Sakti menaruh asal jas serta tas kerjanya sebelum ia merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamar dari sepetak kos-kosan sempit yang disewanya beberapa bulan lalu, ia kembali teringat pada sosok itu. Gadis cilik dengan rambut dicepol tinggi bernetra bening kecokelatan.
Senyuman terkembang di bibir Sakti hanya dengan mengingatnya saja. Ah, betapa bodohnya dia yang tak pernah menanyakan nama bocah itu, dulu.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Sakti. Meraih benda itu, terpampang nama wanita yang sangat dia cintai.
"Ya Ma, ada apa?"
"Kamu udah pulang kan?" Tania bertanya di seberang telepon.
"Barusan, kenapa memangnya?" Sakti memijit pangkal hidungnya. Akhir-akhir ini dia memang merasa sangat lelah dengan setumpuk rutinitasnya.
"Kenapa nggak pulang ke rumah aja sih Nak? Mama sama papa kangen, udah lama kita nggak menghabiskan waktu bersama lho. Mama berasa nggak punya anak," curhat Tania.
"Ya baiklah, besok pulang dari kantor aku langsung ke situ."
"Janji ya?"
"Iya Mamaku yang cantik. Udah dulu ya, aku mau mandi."
"Ih, ganteng-ganteng kok jorok," dengus Tania.
"Iya makanya ini mau mandi Mama."
"Ya udah sana! Mama matiin teleponnya ya. Jangan lupa makan, nggak usah keluyuran lagi! Udah malam mending langsung tidur." Serentetan nasehat yang tak pernah bosan Tania ucapan pada anaknya itu lolos dengan lancar dari bibir tipisnya.
"Iya Ma. Terima kasih sudah menjadi Mama terbaik di dunia, aku sayang Mama. Selamat malam Ma."
"Selamat malam, Sayang."
Sakti meletakkan ponselnya, meraih handuk dan pergi mandi.
Di kediaman Hadinata.
Flora yang sedang mengeringkan rambutnya dikejutkan dengan bunyi pintu yang berdebum. Seseorang membukanya dengan sangat kasar, membanting pintu hingga terdengar dinding rumah bergetar.
Agni berjalan dengan gemulai lalu duduk melipat kaki di tepi ranjang. Menjentikkan kuku sambil sesekali memainkannya rambut, tingkahnya tak ubahnya seorang model terkenal.
"Sakit nggak?"
Kalimat pertama yang lolos dari bibir Agni.
Abai, Flora lebih memilih diam sambil menyisir rambutnya yang telah setengah kering.
"Sakit nggak Flo lihat cowok yang kamu sukai jalan sama cewek lain?" Agni mengulangi pertanyaannya.
Flora tetap diam, melanjutkan mengoles serangkaian perawatan malamnya.
"Flora ... Flora ... Aku tuh sebenernya kasihan banget sama kamu Flo! Sakti aja berhasil aku rebut, dan sebentar lagi, siapa tuh namanya ... Cowok yang jemput kamu tadi pagi?"
Lagi-lagi Flora mengunci rapat mulutnya, dan hal itu sukses memantik amarah Agni.
"Flo, kamu denger nggak sih aku ngomog? Dijawab kek," omel Agni.
Flora bangkit dari kursinya kemudian duduk di sofa yang ada dekat jendel, mengambil sebuah novel dan membacanya.
"Kurang ajar kamu Flo! Bener-bener ya minta dikasih pelajaran kamu."
Agni berjalan cepat ke arah Flora, merebut novel dari tangan gadis itu dan membuangnya di lantai. Tak cukup sampai di situ, Agni juga menginjak-injak novel tersebut.
Pun sama seperti sebelumnya, Flora masih mengunci rapat mulutnya. Gadis itu hanya memandang dan membiarkan saja Agni berbuat semaunya.
"Aku ngomog baik-baik Flora! Aku tanya sekali lagi, siapa cowok yang jemput kamu tadi pagi?"
Flora tersenyum sarkas, tapi tetap dengan pendiriannya untuk tak menanggapi Agni.
"Sakit jiwa ya kamu Flo? Sebegitu sedihnya kamu ditinggal Sakti sampai-sampai kamu jadi gila begini?" Agni berkacak pinggang.
"Kalau ngomong tuh ngaca, dipikir dulu! Apa nggak malu ngatain sendiri gila," tandas Flora.
"Apa? Kamu ngatain aku gila?"
"Kamu sendiri yang bilang, bukan aku," tampik Flora.
"Kapan aku ngomong kalau aku gila?"
"Itu, barusan. Udah lah Agni, pergi dari kamarku, aku mau istirahat," usir Flora.
"Aku nggak akan pergi sebelum kamu jawab pertanyaanku, siapa cowok yang jemput kamu tadi pagi?"
"Pacarku, puas kamu? Yang pasti bukan om-om seperti yang pernah kamu tuduhkan."
"Nggak mungkin Flo! Motornya aja nggak sembarangan, kamu tau nggak berapa harga motor dia?" Agni menjeda sejenak kalimatnya.
"Satu M lebih Flo, jadi aku yakin dia berasal dari keluarga kaya. Mana mungkin dia mau sama kamu," sinis Agni.
"Tapi sayangnya kami resmi pacaran, gimana dong?" Flora memainkan rambutnya, menirukan gaya saudara tirinya itu.
"Dih, mana mau Flo cowok kaya, tampan dan mapan kayak dia sama kamu? Kamu lupa siapa kamu sebenarnya?"
"Sepertinya di sini yang lupa tuh kamu, kamu yang sakit jiwa, tahu kenapa? Kamu nggak sadar diri! Ngaca Agni, ngaca! Yang sebenarnya kaya aku, bukan kamu!"
Agni mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Tampar! Nggak usah ragu, tampar aja aku Agni! Tapi inget ya, aku nggak akan pernah tinggal diam. Akan aku pastikan untuk membalas apa yang kamu lakuin ke aku. Udah cukup ya selama ini aku diam aja, sekarang nggak lagi!"
"Sialan kamu Flo!" Agni menurunkan tangannya.
"Jangan pernah berkata kasar atau mengumpati aku, karena sebenarnya kata-kata itu tertuju pada dirimu sendiri."
"Lihat aja kamu Flo!"
"Bisanya cuma ngancam. Pergi!"
Agni menghentakkan kakinya di lantai, ciri khasnya ketika dia sedang marah. Melihat dari caranya berjalan saja Flora sudah tahu bahwa kejadian di kantor merupakan rekayasa. Agni berpura-pura kakinya sakit karena ingin mencari perhatian Sakti saja.
Miris, Flora tak percaya Sakti dengan mudah diperdaya oleh gadis seperti itu.
Memutar anak kunci, Flora kembali ke kasur ketika dia mendengar ponselnya menjerit. Nama Fatih terpampang di sana.
"Ya Mas?"
"Sorry ya Flo, aku nggak bisa jemput kamu tadi, ini aja aku baru kelar meeting," ujar pria itu di seberang sana.
"Iya Mas nggak apa-apa. Kamu kan udah kasih tahu tadi."
"Kamu pulangnya gimana? Naik bus ya?"
"Iya, aku nggak apa-apa kok! Lebih baik kamu istirahat dulu, kamu pasti capek banget kan?"
"Ya udah, besok pagi aku jemput lagi ya?"
"Nggak usah Mas, takutnya kamu sibuk. Kamu nggak perlu repot-repot antar jemput aku tiap hari, aku kan jadi nggak enak," sanggah Flora.
"Kayak sama siapa aja Flo. Ya udah, aku mandi dulu ya. Aku usahakan jemput kalau pas waktunya senggang aja gimana?"
"Nah, gitu dong Mas. Ya udah sana."
"Sampai ketemu lagi."
"Iya."
Flora meletakkan ponselnya. Dalam keadaan hening begini, pikirannya akan kembali dipenuhi oleh sesosok pria. Flora masih bisa terima jika saja Sakti memilih gadis lain asal jangan Agni, karena Flora tahu betul perempuan seperti apa saudara tirinya itu.
Pagi menjelang.
Larik-larik awan menyambut kedatangan matahari yang masih tenggelam separuhnya di batas cakrawala. Malam tempat jiwa-jiwa berpulang telah usai, anak manusia kembali disibukkan dengan rutinitasnya.
Sakti mendesah panjang, duduk di bibir ranjang dengan pikiran yang tak tenang.
"Bukannya orang seneng ya kalau mau ketemu pujaan hatinya, aku kok ya kayak malas gini sih? Dari awal kan tujuanku emang untuk mendekati Agni, tapi kenapa yang ada di pikiranku malah Flora," monolognya.
Meraih tas kerjanya, Sakti memacu motornya menuju kantor yang baru beberapa bulan menjadi tempat kerjanya itu.
Ketukan sepatu pantofelnya menggema mengingat hari masih pagi, jam kerja baru dimulai satu jam ke depan. Sakti duduk di meja kerjanya, sambil terus menyantap roti, pria itu mulai merenungi hidupnya. Dia harus cepat bertindak, setidaknya agar dirinya tidak terombang-ambing dalam perasaan yang membingungkan seperti ini.
"Flo, pagi sekali kamu sampai?"
Flora melirik lelaki yang sedang duduk anggun memegang roti di tangannya itu. "Aku kan emang biasa berangkat pagi," jawab Flora sekenanya.
Meneguk susunya, Sakti beranjak dari kursi, memangkas jarak antara dirinya dengan Flora.
"Flo? Aku boleh ngomong sama kamu nggak?"
"Sekarang ini bukannya kamu lagi ngomong?"
Sakti mengembuskan napas berat. Bahkan dia sangat merindukan saat di mana Flora memanggilnya dengan sebutan 'kak', terkesan dekat dan akrab seperti dulu, sebelum drama yang membingungkan ini dimulai.
"Cowok yang kemarin jemput kamu itu, apa dia pacar kamu?" Sakti langsung bertanya terus terang.
Flora menatap lurus lawan bicaranya. "Hubungan kita hanya sebatas rekan kerja, jadi aku rasa Kakak nggak berhak nanya urusan pribadi sama aku," tandas Flora.
Sakti tertegun, melihat gadis yang ada dihadapannya seolah dia tak mengenalinya sebagai Flora.
"Kalau udah nggak ada yang perlu dibahas lagi, kamu bisa pergi."
Melangkah lesu meninggalkan kubikel Flora, kembali duduk di kursi dengan mata dan pikirannya yang terus tertuju pada gadis bersurai hitam legam itu. Sakti buntu, dia benar-benar tak bisa berpikir lagi.
Sepanjang hari Sakti terus memikirkan langkah yang akan diambilnya, tentu saja dengan tak mengurangi keprofesionalannya. Tugas-tugasnya selesai dengan baik hingga Agni merasa puas dengan hasil kerjanya.
"Makan pun sambil diam, kamu mikirin apa sih sebenarnya Sakti?"
Lelaki itu terlonjak kaget, sendok dalam genggamannya terpental di meja.
"Ada masalah?" Agni menyodorkan segelas air.
Meneguknya hingga tersisa sebagian badan gelas, meletakkannya di meja. "Kelihatan banget ya?"
"Iya. Kamu kayak orang tertekan gitu, emang mikirin apaan sih kalau aku boleh tahu?"
"Bukan sesuatu yang besar," Sakti menyanggah.
"Serius?"
"Ya." Mengangguk, meyakinkan Agni.
"Aku tuh sebenarnya lagi pusing tahu nggak sih?"
"Mikirin kerjaan? Jangan dibuat pusing lah, enjoy aja. Mikirin kerjaan mah nggak akan ada habisnya."
"Bukan soal itu," jawab Agni.
"Lantas?"
"Aku mau dijodohin sama Mamaku."
Deg.
Sumpah demi apapun, Sakti terkejut bukan main.
"Dijodohin?"
Agni mengangguk. "Mama bilang usiaku udah cukup buat nikah, sementara ayah udah pengen gendong cucu katanya."
"Kenapa mendadak?"
"Nggak juga. Udah lama mama merencanakan ini, cuma selama ini aku berhasil menolak, tapi sepertinya aku sudah tidak memiliki alasan untuk menolak kali ini," jelas Sakti.
"Apa yang mau mama kamu lakuin?"
"Lusa aku mau dikenalin sama anak temennya mamaku."
"Tahan!"
"Maksudnya?" Kedua alis Agni saling bertaut.
"Kalau bisa kamu ulur waktu," kata Sakti.
"Ulur waktu buat apa?"
"Untuk jangan menemui pria itu dulu."
"Maksudnya gimana?" Agni semakin tak mengerti dengan ucapan Sakti.
"Kamu harus pending pertemuan itu, aku akan memikirkan cara untuk menemui mamamu."
"Mau apa kamu nemui mamaku?"
"Buat ...."
***
Flora melirik benda pipih yang sejak tadi ia taruh di meja saat mendengar notifikasi pesan masuk. Sudut bibirnya terangkat manakala membaca barisan kata yang tertulis dalam pesan itu.
Aku tunggu di lobi pulang kerja nanti.
Pesan yang Fatih kirimkan dilengkapi emoticon hati berwarna putih. Dengan cepat Flora membalasnya, kemudian tak lama setelahnya Fatih kembali membalas pesannya.
"Heh, ini tempat kerja ya, tolong profesional dikit lah. Kamu mau aku tendang jadi office girl apa?"
Flora menggosok telinganya yang terasa panas. Sesuatu yang diucapkan Agni, sama sekali tak ada manis-manisnya. Selalu berupa percikan api yang bisa membakar apa saja. Panas.
"Lakuin aja! Silakan, aku gak akan halangi kok," jawab Flora dengan santainya.
"Kamu nantangin aku? Kamu pikir aku nggak bisa apa nyingkirin kamu dari sini," geram Agni.
"Aku tinggal bilang sama orang-orang kalau kamu tak lebih dari nenek lampir jahat, sekalian aku kasih tahu mereka kamu yang udah rebut kursi kepemimpinan itu dari aku."
"Terus kamu pikir orang bakal percaya gitu?"
"Aku nggak mungkin berbuat sesuatu tanpa memiliki pegangan ya Bu Agni yang terhormat. Kamu pikir aku mau mempermalukan diri aku sendiri?"
"Sialan banget kamu Flora!"
Agni menghentakkan kakinya di lantai, tangannya gatal ingin mencetak jejak di wajah cantik saudara tirinya itu akan tetapi berusaha dia tahan. Bisa hancur reputasinya jika ada yang memergoki dia melakukan tindakan tak terpuji pada Flora. Akhirnya dia memilih untuk kembali ke ruangannya.
Sakti yang sempat memergoki Agni sesaat sebelum gadis itu masuk ke ruangannya pun mengernyit bingung.
"Bukannya kakinya sakit ya? Kok jalannya cepet banget," gumam Sakti.
Tak mau ambil pusing, Sakti kembali melanjutkan pekerjaannya. Hingga jam kerja berakhir, semua orang bersiap mengosongkan gedung tersebut.
Sakti gegas mengikuti Flora yang telah berjalan lebih dulu menuju lift.
"Sakti!"
Tubuh Sakti membeku saat mendengar suara wanita yang sangat dikenalinya. Membalikkan badannya dan tersenyum canggung. "Ada apa?"
"Kayaknya buru-buru banget? Emang mau ke mana sih?"
"Eng ... Itu sih tadinya mau beli makan," balas Sakti.
"Sampai segitunya? Aku kira lagi ngejar apaan orang kelihatannya gugup banget." Agni menelisik air muka pria di depannya.
"Ya udah deh, duluan ya, aku bawa mobil soalnya."
Sakti mengangguk, dia menghembuskan napas lega. Tadinya dia mengira Agni akan memintanya untuk mengantarnya pulang.
"Sampai jumpa besok," kata Sakti melambaikan tangannya.
Agni melemparkan senyum manisnya pada pria itu, tapi sedetik kemudian berubah menjadi senyum mengejek begitu ia mengalihkan perhatiannya dari Sakti.
Flora mempercepat langkahnya begitu melihat Fatih telah menunggunya di samping Honda Gold Wing yang terparkir gagah di depan lobi.
"Mas." Flora melambaikan tangannya, setengah berlari mendekati Fatih.
"Jangan lari Flo! Takut kamu ja ..."
Krak!
"Auw!"
Belum sempat Fatih menyelesaikan ucapannya, pria itu gegas berlari untuk menangkap Flora yang terpelanting jatuh. Beruntung Fatih datang tepat waktu hingga tubuh mulus Flora tak sempat mencumbu lantai.
Tatapan keduanya saling bertubrukan, jarak wajah di antara mereka sangat dekat hingga Flora dapat merasakan hembusan napas Fatih yang menguarkan aroma mint.
"Kenapa kau mesti berlari? Aku tidak akan pergi ke mana-mana jadi lain kali jangan ulangi lagi. Bagaimana kalau kau jatuh tadi?"
Flora terkesiap mendengar Fatih sedikit mengomel padanya. "Ma ... Maaf Mas."
"Ehm. Lain kali kalo mau mesra-mesraan lihat tempat dong! Masa di lobi pelukan."
Reflek Flora menarik tubuhnya dari pelukan Fatih, membenahi penampilannya, gadis itu nampak sangat gugup.
"Apa urusannya sama kamu? Lagian kami nggak serendah itu ya buat pamer kemesraan di depan umum. Emang kurang kerjaan apa, masih banyak tempat lain, nggak harus di kantor."
Fatih meraih tangan Flora, membawa pergi gadis itu, meninggalkan Sakti yang masih berdiri mematung dengan senyuman yang sulit diterjemahkan.
Melihat bagaimana cara Fatih memperlakukan Flora membuat gelombang itu kembali menghampiri Sakti.
'Aku sudah putuskan untuk mengejar apa yang harus aku kejar, jangan mudah terombang-ambing begini Sakti, kamu harus punya pendirian,' rutuk Sakti dalam hati.
Rasanya Sakti ingin membiarkan saja Flora dekat dengan Fatih, tapi ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ada setitik rasa tak bernama yang masih bersarang di relung hati terdalamnya. Sebuah rasa yang sangat jauh dari batas pemahamannya.
Bersambung ....
*Happy reading Kesayanganku, semoga suka dengan ceritanya ya. Bantu kasih review di grup sss dong biar aku semangat nulisnya. ya ampun, ngarep Haha. Makasih yang udah menyempatkan waktu di sela-sela kesibukan kalian buat baca kisah ini. ❤️❤️❤️