoran itu baru buka," oceh Agni.
Flora sempat melirik dengan ekor matanya, dia melihat Sakti yang seolah enggan pergi dari sana dan Agni menyeretnya dengan cepat.
'Rasain kamu Flo! Jealous kan jadinya? Ini belum seberapa, aku sudah menyiapkan kejutan untukmu nanti.' Agni tersenyum miring. Ia mengapit lengan Sakti dan mengajak pria itu pergi dari sana.
"Kamu serius mau saingan sama dia Flo?"
Flora mendongak mendengar pertanyaan Vita, gadis itu sudah berdiri di depannya sambil melipat kedua tangannya.
"Maksud kamu?"
"Bu Agni juga kayaknya suka sama Sakti," cetus Vita.
"Masa sih?" Tanya Flora tak percaya.
"Ya ampun Flo, kamu tuh jadi orang jangan kelewat polos dong! Dari cara Bu Agni menatap Sakti aja aku udah tahu. Tatapannya sama dengan seperti yang aku lihat di matamu."
"Mana mungkin dia suka sama Sakti, Vit? Setauku nenek lampir itu orang yang perfeksionis, apa mungkin Sakti masuk kriterianya?"
"Jangan salah! Kalau cinta sudah melekat, tai kucing pun dirasa coklat, begitu orang sering bilang. Jadi kalau cinta sudah dirasa, aku yakin nggak akan ada yang bisa menghalangi seseorang untuk mendapatkan cintanya, pun dengan lampir itu," oceh Vita.
Flora bungkam, mencoba meresapi setiap ucapan Vita. Jika memang Agni benar-benar jatuh cinta pada Sakti, lalu bagaimana dengannya?
"Woi! Kok malah bengong?" Vita menyenggol bahu Flora.
"Terus apa yang harus aku lakukan Vit?" Menatap temannya penuh harap.
"Ya usaha lah, Sayang. Jangan biarkan nenek lampir itu mendapatkan Sakti," ujar Vita.
"Caranya?" Flora masih tak mengerti dengan arah pembicaraan Vita.
"Kamu pepet tuh Saktinya, jangan sampai kamu berikan ruang pada mereka untuk bisa berdekatan."
"Aku masih nggak ngerti Vit," rengek Flora frustasi.
"Ya ampun nih anak, cantik-cantik koh ya begonya nggak ketulungan," goda Vita.
"Ih, Vita!"
"Iya ... Iya, sorry. Ya lagian kamu mah kebangetan banget jadi cewek, masa iya kayak gitu doang nggak ngerti. Mau aku ajarin? Aku punya cara untuk menaklukkan Sakti."
"Caranya?"
"Sini aku kasih tahu." Vita mendekatkan tubuhnya, ia bisikkan sesuatu di telinga Flora. "Aku jamin dia bakalan takluk sama kamu Flo," ucap Vita usai mengatakan itu pada Flora.
Senyuman terbit di bibir Flora. Ia mengacungkan dua jempolnya pada Vita.
"Aku akan mencobanya," ujar Flora Bersemangat.
"Aku akan dukung kamu sepenuhnya Flo.
Pertandingan dua saudara tiri itu dalam merebut hati Sakti pasti akan sangat seru nantinya.
Bersambung ....