Sakti memarkirkan motornya di depan sebuah restoran. Matanya menatap ke sekeliling, melihat bangunan berlantai dua dengan nuansa modern itu.
"Gimana menurutmu Sakti? Selain tempatnya nyaman dan bagus, makanannya juga enak lho. Aku pernah ke sini sama temenku pas awal-awal resto ini baru buka," beber Agni.
"Lumayan. Bersih dan nyaman."
Agni menggandeng tangan Sakti memasuki bangunan itu. Gadis itu memilih duduk di meja yang dekat jendela.
"Kamu mau pesen apa Sakti?" Tanya Agni setelah mereka berdua duduk.
"Samain aja deh sama punya kamu," jawab Sakti.
"OK."
Pelayan berlalu dari sana usai memastikan pesanan Agni. Agni menyadari saat ini Sakti menjadi lebih pendiam dan terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
Ya, raga Sakti memang sedang bersama Agni, tapi sejujurnya angannya terus berkelana memikirkan Flora. Wajah gadis itu ketika sedang merajuk, seolah menempati iris matanya.
"Sakti, Sakti!"
Sakti terkesiap. "Iya, ada apa?"
"Ih, kamu mikirin apaan sih? Dari tadi aku aja ngomong juga," cibir Agni.
"Iya sorry, aku lagi nggak fokus. Tadi kamu ngomong apa?"
"Nggak jadi! Nih makanannya udah datang, kita makan dulu aja."
'Dia pasti mikirin si upik abu deh. Nyebelin banget!' Agni memberengut masam.
Benar kata Agni, makanan di sana memang enak, sangat enak. Perpaduan bumbu dan bahan segar menciptakan rasa yang pas di lidah, akan tetapi tetap saja Sakti tak bisa menikmati makan siangnya kali ini.
Gila.
Ini gila.
Sakti belum pernah terbayang-bayang wajah seorang gadis sampai seperti ini.
'Flora makan siang pakai apa ya? Kira-kira dia makan dengan baik apa nggak? Sial! Kenapa aku mesti mikirin dia terus, kan Agni yang sedang aku incar, gimana sih.' Sakti terus memaki dirinya.
"Nggak asyik banget sih Sakti! Jangan diem aja dong," Agni mengomel.
"Iya ... Iya ... Sorry."
"Emang kamu mikirin apa sih?"
"Nggak mikirin apa-apa."
Agni mencebik. Sorot mata Sakti tak dapat berbohong, ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya dan Agni tahu apa penyebabnya.
***
"Ya elah, Flo. Dimakan dong mienya, sayang kan? Enak-enak gini kok dianggurin, sini aku habisin aja," kata Vita.
"Mau?" Tawar Flora.
"Emang kamu pikir perutku muat apa," sinis Vita.
"Oh ya, aku lupa. Kamu kan lagi diet."
"Siapa bilang? Aku bebas makan apa aja kok."
"Kamu sarapan pakai salad buah, aku pikir kamu diet," ujar Flora.
"Nggak. Aku nggak diet. Udah cepetan dimakan, ntar mie kamu jadi ngembang lho kelamaan diaduk-aduk mulu."
Flora hanya menanggapi ucapan Vita dengan senyuman.
"Nggak usah terlalu dipikirin Flo. Kita kan udah buat rencana biar kita tahu perasaan Sakti yang sebenarnya sama kamu itu gimana," oceh Vita.
"Kok kamu tahu apa yang sedang aku pikirkan? Mirip cenayang tahu nggak," ledek Flora.
"Terserah lah, aku kalau ngomong sama kamu suka makan hati."
Flora tertawa renyah. "Gitu aja ngambek."
"Ya habisnya kamu ngeselin, orang lagi ngomong serius dianggapnya bercanda mulu, kesel aku jadinya!"
"Iya, maaf. Udah dong jangan ngambek, gitu aja ngambek."
"Ya udah ayo buruan makannya! Bentar lagi jam istirahat berakhir nih."
"Siap nona peri."
Dua gadis itu pun melanjutkan makan siangnya. Setelah membayarnya, Flora dan Vita masuk ke dalam lift menuju lantai atas. Di sana mereka bertemu dengan Sakti dan Agni yang kebetulan sudah lebih dulu masuk ke dalam alat angkut itu.
Vita mencibir saat melihat Agni langsung melingkarkan tangannya di lengan Sakti, kelakuannya sudah mirip orang pacaran saja.
"Hai Flo, kamu udah makan siang?" Tanya Sakti.
"Udah."
"Gimana makanannya, enak?"
"Enak banget," jawab Flora asal. Ia pura-pura bermain dengan ponselnya, sementara Vita tersenyum memperhatikan tingkahnya.
"Eh Sakti! Makanan yang kita makan juga tadi enak kok," Agni menyela.
"Ya, memang enak," balas Sakti.
'Tapi tetap saja aku tidak bisa menikmatinya,' imbuhnya di dalam hati.
Lelaki itu terus membatin, kenapa bisa dia dihadapkan dalam situasi serba sulit seperti ini?
Sedari dulu, urusan hati memanglah sulit. Bahkan tak jarang terjadi pertentangan antara hati dan pikiran. Seperti Sakti saja misalnya, dia bertekad untuk mendapatkan Agni, tapi entah mengapa hatinya malah terus terpaut pada Flora.
***
Acara arisan pun usai. Satu per satu teman sosialita Ana mulai membubarkan diri.
"Aku pulang dulu ya Jeng," pamit Tania.
"Kenapa buru-buru, tinggallah sebentar! Kita bisa ngobrol sama Jeng Adel, kebetulan kita juga mau shoping," beritahu Ana.
Tania berpikir sejenak. Mungkin dengan begitu dia bisa mengorek informasi lebih dalam lagi mengenai Agni.
"Baiklah kalau begitu," ucap Tania setuju.
"Ya sudah ayo! Sebaiknya kita berangkat sekarang aja biar nggak kemalaman pulangnya."
Ketiga wanita itu pun bergegas menaiki mobilnya masing-masing.
"Demi kamu Sayang, mama sampai rela buang-buang waktu untuk mengorek informasi begini. Mau menyuruh orang pun mustahil, mereka pasti tidak akan tahu sampai mendetail informasi internal di keluarga Panji," gumam Tania seraya mengemudikan mobilnya mengikuti dua mobil yang sudah lebih dulu di depannya.
Setelah bergelut dengan macet yang hampir terjadi di setiap ruas jalan, di sinilah Tania sekarang. Turun dari parkiran mobil dan mengikuti langkah temannya masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
Toko tas terkenal menjadi tujuan utama Adel, sementara Tania dan Ana mengekor di belakang.
"Saya mau ke sana dulu Jeng, katanya ada tas keluaran terbaru," pamit Adel.
"Ya Jeng, silakan. Saya sama Jeng Tania berkeliling dulu ya," sahut Ana.
Agni pun melenggang menuju display yang berisi deretan tas mewah.
"Jeng, kamu udah lama kenal sama Adel?" Tania membuka pembicaraan.
"Baru sekitar setahun isi sih Jeng, kenapa memangnya?"
Dua wanita itu berjalan menyusuri rak berisi tas dengan berbagai jenis model.
"Nggak apa-apa, cuma nanya soalnya kalian berdua kelihatan akrab banget," balas Tania.
"Ooh ... Soal itu. Ya karena Adel itu orangnya ramai, berisik. Memang agak sombong orangnya, maklum ... Orang kaya," Ana menimpali.
"Iya sih, kelihatan juga dari penampilannya."
"Diantara semua teman-teman kita, dia lho yang paling kaya," beritahu Ana.
"Oh ya, memang suaminya kerja apa?"
"Pengusaha. Selain bisnis properti, suaminya juga punya usaha tambang dan real estate," beber Ana.
Tania menganggukkan kepalanya. "Suaminya namanya siapa?"
"Kamu pasti pernah denger lah Jeng meskipun suamimu bukan berasal dari dunia bisnis. Suami Adel namanya Panji, Panji Hadinata."
'Aku memang sudah tahu, tapi aku hanya sedang memastikan saja,' batin Tania.
Obrolan keduanya terus berlanjut hingga mereka selesai dengan Adel dan Ana yang berhasil memboyong sebuah tas mewah.
"Jeng Tania kenapa nggak ada yang dibeli?" Tanya Adel.
"Nggak ada yang sreg, Jeng."
"Harganya atau tasnya? Tadi kan sudah saya tawarin, Jeng Tania tinggal pilih aja."
Tania menggeleng tak percaya dengan sikap Adel, wanita itu mulai menunjukkan sifat aslinya.
"Bukan soal itu Jeng, Jeng Tania bahkan mampu membelikan tas yang jauh lebih mahal dari yang kita beli. Dia itu istri diplomat, ayahnya konglomerat dan Jeng Tania ini pewaris satu-satunya," beber Ana.
"Oh ya. Ah! sorry ya Jeng. Lain kali kita bisa bicara soal perjodohan anak-anak kita, mungkin."
Tania tersenyum masam menanggapi ucapan Adel. Benar-benar wanita yang gila harta.
***
Sepanjang jam kerja berlangsung, Sakti tetap berusaha profesional untuk menyelesaikan pekerjaannya meskipun sesekali ia sibuk melirik Flora. Sakti merasa Flora menjadi dingin dan dan acuh padanya.
"Flo, kamu sibuk banget ya," tegur Sakti.
"Hm." Malas menjawab, Flora lebih memilih untuk berdehem, matanya sibuk mengawasi layar persegi di depannya.
"Kamu kenapa sih Flo? Ada masalah? Aku perhatikan kamu jadi diam dan kayak menjauhi aku."
"Perasaan kamu aja kali."
"Flo, aku serius."
"Aku juga serius, dan lagi sebaiknya mulai sekarang sepertinya kita harus jaga jarak."
"Kenapa?"
"Aku takut Bu boss cemburu," cetus Flora.
"Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa," jelas Sakti.
"Siapa yang tahu." Flora mencebikkan bibirnya.
"Aku serius Flora! Dengerin aku ngomong, kenapa."
"Apa gunanya kamu jelasin itu sama aku?" Flora memberanikan diri mantap lelaki itu.
"Ya takut kamu salah paham," jawab Sakti.
"Emangnya kenapa kalau aku salah paham?"
Sakti terdiam. Benar juga yang dikatakan Flora, untuk apa dia repot-repot menjelaskan. Ah, sekali lagi, urusan hati memang membingungkan.
"Kenapa diam," Flora terus mencecar Sakti.
"Itu ..." Sakti mengusap tengkuknya, kelihatan sekali dia salah tingkah.
"Pak Sakti, ditunggu Bu Agni di ruangannya." Audy datang dengan memeluk map.
"Saya?" Sakti menunjuk dirinya sendiri. "Sepertinya saya nggak bikin kesalahan apa-apa deh."
"Sebaiknya buruan masuk sebelum Bu Agni marah," ujar Audy memperingati.
"Ya sudah, terima kasih."
Sakti sempat beradu tatap dengan Flora sebelum lelaki itu melihat Flora kembali mengabaikannya. Seolah tak mendengar apa-apa, Flora sibuk dengan layar komputernya.
Usai mengetuk pintu, Sakti pun duduk di hadapan Agni. "Ibu panggil saya?"
"Ya. Ada yang ingin saya bicarakan denganmu."
Hubungan keduanya memang mulai dekat semenjak mereka akrab, tapi tak mengurangi keprofesionalan mereka.
"Soal?"
"Kita duduk di sana saja." Agni bangkit menuju sofa dengan diikuti Sakti.
Sakti masih belum bisa menebak apa yang akan dibicarakan gadis itu.
"Jadi gini, besok ada rapat penting untuk perombakan posisi di beberapa bagian. Menurut saya ada beberapa karyawan yang performa kerjanya menurun, dan rencananya akan saya ganti dengan fresh graduate yang menurut saya lebih bisa diandalkan. Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Ibu nggak salah minta pendapat saya? Saya kan hanya staf keuangan biasa?" Tanya Sakti.
"Itu dia. Saya sudah berniat untuk menunjukmu sebagai asisten pribadi saya, dengan kata lain kamu adalah tangan kanan saya."
"Tapi Bu, saya rasa pekerjaan itu nggak cocok buat saya," tolak Sakti.
"Kenapa? Saya lihat kamu cukup kompeten, dan saya juga nggak asal nunjuk. Saya sempat minta pendapat beberapa pihak terkait dan mereka setuju karena melihat background pendidikan kamu," beber Agni.
"Tapi Bu, mohon maaf sekali. Sepertinya saya tidak bisa menerima pekerjaan ini?"
"Memang apa alasannya? Saya membutuhkan orang-orang sepertimu untuk bisa memajukan perusahaan ini. Tolong saya," ucap Agni memohon.
"Saya takut tidak bisa mengemban tugas itu dengan baik," balas Sakti.
"Saya percaya kamu bisa, itu sebabnya saya menunjuk kamu. Kali ini saya memaksa!" Tegas Agni.
Sakti terdiam. Ia terlihat berpikir keras, menimbang penawaran Agni sebelum dia mengambil keputusan.
Pembicaraan mereka pun berakhir dengan Sakti yang kembali ke kubikelnya. Pikirannya terus berkecamuk memikirkan keputusan yang akan dia ambil. Seharusnya Sakti senang, karena dengan begitu usahanya mendekati Agni bisa berjalan lancar, tapi entah kenapa separuh hatinya meragu.
Lagi, Sakti gelisah manakala menyadari ada sosok gadis lain di hatinya yaitu Flora.
Jam kerja berakhir.
Flora membereskan meja dan memasukkan beberapa barang pribadi ke dalam tasnya.
"Sakti, ayo! Katanya mau pulang bareng."
Flora mendengus kesal melihat kedatangan Agni, dapat dia lihat Sakti yang berdiri kebingungan, mungkin tak enak hati padanya.
Flora pun meninggalkan mereka berdua, dia ingin ke toilet sebelum pergi dari gedung itu.
"Sakti aku ke toilet dulu sebentar ya. Kamu tunggu di sini aja!"
Agni berlari menyusul Flora. Kebetulan leatk toilet memang terlalu jauh dari ruang kerja.
Bug!
Tubuh Flora tersungkur di tembok saat Agni mendorongnya dengan keras.
"Auw," ringis Flora. "Kamu apa-apaan sih Agni!" Bentaknya tak terima.
"Apa? Mau balas? Balas aja. Ingat ya upik abu, sama seperti aku rebut perusahaan dari tangan kamu, aku juga akan rebut Sakti dari sisimu, kau mengerti!"
"Ambillah jika kau mau." Flora hendak berlalu dari sana, tapi dengan cepat Agni mencekal tangannya.
"Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu cinta sama Sakti."
"Terserah! Aku nggak ada waktu buat ngurusin kaleng rombeng macam kamu."
"Berani kamu mengabaikan aku!"
Sekali lagi Agni mendorong Flora. Flora yang diserang secara mendadak pun tak bisa menghindar, hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya dengan sangat keras.
"Agni! Keterlaluan kamu, ngapain kamu nampar aku?"
Agni melirik sosok yang dinantikannya telah mendekat. Gadis itu pun menangis tersedu.
"Jangan teriak-teriak Flo, aku takut, tolong jangan tampar aku," rengeknya.
"Kamu pikir aku mau termakan akting murahan kamu?"
Plak!
Flora mendaratkan tangannya di pipi kanan Agni hingga membekas.
"Balasan buat kamu biar nggak seenaknya sama orang," ucap Flora.
"Flora! Apa-apaan kamu hah!"
Tubuh Flora menegang saat melihat Sakti berlari menghampiri.
"Tega kamu ya Flo, aku nggak nyangka ternyata kamu jahat banget."
"Kamu salah paham Kak, aku nggak ..."
"Jelas-jelas aku lihat kamu nampar Agni, masih mau ngelak!" Sakti menaikkan volume suaranya, raut emosi tercetak jelas di wajahnya.
"Ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan Sakti," ujar Flora membela diri.
"Sakti, sakit ... Kamu lihat sendiri kan betapa jahatnya Flora sama aku? Makanya aku nggak suka sama dia Sakti," rengek Agni manja.
"Ayo, sebaiknya kita pergi dari sini." Sakti menggandeng tangan Agni.
Agni terus berpura-pura menangis sambil bergelayut manja dalam pelukan Sakti. Hingga saat langkah mereka mulai menjauh, Agni sempat menoleh, menjulurkan lidahnya pada Flora dan tersenyum mengejek.
Tubuh Flora limbung. Sakti meninggalkannya tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Meninggalkan Flora bersama sekeping hati yang telah remuk.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Flora ketika Sakti membentaknya dan menuduhnya dengan tuduhan yang menyakitkan.
Bersambung ....
Happy reading Kesayanganku, salam sayang selalu dariku. Oh ya, sambil nunggu up, kalian bisa mampir di lapak temen Author yang gak kalah serunya lho. Silakan mampir dan jangan lupa di tap ? nya ya. Kami butuh cinta dari kalian. Terima kasih atas dukungannya. ❤️❤️❤️
Cari bacaan baper, bucin, hot, bikin greget dan deg deg ser. Ayo mampir di karya AliceLin yang berjudul "Steal My Heart" dan "Reincarnation of Love". Dijamin bikin candu.