"Minum dulu!" Sakti menyodorkan sebotol minuman dingin pada Agni. Mereka kini sedang duduk di taman depan gedung kantor.
"Terima kasih Sakti," balas Agni, masih sesenggukan.
"Kamu nggak apa-apa kan? Coba lihat pipi kamu sini."
Sakti membalutkan sapu tangan yang telah diisi es batu dan mengompresnya di wajah gadis itu.
"Auw, sakit Sakti," ringis Agni.
"Ya maaf. Ini pelan-pelan kok. Lagian kenapa nggak kamu lawan si Flora? Kelakuannya udah bener-bener keterlaluan. Aku nggak nyangka kalau ternyata dia itu cewek jahat."
'Ternyata semudah ini memperdaya kamu Sakti. Gampang banget dibodohi, tapi baguslah ... Ini yang aku harapkan.' Agni tersenyum menang, dalam hatinya dia terus bersorak.
"Aku nggak tega Sakti. Dia itu cuma anak pembantu di rumahku, dia udah nggak punya ayah, jadi mana tega aku balas dia. Apalagi ibunya kan baik banget sama keluargaku."
"Tapi ini nggak bisa dibiarin, Flora bisa semakin semena-mena nanti sama kamu."
"Udahlah biarin aja! Biar Tuhan aja yang balas kelakuan dia, aku nggak mau jadi jahat," ucap Agni dibuat-buat.
Gadis itu tak menyadari jika sebenarnya ucapan itu lebih tertuju padanya.
"Kasihan kamu, maafin aku ya nggak bisa jaga kamu. Coba tadi aku ikutin kamu, semua ini pasti nggak akan terjadi," kata Sakti, tangannya terulur untuk mengusap surai panjang Agni.
"Nggak apa-apa kok, aku yang ceroboh tadi. Udah tahu Flora jahat tapi aku nggak hati-hati."
"Ya udah. Aku antar kamu pulang ya,"
Agni mengangguk. Gadis itu tersenyum smirk ketika Sakti menggenggam tangannya.
'Seandainya aja aku nggak butuh sama kamu Sakti, ogah banget aku deket-deket sama kamu. Aku pengen punya suami yang kaya raya biar hidupku terjamin.'
Di sisi lain.
Vita yang sempat mendengar kegaduhan dari arah toilet pun bergegas menuju ke sana. Terlebih saat dia melihat Sakti sedang menggandeng Agni sambil menenangkan gadis itu, makin tak karuan saja perasaannya.
"Ya ampun Flora," Vita memekik. Dilihatnya Flora sedang menangis sambil menekuk lutut dan bersandar di dinding.
"Bilang sama aku, apa yang dilakukan lampir itu ke kamu? Dan lagi, bagaimana Sakti bisa ..."
"Vita ..." Flora menghambur ke dalam pelukan temannya.
"Udah nggak apa-apa. Kamu tenangin diri kamu dulu, baru cerita ya." Vita menepuk-nepuk punggung Flora.
Cukup lama kedua gadis itu saling memeluk. Vita membiarkan Flora menumpahkan tangisnya, hingga lambat laun tangisan Flora mulai mereda.
Vita mengajak Flora untuk pergi dari sana, dan di sinilah mereka sekarang, di kafe depan gedung kantor.
"Jadi gitu ceritanya?" Vita menyodorkan selembar tisu untuk Flora yang sesekali masih menitikkan air mata.
Flora baru saja menceritakan kejadian yang membuat Sakti salah paham padanya.
"Kurang ajar emang itu nenek lampir, coba aja dia cuma staf biasa kayak kita, udah aku beri pelajaran sama dia. Eh, tapi kamu tenang aja, dia tetap akan kita beri pelajaran," imbuh Vita.
"Pelajaran gimana maksud kamu?"
"Udah kamu tenang aja, aku udah susun rencana, kamu tinggal ikuti saranku aja."
"Kamu yakin? Rencana yang kemarin aja belum bisa kita jalankan," timpal Flora.
"Yakin. Sambil menyelam minum air Flo, kita bisa menjalankan dua rencana sekaligus," ujar Vita.
"Yakin? Emang rencanamu apaan sih?"
"Ada, besok aku kasih tahu ya. Sekarang sebaiknya kita pulang, kasihan ayahmu sendirian, bukannya beliau baru sembuh."
Flora mengangguk. "Ya udah ayo kita pulang."
***
"Dari mana aja kamu Flora? Agni udah pulang dari satu jam yang lalu, dan kamu baru pulang!" Hardik Adel.
"Ma, bisa kan ngomongnya pelan-pelan," Panji menyela.
"Gini-gini juga aku perhatian sama kamu Mas, mau jadi apa Flora kalau sampai dia pulang malam begini? Katamu kamu nggak punya pacar kan? Mampir ke mana kamu?"
"Astaga, Ma!" Panji menggeram.
"Maaf Ma, tadi aku lama nunggu busnya jadi telat pulangnya," terang Flora.
"Bohong Ma!" Agni menuruni anak tangga satu per satu. "Flora itu pulang telat karena dia jalan sama cowok, aku curiganya sih dia jadi simpanan om-om gitu," imbuhnya.
"Agni!" Bentak Panji.
"Aku serius Yah, aku nggak bohong. Aku lihat Flora dijemput om-om dan mampir di hotel deket kantor."
"Ayah, itu semua nggak benar Yah. Aku ini anak Ayah, Ayah yang udah ngajarin aku sopan santun dan semuanya. Ayah selalu bilang, harga diri seorang pria itu dilihat dari cara dia memegang ucapannya, sedangkan harga diri seorang wanita dilihat dari caranya menjaga kehormatan. Aku selalu ingat nasehat Ayah, aku nggak mungkin melakukan semua itu Yah," jelas Flora.
"Ayah percaya." Panji mengusap puncak kepala putrinya. "Sekarang sebaiknya kamu masuk kamar, mandi, makan terus istirahat ya."
"Iya Ayah, terima kasih."
Gadis itu pun berlalu dari sana, Adel dan anaknya mencibir sambil melemparkan tatapan sinis pada.
"Mas, nggak seharusnya kamu bersikap begitu! Kamu nggak boleh gampang percaya. Aku ngelakuin ini juga demi kamu, demi menjaga nama baik kamu."
"Aku tahu Adel, tapi tuduhanmu tidak beralasan, dan aku sangat mempercayai putriku. Aku ucapkan terima kasih karena kamu mau mengingatkannya, tapi tidak dengan cara kasar seperti ini," sahut Panji.
"Ayah belum tahu aja sih, Flora kayak gimana. Nanti kalau misalnya aku dapatin bukti kalau Flora itu simpanan om-om, akan kau kasih lihat sama Ayah."
Agni kembali naik ke lantai atas. Tujuannya kali ini bukan untuk menuju kamarnya, akan tetapi kamar Flora, kamar mereka memang bersebelahan.
Agni masuk begitu saja dan duduk di kasur, tatapannya sinis pada Flora yang tengah duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut.
"Kasihan banget nasib kamu ya Flo. Udah ditinggal mati sama mama kamu, punya harta banyak tapi nggak bisa kamu pakai, nggak bisa dapetin cowok yang kamu taksir. Aku sih berharapnya kamu lebih menderita lagi," cibir Agni, lalu detik berikutnya tawanya meledak.
Flora tak menanggapi ucapan Agni. Biarkan saja Agni berbicara sampai mulutnya berbusa, tapi dia tidak akan terpancing.
Sebelum pulang tadi, Vita menasehati Flora agar tak terpancing dengan apapun ucapan Agni. Takut itu merupakan jebakan, sama seperti kejadian sewaktu di toilet kantor tadi.
"Kenapa diem Flo?kamu punya mulut kan? Atau jangan-jangan kamu bisu lagi, saking syoknya lihat Sakti lebih milih percaya sama aku dibandingkan sama kamu," ucapnya sambil menjentikkan kuku-kukunya yang lentik dan terawat.
Flora terus menulikan pendengarannya, membiarkan Agni terus mengoceh sesuka hati.
"Flo, kamu tahu nggak, sepertinya Sakti tuh cintanya sama aku. Kamu nggak lupa dong gimana dia ngebela dan ngelindungin aku tadi? Sumpah ya, aku nebak sih seratus persen dia cinta sama aku. Terus nanti kalau misalnya dia udah beneran masuk perangkapku, dia udah tergila-gila sama aku, aku tinggalin deh dia. Sorry aja, aku nggak level sama cowok miskin kayak dia. Motornya masih OK punya, tapi tinggalnya aja di kost-an sempit."
Flora mematikan mesin pengering rambutnya, lalu bersiap mengganti baju karena sedari tadi dia hanya memakai bathrobe.
"Kamu tuh nggak cuma bisu doang ya Flo, kamu tuli juga. Panjang lebar aku ngomong sampai capek nggak digubris."
Flora berjalan ke arah pintu, membuka daun pintu bercat putih itu lebar-lebar. "Kamu kalau udah selesai pidatonya, silakan pergi. Aku nggak ada waktu buat dengerin omongan sampah kamu."
"Cie ... Ngambek juga kamu. Aku pikir kamu bi ..."
"Cepetan pergi sebelum kesabaranku habis. Mau kamu, rambutmu itu aku botakin karena aku jambak," ancam Flora.
"Cih? Dasar. Lihat aja besok, aku bakalan buat Sakti lebih tergila-gila sama aku, biar kamu nangis darah."
"Dalam mimpi."
"Apa katamu!" Agni mendelik.
"Wanita-wanita yang baik, hanya untuk pria yang baik, begitu juga sebaliknya. Aku belum pernah denger tuh nenek lampir jahat bersanding sama malaikat."
"Flora!"
Bug!
"Auw!" Agni memegangi wajahnya yang terasa semakin sakit karena pada saat dia hendak menyerang Flora, saudara tirinya itu dengan cepat menutup pintu.
"Flora! Buka pintunya! Awas aja kalau sampai mukaku lecet atau kenapa-kenapa, tanggung jawab kamu ya!"
Di dalam kamar, Flora meledakkan tawanya. Agni yang mendengar tawa Flora pun semakin naik darah.
"Dasar sinting!" Maki Agni.
"Nggak salah? Orang sinting ngatain sinting!"
Flora kembali terbahak, sementara di luar Agni terus menjejakkan kakinya di lantai.
***
Keesokan harinya.
Buru-buru Flora menghabiskan sarapannya, membuat seisi orang rumah terheran-heran.
"Pelan-pelan aja makannya Flo, sepertinya buru-buru banget," tegur Panji.
"Iya Yah, ada kerjaan yang harus segera diselesaikan," sahut Flora.
"Cih! Kerjaan, palingan juga mau janjian sama om-om kaya," gumam Agni lirih, akan tetapi masih bisa di dengar.
"Agni!" Adel mendelik. Wanita itu tak ingin anaknya kembali terlibat masalah. Ucapannya bisa memantik amarah Panji, jika sudah begitu Adel tahu apa yang akan terjadi.
Agni memutar bola matanya malas saat Panji kedapatan sedang menatapnya tajam.
"Flora sudah selesai Yah. Aku pamit ya." Bangun dari kursinya, mengambil tangan Panji untuk dia cium, begitu juga dengan tangan Adel.
"Flora berangkat Ma," pamit Flora.
"Ya, hati-hati di jalan ya."
"Iya Ma. Dah, Mama, Ayah." Flora mengambil tasnya dan berlalu dari sana.
Agni meneguk susunya dengan cepat, lalu segera menyusul Flora. Sesampainya di teras rumah, Flora memperlambat langkahnya ketika melihat Sakti sedang duduk di motor. Tentu saja untuk menjemput Agni.
"Selamat pagi Sakti." Agni menghambur pada pria itu.
"Pagi."
Di depan mata Flora, Sakti memakaikan helm pada Agni. Tak hanya itu saja, Sakti pun mengikatkan jasnya di pinggang wanita itu. Flora membuang muka. Rasa nyeri masih saja timbul di dadanya ketika melihat kedekatan Sakti dengan Agni.
Tak lama kemudian, Honda Gold Wing 1800 terparkir manis tak jauh dari motor Sakti. Pria berpawakan jangkung melepas helmnya, memperlihatkan wajahnya yang tampan.
"Selamat pagi bidadariku yang cantik. Ayo sayang, udah siang nanti keburu telat kamu masuk kantor lho."
"Iya Mas." Flora berjalan menghampiri lelaki itu.
Pemuda berkemeja dark silver itu pun turun dari motornya. Ia mengusap rambut Flora sebelum memakaikan helm di kepala gadis itu. Jas dengan warna hitam itu pun telah dia ikatkan di pinggang Flora.
"Lain kali pakai celana aja ya. Aku nggak suka biarpun kamu pake rok dibawah lutut. Kaki kamu tuh bagus banget, aku nggak mau sampai ada cowok yang lihatin Sayang."
"Iya Mas," balas Flora, singkat.
Pemuda itu mengangkat tubuh Flora dan mendudukkannya di jok belakang motor.
"Pegangan dong!" Menarik kedua tangan Flora dan melingkarkan di perutnya. "Kita jalan sekarang Sayang."
"Iya Mas."
Semua itu terjadi di depan mata Sakti dan Agni. Sakti merasa kesal bukan main melihat Flora dibonceng pria lain, sementara Agni tak henti mengagumi si pengendara motor yang telah menjemput saudara tirinya itu.
"Ayo Sakti, jalan!"
Sakti sibuk memikirkan Flora hingga dia tak mendengar ucapan Agni.
"Ih! Sakti!"
"Ah, iya ... Iya Flo, ini mau jalan," ucap Sakti.
'Apa? Dia kira aku Flora apa? Ish dasar! Lihat aja kamu Flo, aku bakalan rebut cowok itu dari kamu.'
Bersambung ....