Percikan Api Cemburu

1938 Kata
Sakti terus memacu motornya. Fokusnya kini hanyalah pada Flora, menyusul gadis itu dan ternyata usahanya tak sia-sia karena dia berhasil mensejajari motor pemuda yang membonceng Flora. Percikan api yang semula timbul di hatinya, kini berubah menjadi kobaran yang tak bisa begitu saja padam. Sakti menggeram marah melihat interaksi Flora dengan pria lain. Flora terus melingkarkan tangannya mendekap tubuh Fatih, lelaki yang pagi ini menjemputnya. Bibirnya terus terbuka lebar dengan senyum mengembang sempurna. Terlihat sekali bahwa dia begitu menikmati pembicaraannya dengan Fatih yang seringkali dibumbui dengan candaan. "Flo, dia berhasil ngikutin kita. Sebenarnya aku bisa aja ngebut, tapi ntar rencana kita kurang greget dong," ucap Fatih. "Iya Mas. Mas Fatih kebutnya nanti aja nunggu kira-kira udah mau sampai kantor," usul Flora. "OK." Tepat di traffic light, Sakti menerobos mobil dan juga beberapa motor agar dia bisa lebih dekat dengan motor Fatih. Fatih yang menyadari posisinya dekat dengan Sakti pun menarik tangan Flora, membuat dad@ Flora menghimpit punggungnya. "Bajingaan!" Maki Sakti sambil mengepalkan tangannya. "Ngomong apa kamu Sakti?" Agni merasa mendengar Sakti bicara. "Nggak! Nggak apa-apa kok," sanggah lelaki itu. Dengan mata setajam elang, Sakti terus mengawasi Flora yang sedang tertawa lepas. Lampu hijau menyala. Sesuai permintaan Flora, Fatih mulai menarik gas motornya hingga Sakti yang berada di belakang terkejut. Sakti kalang kabut mengikuti Fatih yang semakin jauh melesat di depannya. Memacu motornya lebih cepat lagi, Sakti mengabaikan Agni yang terus menjerit ketakutan karena dibawa ngebut. "Kamu nggak takut aku bawa ngebut Flo?" Tanya Fatih sedikit berteriak. "Nggak lah Mas, malah seru, berasa kita lagi buang beban hidup tahu nggak!" Fatih terbahak. "Ada-ada aja kamu Flo." Fatih merupakan kakak sepupu Vita yang Vita mintai bantuan untuk memanas-manasi Sakti. Kebenaran akan terbongkar tak lama lagi karena jika Sakti memang menyimpan rasa untuk Flora, sudah dapat dipastikan kalau Sakti pasti tidak akan tinggal diam. Berulang kali Flora terus mengucapkan terima kasih pada Fatih yang telah menyetujui permintaan Vita. Juga pada Vita yang telah memberikan ide brilian ini. Awalnya Flora kaget saat Vita mengenalkan dia pada Fatih, saat itulah Flora tahu kalau Fatih ternyata kakak seniornya di kampus, keduanya sering terlibat acara bersama seperti bakti sosial misalnya. Tak heran jika mereka terlihat akrab. Fatih menghentikan motornya di lobi kantor, kemudian dia membantu melepaskan helm yang dipakai Flora. Tak lama berselang, Sakti pun memarkirkan motornya di sana, membuatnya leluasa mengawasi gadis itu. "Sekali lagi terima kasih ya Mas udah nganter aku," kata Flora sambil melepas kaitan jas di pinggangnya. Ia lantas memakaikan jas itu lagi di badan Fatih. "Deketan dikit deh Flo, mumpung dia lagi lihatin kita," ucap Fatih setengah berbisik. "Sorry ya," imbuhnya sebelum menarik pinggang Flora mendekat. "Kamu hati-hati di jalan ya Mas?" "Iya, kamu juga. Inget ya, nggak boleh deket-deket sama cowok!" Ujar Fatih mengingatkan. "Iya, Mas tenang aja." "Tunggu sebentar," cegah Fatih. "Ada apa Mas?" Fatih merogoh saku kemejanya. Tangannya terulur untuk merapikan surai panjang Flora lalu memasangkan jepit rambut di bagian samping agar poni Flora yang telah panjang tidak jatuh menutupi matanya. 'Gila! Si Flora dapet dari mana cowok super romantis model begituan? Penasaran aku,' batin Agni. Gigi Sakti bergemerutuk, rahangnya mengeras sementara tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. 'Ada apa denganku, kenapa aku begitu marah melihatnya dengan lelaki lain? Bukankah gadis incaranku ada di sampingku. Oh, God! Bisa gila aku!' Sakti merutuki dirinya. "Udah cantik. Masuk ya, jangan lupa hubungan aku! Nanti aku jemput lagi pulangnya," kata Fatih. "Ya Mas. Kamu yang semangat ya kerjanya, hati-hati di jalan." "Iya. Bye!" Fatih menyalakan motornya dan melambaikan tangan pada Flora. "Dadah." Flora membalas lambaian tangan Fatih, dan jangan lupakan ekspresi wajahnya yang kini berhasil membuat Sakti memuntahkan amarahnya. Sakti yang tak tahan pun akhirnya meninggalkan tempat itu dengan tergesa hingga ia melupakan Agni. Rencananya dia akan mengejar Flora yang kini sudah lebih dulu memasuki gedung tersebut. "Sakti! Jangan buru-buru jalannya! Aku nggak bisa ngikutin kamu nih," keluh Agni. "Aku duluan," balas Sakti abai. Agni menghentakkan kakinya di lantai. Ia kesal bukan main karena Sakti mengabaikannya. "Tunggu!" Sakti berlari menelusup ke dalam lift yang sebentar lagi akan tertutup. Agni yang ditinggal pun semakin meradang, dia terus memaki Sakti dan mengumpati Flora dengan kata-kata kasar. Di dalam lift. "Tadi itu siapa Flo?" Sakti tak bisa menahan rasa penasarannya hingga dia memutuskan untuk bertanya langsung pada gadis yang bersangkutan. Flora berpura-pura seolah dia tak mendengar ucapan Sakti, gadis itu terus sibuk dengan gawainya. "Flora! Aku tanya sama kamu," ucap Sakti dengan suara yang mulai tak bisa dikondisikan. "Oh, apa Kak? Sorry, aku lagi sibuk balas chat seseorang. Emang Kakak nanya apa?" "Siapa laki-laki yang jemput kamu tadi?" Ulang Sakti. "Fatih?" "Jadi namanya Fatih?" "Iya," balas Flora, singkat. "Fatih itu siapanya kamu?" Telisik Sakti. Flora menghembuskan napas panjang, melihat sorot mata Sakti padanya malah membuatnya bingung. Sorot mata yang sulit untuk diterjemahkan. "Urusannya apa sama kamu? Kenapa kamu ribet nanyain soal dia?" Sakti terdiam begitu mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Flora. 'Benar juga, apa urusannya denganku. Ah, s**t! Aku harus bersikap biasa saja padanya.' Bel berdenting pertanda pintu lift terbuka, semua orang yang ada di sana mulai keluar. "Flo!" "Apa lagi? Tolong jangan dekat-dekat lagi. Aku takut pacar kamu cemburu," cetus Flora. "Pacar?" Sakti menggaruk pelipisnya. "Bukannya kamu udah jadian sama Agni?" Setelah mengatakan itu, Flora mengayunkan kakinya menuju meja kerjanya. Sebenarnya dia ingin mampir di tempat Vita dulu untuk menceritakan semuanya, tapi sepertinya harus ditunda mengingat jam kerja akan segera dimulai. "Flo!" Sakti berhasil mengejar gadis itu. "Apa lagi Kak? Aku sibuk," pungkas Flora. Sakti mematung di tempatnya. Hari ini dia benar-benar merasa kacau. Gejolak dalam d**a kian membuncah saat hati tak sejalan dengan apa yang ada dalam benaknya. Keterdiaman Flora mampu mengusik relung hati Sakti. Pandangannya hanya dipenuhi dengan gadis itu, Sakti seolah ingin selalu berada di dekatnya. "Flo." Yang dipanggil masih serius memeriksa dokumen di tangannya. "Flora," panggil Sakti lagi. "Apa?" Tanya gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya. "Sepertinya kita perlu bicara," cetus Sakti. "Soal apa? Bukankah semuanya sudah jelas, aku cewek jahat yang nggak punya perasaan. Kamu sendiri yang ngomong gitu semalam." "Maaf," cicit Sakti. "Untuk apa?" Masih menatap lembaran kertas di hadapannya, Flora sama sekali tak berminat menanggapi lelaki itu. "Aku terlalu emosi, nggak seharusnya aku kasar sama kamu. Maafin aku ya," ucap Sakti penuh penyesalan. "Lupakan! Anggap aja kita nggak pernah kenal. Terima kasih udah bantuin aku selama ini." Duar! Bak tersengat listrik ribuan volt, Sakti merasa seluruh sarafnya lumpuh. Jangankan untuk berbicara, sekedar bernapas pun dia kesulitan. Parahnya lagi, ia kembali dalam dilema. Ada rasa ketakutan akan kehilangan gadis itu. Ini sudah tidak beres. "Pak Sakti! Bapak dipanggil Bu Agni untuk bersiap-siap mengikuti rapat." Tiba-tiba saja Audy sudah berada di depan kubikel Sakti. "Iya, saya akan segera bersiap." Audy mengangguk sebelum dia kembali ke mejanya. Sakti sempat melirik Flora yang tak bergeming di tempatnya. Ia baru menyadari jika ucapannya semalam mampu menggoreskan luka di hati gadis itu. Sepanjang rapat berjalan, Sakti tak bisa fokus, pikirannya terus tertuju pada satu sosok yaitu Flora. Beruntung rapat kali ini hanya membahas mengenai perombakan posisi penting di beberapa bagian, juga mengenai Agni yang mengumumkan bahwa mulai hari ini Sakti resmi menjadi asisten pribadi Agni. Jam makan siang tiba. Flora meraih ponsel dan dompetnya lalu mengajak Vita untuk makan siang di kantin. Gadis itu terlihat jengah ketika lagi-lagi melihat Sakti dan Agni tengah duduk berdua di salah satu meja di sana. "Kampret bener itu si nenek lampir, mana sekarang Sakti jadi asisten pribadinya lagi, makin dekat saja hubungan mereka pasti," cibir Vita. "Kayaknya kita udah nggak perlu lanjutin rencanamu lagi deh Vit," lirih Flora. "Lha kenapa?" "Sepertinya emang Kak Sakti nggak suka sama aku. Kejadian semalam itu udah cukup menjadi bukti kalau dia emang nggak ada rasa sama aku," jelas Flora. "Payah kamu Flo! Baru juga berjuang udah mundur duluan." "Bukan gitu Vit, aku cuma takut aja kalau nanti ujung-ujungnya aku sakit hati sendiri." "Tanggung Flo. Tahan bentar lagi ya, aku janji deh kalau misalnya dalam waktu seminggu masih belum ada kemajuan, kita hentikan rencana ini." "Iya, aku juga mau ngucapin terima kasih sama kamu karena kamu udah mau bantu aku. Kita masih bisa berteman kok, lagian aku nggak tega sama Mas Fatih." "Nggak tega kenapa?" Tanya Vita. "Ya kasihan aja dia kalau terus-terusan kita mintai tolong, gimana kalau misalnya pacarnya cemburu nanti?" Vita tergelak mendengar penuturan temannya. "Mas Fatih belum punya pacar Flo, lagian dia orangnya baik kok." "Aku tahu dia baik, itu yang bikin aku nggak enak sama dia." "Terus mau gimana dong?" "Nggak tahu Vit, bingung aku." Agni tahu jika lelaki yang saat ini ada di depannya itu terus mengawasi Flora sejak tadi. Sakti sama sekali tak fokus dengan isi piringnya. "Terima kasih ya Sakti udah mau jadi asisten pribadi aku," Agni buka suara, berharap bisa mengalihkan perhatian Sakti. Sakti yang sibuk memperhatikan Flora pun tak mendengar ocehan Agni. "Sakti!" "Hah, iya Agni. Ada apa?" Lelaki itu melirik Agni sekilas. "Kamu dari tadi aku ajak ngobrol juga ..." "Iya, Sorry. Emang kamu ngomong apaan?" "Terima kasih kamu udah mau jadi asisten pribadi aku." "Ya sama-sama. Aku yang harusnya ngomong gitu sama kamu karena kamu udah kasih kesempatan buat aku mencoba sesuatu yang baru. Terima kasih atas kepercayaanmu Agni," kata Sakti. "Ya." Mendadak Sakti menyipitkan matanya, dia menajamkan penglihatannya ketika sosok berkemeja dark silver muncul di hadapannya. Seketika percikan api kembali timbul di hatinya. Fatih mengacak rambut Flora, gemas. Pria itu menyodorkan paper bag yang isinya tidak Sakti ketahui. "Lho, Mas Fatih datang?" Tanya Flora. "Iya, tadi kebetulan ada jadwal ketemuan sama klien di perusahaan kamu juga. Aku hubungi nomor kamu nggak diangkat." Lelaki itu mendaratkan bokongnya di kursi yang berada di samping Flora. "Oh, maaf Mas, hapeku aku mode silent," kata Flora. "Ini apa Mas?" "Cupcake, buat kamu sama Vita." Vita meraih paper bag itu dan melihat isinya. "Wah, ini dari toko kue langganan aku Mas," serunya. "Ya dong, aku tahu selera kamu. Sengaja aku beli banyak biar kalian puas makannya." "Aku coba satu ah," kata Vita, mengeluarkan satu buah cupcake dan memakannya. "Lihat tuh Sakti! Sejak tadi dia terus melotot melihat ke arahmu Flo," beritahu Fatih. "Masa sih Mas?" Vita yang posisinya membelakangi meja Sakti membuatnya tak bisa menoleh sekedar melihat reaksi Sakti. "Iya. Kalau menurutku sih dia ada rasa sama kamu Flo, cuma dia gengsi untuk mengatakannya." "Tahu dari mana kamu Mas?" Flora meletakkan sendoknya, mendadak nafsu makannya lenyap. "Sebagai sesama lelaki jelas aku tahu lah Flo. Aku juga heran kenapa dia bisa plin plan begitu. Yang aku lihat dia suka sama kamu tapi dia kayak masih ragu." Flora melirik ke arah Sakti, tapi sedetik kemudian Flora kembali membuang muka. Bagaimana bisa Sakti melotot melihat ke arah mejanya, ke arah Fatih lebih tepatnya. "Ya udah, aku balik ke kantor dulu ya, takut macet nanti," pamit Fatih. "Ya Mas. Sekali lagi terima kasih ya," tutur Flora, tulus. "Sama-sama. Santai aja lagi, kayak sama siapa aja. Aku pergi ya Vit, kamu hati-hati pulangnya, kerja yang bener." "Iya Mas perfect," sahut Vita. Fatih pun mengayunkan langkahnya meninggalkan gedung itu. Sakti yang melihat kepergian Fatih pun berniat melakukan sesuatu. "Flo, aku duluan ya. Tolong bayarin dulu makananku nanti aku ganti." "Aku Agni, Sakti! Bukan Flora," dengus Agni. "Ya sorry." "Emang kamu mau ke mana sih?" "Ada perlu bentar!" Sakti tak lagi mendengar teriakan Agni, dia fokus mengejar Fatih. "Fatih!" Lelaki itu menghentikan langkahnya, Fatih berbalik dan seringai muncul di bibirnya melihat orang yang telah berani mencegat langkahnya. "Maaf, apa kita saling kenal?" Tanyanya dengan nada datar. "Enggak, tapi ada yang mau aku omongin sama kamu," kata Sakti. "Soal apa?" Fatih memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Melihat tatapan mengintimidasi dari Sakti tak membuat nyalinya menciut, dia justru sangat menikmati reaksi Sakti karena jika sampai pria itu marah itu tandanya usahanya berhasil. "Ada banyak, tapi terutama soal ...." Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN