Lelaki itu menghentikan langkahnya, Fatih berbalik dan seringai muncul di bibirnya melihat orang yang telah berani mencegat langkahnya.
"Maaf, apa kita saling kenal?" Tanyanya dengan nada datar.
"Enggak, tapi ada yang mau aku omongin sama kamu," kata Sakti.
"Soal apa?" Fatih memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Melihat tatapan mengintimidasi dari Sakti tak membuat nyalinya menciut, dia justru sangat menikmati reaksi Sakti karena jika sampai pria itu marah itu tandanya usahanya berhasil.
"Ada banyak, tapi terutama soal ...."
"Flora? Bukannya kamu udah punya pacar ya, terus ngapain kamu ngurusin cewek lain?"
Sakti tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi mendengar Fatih berkata demikian membuatnya naik pitam.
"Pacar yang mana yang kamu maksud?"
"Emangnya aku buta apa? Aku lihat tadi pagi aja kalian boncengan mesra banget," jawab Fatih dengan santainya.
"Kamu tuh sebenarnya siapanya Flora?"
"Hh, lucu sekali. Kamu yang datang tiba-tiba nyegat aku, bicara tidak jelas dan malah sekarang nanya aku siapanya Flora? Basi kamu! Sorry, aku nggak punya waktu ngurusin hal nggak penting," pungkas Fatih.
Sakti meninju tembok, ia kesal bukan main ketika melihat Fatih pergi begitu saja.
Flora berjalan lesu menuju kubikelnya, jam istirahat hampir usai, dia harus menyiapkan tenaga untuk menyelesaikan beberapa dokumen keuangan yang diminta Adit.
Flora masih terus terbayang pertemuannya dengan Fatih tadi. Kebaikan lelaki itu malah membuatnya makin segan.
"Eh, begoo! Selesaikan laporan ini secepatnya! Aku tunggu setengah jam lagi mau buat meeting penting!"
Flora terkesiap mendengar suara yang tak ubahnya petir menggelegar itu. Nenek lampir itu datang lagi, Flora sama sekali tak berniat meladeninya.
"Kamu budek apa gimana sih? Kalaupun nggak bisa denger setidaknya kamu bisa ngomong kan," umpat Agni lagi.
"Bu Agni yang terhormat, Ibu kan tahu saya bodooh, kenapa Ibu nyuruh saya?"
"Kamu nantangin saya?" Agni melotot, bibirnya yang berpoles gincu merah itu bergetar seakan ingin terus mengumpati Flora.
"Mana saya berani Bu Agni. Ini bukan keahlian saya Bu, beneran! Dan lagi Ibu kan punya asisten pribadi sekarang yang bisa Ibu suruh mengerjakan apa saja," timpal Flora.
"Bener-bener ya kamu!"
Masih ada banyak stok kata-kata kasar yang hendak diucapkan Agni untuk memaki Flora sebenarnya, tapi begitu dia melihat kedatangan Sakti, jadilah dia diam.
"Eh, Sakti. Udah kelar urusannya?" Tanya Agni dengan nada manja yang dibuat-buat.
Pria itu mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agni langsung menyambutnya dan membawa Sakti menuju meja kerja baru yang diperuntukkan untuknya selama menjabat sebagai asisten pribadi Agni.
Sakti sempat menoleh ke belakang, tapi kemudian dia menyesalinya karena ternyata Flora mengabaikannya. Gadis itu terus menunduk, sibuk dengan pekerjaannya.
***
Tania menyodorkan secangkir teh untuk suaminya.
"Gimana hasil pencarian Mama kemarin? Ada hasil?" Wisnu membuka percakapan.
"Begitulah Pa, anak itu memang berasal dari keluarga kaya dan terpandang, tapi lihat kelakuan istrinya bikin Mama jadi kurang respek."
"Kenapa memangnya?"
"Low attitude gitu. Sepintas Mama lihat dia materialistis, belum lagi orangnya yang sombongnya minta ampun. Selalu anggap orang lain rendah, Mama nggak suka," beber Tania.
"Wajar Ma, namanya juga istri pengusaha. Papa dengar-dengar Panji kan masuk daftar sepuluh orang terkaya di Indonesia. Usaha tambang sama propertinya yang paling menonjol di banding usahanya yang lain.
"Tetap aja, Mama kok ngrasanya malah nggak suka sama pilihan Sakti. Mau jadi apa dia kalau nikah sama perempuan model begituan."
"Emangnya Mama udah pernah lihat anaknya?" Menyesap kopi yang masih mengepulkan asap itu.
"Cuma lihat sepintas di hape Pa, belum lihat secara langsung, tapi sama kayak mamanya. Kesan pertama udah jelek. Mana potongannya kayak model majalah dewasa lagi."
Wisnu terkekeh mendengar ucapan istrinya. "Mama nih, apa-apa itu jangan langsung ambil kesimpulan. Segala sesuatu yang kita lihat belum tentu yang sebenarnya."
"Itu pasti Pa, Mama akan korek informasi lagi untuk meyakinkan kalau pendapat Mama ini benar."
"Lalu apa rencana Mama selanjutnya?"
"Ada. Mama punya banyak ide cemerlang, Papa lihat aja nanti apa yang akan Mama lakukan."
"Papa ikut Mama aja, apa yang sekiranya baik untuk anak kita," pasrah Wisnu.
Tania tersenyum penuh arti. Rasanya akan menyenangkan jika dia bermain-main dengan Adel.
Sementara itu di kediaman Panji.
"Mas, tempo hari kan aku pernah cerita sama kamu soal perjodohan anak-anak, gimana kalau kita jodohkan mereka dengan salah satu anak dari temen aku," usul Adel pada suaminya. Sore itu mereka sedang duduk sambil menikmati secangkir teh dan camilan.
"Emang siapa yang mau dijodohin?"
"Anak kita lah Mas, masa anak tetangga. Dua-duanya kita jodohin. Yang pertama Mama mau cari dulu buat Agni, habis itu baru Flora, gimana?"
Panji mendesah panjang. "Kalau menyangkut Flora, setidaknya aku harus bicarakan ini dulu dengannya. Sebenarnya aku nggak mau ikut campur urusan jodohnya, biar dia cari sendiri. Kalau Agni memang aku serahkan semuanya sama kamu karena aku yakin dia akan nurut apa kata mamanya."
"Flora juga akan Mama pilihkan Mas, kamu nggak usah khawatir! Pilihan Mama pasti nggak salah. Emang kamu nggak pengen apa gendong cucu?" Adel terus melancarkan aksinya membujuk Panji.
"Ya pengen lah, tapi jangan paksa Flora ya seandainya dia belum mau menikah."
"Soal gampang Mas!"
"Ya sudah, antar aku ke kamar karena aku mau istirahat," pinta Panji.
"OK."
Adel mendorong kursi roda suaminya, membantu pria itu naik ke kasurnya.
***
Flora memijit pelipisnya. Sejak tadi pekerjaan tak ada hentinya, membuat kepalanya serasa mau pecah.
"Flo, tugas yang saya kasih udah kelar belum?" Adit, kepala divisi keuangan muncul di depan Flora.
"Oh, udah Pak. Baru banget selesai." Menyodorkan map biru pada lelaki itu.
"Udah kamu pastikan nggak ada yang salah ya?" Tanya pria berusia tiga puluh tahunan itu.
"Iya Pak."
"Ya udah, kamu ikut saya ke ruang meeting."
"Saya Pak?"
"Iya, buruan!"
Flora tidak sempat membenahi penampilannya, dia terburu-buru dan hanya membawa map juga beberapa barang yang dibutuhkan.
Ketukan heels yang dipakai Flora menggema, mengantarkannya pada ruang rapat.
Lagi, Flora dibuat terkejut karena di sana juga sudah ada saudara tiri dan juga pria yang membuat perasaannya tak karuan.
Flora mengambil posisi di dekat Adit. Rapat pun berlangsung dengan lancar, tanpa Flora sadari jika sejak awal dia memasuki ruangan itu Sakti tak berhenti menatapnya.
'Siapa yang sebenarnya aku cintai? Kamu atau Agni Flo, tapi bukankah Agni yang selama ini aku cari?' Sakti menatap Flora, sendu.
Rapat berakhir. Semua orang membubarkan diri, tak terkecuali Flora. Sakti berniat menyusul Flora yang lebih dulu bangun dari kursinya.
Namun, tiba-tiba Agni menjerit. Tubuhnya merosot ke bawah.
"Auw! Sakti!"
Pandangan semua orang tertuju pada gadis itu. Flora pun menghentikan langkahnya demi bisa melihat apa yang terjadi.
"Ya ampun Bu Agni, kenapa bisa sampai jatuh?"
Dapat Flora lihat Sakti begitu panik menghampiri Agni dan membantunya untuk bangun dari lantai.
"Kakiku terkilir, sakit," ringis Agni.
"Bisa bangun nggak?"
Agni menggeleng, lalu detik berikutnya tubuhnya melayang di udara saat Sakti menggendongnya. Sakti berjalan melewati Flora yang masih mematung, sementara Agni memberikan jempol yang terbalik sambil menjulurkan lidahnya, meledek Flora.
Flora hanya menghela napas panjang kemudian melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya.
Sakti merebahkan Agni di sofa. "Gimana ceritanya bisa sampai terkilir sih?"
"Aku mau kejar kamu tadi, nggak tahunya malah kepleset," jelas Agni.
"Ya lagian mau lari ke mana, orang aku nggak ke mana-mana kok," sanggah Sakti.
"Aku lihat tadi kamu kayak buru-buru gitu, makanya mau aku kejar, eh tahunya malah apes."
"Ya udah aku pijit ya, kalau misalnya masih sakit mending kita ke dokter, kan bentar lagi jam kerja selesai."
Agni mengangguk. Ia begitu menikmati pijatan lembut Sakti pada kaki kanannya.
'Kamu udah berhasil aku taklukkan, dan sebentar lagi tinggal lelaki yang jemput Flora tadi pagi.' Agni menyeringai licik.
Jam kerja usai. Flora buru-buru membenahi barang-barangnya, memasukkan ke dalam tas dan gegas berjalan menuju halte.
Sakti kecewa karena pada saat dia ke luar dari ruang kerja Agni, ternyata kubikel Flora telah kosong, menandakan jika gadis itu telah pulang.
Pun dengan Agni, padahal tadinya dia mau memanas-manasi Flora karena saat ini dia sedang berada dalam gendongan Sakti. Rencana untuk bermesraan di depan Flora pun menjadi gagal.
Sakti melajukan motornya dengan kecepatan sedang, khawatir dengan kondisi Agni yang masih mengeluh sakit pada kakinya. Sampai di persimpangan jalan Sakti berhenti karena lampu lalu lintas merah menyala. Tak jauh dari sana ada Flora yang sedang menunggu bus di halte.
Sakti menatap gadis berambut panjang itu. Sebuah senyuman terbit di bibirnya melihat interaksi Flora dengan seorang ibu tua yang dia perkirakan merupakan penjual entah makanan apa.
"Neng, mau beli kacang rebus?" Tawar wanita tua pada Flora.
Menatap penampilannya sekilas, Flora mengangguk. "Mau Bu. Berapa harga satu bungkusnya?"
"Lima ribu Neng, sisa enam bungkus. Padahal udah malam banget tapi masih sisa, saya juga mau pulang soalnya belum kasih makan cucu saya," jelas wanita itu.
"Hm, ya udah bungkus semuanya aja Bu."
"Semua?" Wanita tua itu menatap Flora dengan mata berbinar.
"Iya." Flora mengangguk.
"Siap Neng, terima kasih ya udah beli dagangan saya."
"Sama-sama." Flora menerima kantong plastik berisi kacang rebus itu lalu menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah.
"Sebentar saya ambil kembaliannya dulu Neng."
"Nggak usah, buat Ibu aja," tolak Flora.
"Ya ampun Neng, ini mah kebanyakan atuh kembaliannya."
"Nggak apa-apa, buat Ibu saja."
"Ya udah. Sekali lagi terima kasih banyak ya."
"Sama-sama."
Wanita tua itu pun mengemasi barang-barangnya, lalu berdiri di depan halte hendak menyeberang jalan.
Flora yang melihat gelagat ibu tua itu pun bangun dari kursi tunggu dan menghampiri wanita itu.
"Ibu mau nyeberang?"
"Iya, tapi saya udah tua. Saya takut, apalagi orang-orang kalau bawa mobil sama motor suka ngebut."
"Ya udah, kebetulan lampu merahnya udah nyala, ayo saya bantu."
Flora mengapit lengan wanita tua itu dan berjalan mengantarkannya hingga ke seberang jalan. Hal itu tak luput dari penglihatan Sakti.
"Terima kasih banyak ya Neng. Saya doain hidup Neng panjang umur, bahagia, sehat selalu dan ketemu jodoh terbaik dari Tuhan. Neng mah orangnya baik banget, udah beli jualan saya, bantuin saya nyeberang jalan," celoteh wanita itu.
"Sama-sama Bu, hati-hati pulangnya ya. Saya pamit dulu."
"Ya Neng."
Flora kembali melintas di depan Sakti, tapi sekali lagi gadis itu tahu jika sejak tadi gerak-geriknya sedang dalam pengawasan Sakti.
Duduk di kursi tunggu, Flora kembali menantikan kedatangan bus sementara lampu menyala hijau. Sakti harus mengakhiri acara mencuri pandang dalam diam itu dan mengantarkan Agni ke rumahnya.
Sakti kembali menggendong Agni dan mengantarnya ke dalam rumah itu. Ini merupakan hal tak terduga yang Sakti inginkan sejak dulu.
Sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tengah pun terkejut melihat kepulangan Agni yang digendong seorang laki-laki.
"Lho, kamu kenapa Sayang?" Adel mendekati putrinya.
"Kamu kenapa Agni?" Panji ikut panik.
Sakti termangu. Ia terus menatap Panji tanpa berkedip.
'Beliau benar-benar Pak Panji? Ya Tuhan ...' ada haru yang menyeruak dalam d**a manakala Sakti kembali melihat Panji untuk pertama kalinya semenjak belasan tahun yang lalu.
"Kaki aku terkilir Ma," jawab Agni yang masih berada dalam gendongan Sakti.
"Ya udah, kita ke kamar sekarang," ajak Adel. Wanita itu memimpin jalan agar Sakti mengikutinya menuju kamar Agni.
"Gimana ceritanya kamu bisa jatuh Sayang?" Adel mengomeli putrinya.
"Nggak tahu Ma, namanya apes. Kalau tahu akan jatuh mending aku menghindar," jawab Agni sekenanya.
"Tadinya mau saya ajak ke dokter Tante, tapi Agninya nggak mau," Sakti menyela.
"Ya udah nggak apa-apa. Terima kasih ya udah mau anter anak Tante?"
"Sama-sama Tante. Kalau gitu saya permisi dulu Tan, Agni," pamit Sakti.
"Ya. Terima kasih ya Sakti. Sampai jumpai lagi di kantor."
"Ya. Mari Tante."
Sakti membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar itu.
"Ganteng, pacar kamu?" Tanya Adel begitu pintu tertutup.
"Enak aja. Temen Ma, dia miskin. Ogah aku punya pacar miskin," balas Agni.
"Oh, syukur deh kalau gitu. Toh masih banyak stok cowok ganteng yang tajir di luaran sana. Nanti Mama kenalin."
"Sip."
Dua wanita itu tertawa.
Sakti mengambil langkah panjang yang membawanya menuju ruang tengah, tempat di mana dia bertemu lagi dengan Panji.
"Malam Om," sapanya ramah.
"Malam. Terima kasih ya sudah nolongin anak Om," kata Panji.
"Sama-sama Om. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Kenapa buru-buru? Kita bisa minum teh bersama," tawar Panji.
"Nggak enak Om, sudah malam. Mungkin lain waktu," tolak Sakti, sopan.
"Ya sudah. Sekali lagi terima kasih ya."
"Ya Om, permisi."
Sakti sempat mengedarkan pandangannya, mana tahu dia melihat Flora.
"Sopan, tampan. Anak muda zaman sekarang jarang yang memiliki sopan santun sepertinya," monolog Panji sepeninggal Sakti dari ruangan itu.
Sakti terasa berat meninggalkan rumah itu sebelum ia bertemu Flora. Padahal Flora yang baru saja pulang memutuskan untuk masuk melalui pintu belakang.
'Mungkin lain waktu aku bisa bermain lebih lama di rumah ini. Pelan-pelan saja, semuanya butuh proses,' batin Sakti.
Bersambung ....
*Happy reading Kesayanganku, maaf ya up nya lama, karena kesibukan RL yang padat, hehehe. Harap maklum ya. Sekalian mau kasih tahu kalau kisah ini rencananya akan aku daily up mulai bulan depan. Semoga kalian suka dengan ceritanya ya, terima kasih yang sudah menunggu kelanjutan kisah ini. ❤️❤️❤️