Sebuah Penghinaan

2541 Kata
Sakti mengetuk daun pintu berwarna cokelat dengan lesu hingga wanita tua yang dikenalnya sejak kecil itu datang tergopoh membukakan pintu untuknya. "Eh, Den bagus. Mari masuk," ujar wanita yang akrab disapa Bi Tum itu. "Ya Bi. Mama sama Papa ada kan?" "Ada, mereka sedang di ruang makan." Tumini menggeser sedikit tubuhnya, memberikan jalan pada Sakti untuk masuk. Sayup-sayup Sakti mendengar orang tuanya sedang membicarakannya, tapi tak tahu soal apa karena ia tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Ma, Pa. Aku pulang," sapa pemuda itu, mencium punggung tangan Tania juga Wisnu dengan takzim. "Wah, kebetulan sekali. Duduk sini, kita makan sama-sama ya." Tania mengambilkan nasi beserta lauk dan menyodorkan pada putranya. "Papa seneng kamu pulang, nginep kan? Ayolah, besok kan hari libur," kata Wisnu. "Iya Pa." "Sebaiknya kita makan dulu, lanjut ngobrolnya nanti saja," cetus Tania. Sesekali Wisnu melirik istrinya, mengkode untuk melihat kondisi Sakti yang nampak kacau. Lalu keluarga kecil itu pun menghabiskan makanannya dan membiarkan Sakti membersihkan diri usai acara makan malam itu berakhir. Tania menyikut perut suaminya. Telah sepuluh menit mereka duduk di ruang keluarga dengan Sakti yang duduk di seberang meja, akan tetapi belum ada satu pun dari mereka yang membuka mulut. "Apa kamu mau terus diam begitu?" Wisnu akhirnya angkat bicara. "Ada masalah apa memangnya? Kenapa nggak cerita sama Mama dan Papa?" Sakti membuang napas panjang, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Dari mana Papa tahu kalau aku sedang dalam masalah?" "Bukan soal uang dan yang lainnya, jadi dapat disimpulkan kalau masalah yang sedang menimpamu adalah soal gadis itu," tebak Wisnu. "Benar lagi. Papa hebat," celetuk Sakti. "Lalu apa masalahnya," sambar Tania. "Dia mau dijodohin sama mamanya, aku harus gimana Ma?" Tania yang tak begitu terkejut mendengar penuturan putranya langsung menatap Wisnu, sebelumnya dia sudah mengetahui Adel yang memang berencana untuk menjodohkan Agni. "Kok nanya Mama, ya kamu sendiri mau gimana?" "Aku nggak rela dia nikah sama cowok lain Ma," kata Sakti. "Sekarang Mama nanya sama kamu, kamu udah yakin sama perasaanmu buat dia? Kamu beneran cinta nggak sama dia?" Sakti terdiam. Bagaimana bisa dia menjawab jika dia tak tahu perasaan seperti apa yang dia punya untuk Agni, sementara selama ini getaran di hatinya hanya pada bocah kecil yang sejak belasan tahun lalu ia jaga. "Kamunya aja kurang meyakinkan, gimana Mama mau kasih saran." Tania melirik suaminya. "Jadi mau kamu sebenarnya apa Nak?" Sakti menatap ayahnya. Sisa-sisa ketampanan masih tercetak jelas di wajah lelaki yang menginjak usia lima puluh delapan tahun itu. "Tolong lamarkan dia untukku Pa, Ma," lirih Sakti. Tania mendelik mendengar permintaan putra semata wayangnya. Dia tak mungkin memberikan restu sebelum dirinya benar-benar yakin bahwa Agni merupakan gadis terbaik untuk mendampingi kehidupan Sakti. Ini sungguh sangat terburu-buru. "Pa," bisik Tania pada suaminya. "Mama tenang aja, biar Papa yang urus," balas Wisnu, juga dengan berbisik. "Gini Nak, soal lamaran itu urusan mudah. Papa dan Mama pasti akan lamarkan gadis yang kau inginkan untuk menjadi istrimu, tapi masalahnya ... Papa ingin kamu meyakinkan satu hal dulu pada kami," oceh Wisnu. "Kurang yakin apalagi Pa?" "Mungkin kamu memang sudah yakin sepenuhnya pada gadis itu, tapi kamu juga harus meyakinkan Papa dan Mama dulu," lanjut Wisnu. "Soal apa?" Tanya Sakti. Tania kini angkat bicara. Dia mengatakan apa-apa saja yang harus dilakukan putranya sebelum dia beserta suami serta keluarga besar datang untuk melamar Agni. Ingin sekali rasanya Sakti memutar waktu, dia tak sabar menunggu malam berakhir agar secepatnya dapat pergi menemui Agni. Hampir semalaman lelaki itu terus terjaga, membayangkan banyak hal akan terjadi setelah sebuah keputusan dia buat. *** Flora melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, masih ada sisa waktu sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya untuk bertemu dengan Fatih. Gadis itu duduk di sudut ruangan bergaya neo klasik, Fatih yang memilih tempat ini. Seorang pelayan membawakan minuman juga camilan yang Flora pesan. "Sorry telat Flo, kamu nunggu lama ya?" Flora melemparkan senyum pada pemuda berjaket jeans yang baru saja tiba itu. "Barusan kok, minuman aku juga baru datang. Mau pesan apa Mas?" Tanya gadis itu. "Kamu mau pesen makanan berat?" Fatih balik bertanya. "Orang ditanya malah balik nanya, Mas Fatih gimana sih?" "Ya maksudku, kali aja kita mau sekalian makan siang?" "Nggak Mas, masih kenyang. Kamu aja kalau mau pesen," tolak Flora. "Ya udah, aku pesen sama kayak kamu aja." Fatih memanggil pelayan dan meminta minuman juga camilan yang sama persis dengan yang dipesan Flora. Keduanya bungkam bahkan setelah Fatih menghabiskan hampir sebagian isi gelasnya. "Maaf Mas, kalau boleh tahu, ada perlu apa Mas Fatih ngajakin aku ketemuan di sini?" Flora yang diliputi rasa penasaran tak tahan untuk terus diam. Fatih berdehem, dia kembali meneguk minumannya sebelum dia memantapkan hati mengatakan sesuatu pada Flora. "Sorry ya Flo, udah ganggu waktu istirahat kamu," ujar pria itu. "Ish, kayak sama siapa aja deh ngomong gitu." "Sebenarnya aku sengaja ajak kamu ketemuan di sini karena ada yang mau aku omongin." "Soal apa?" Hening sejenak. Fatih menarik napas dalam-dalam seolah sedang mengumpulkan kekuatan. "Flo," panggil Fatih. "Ya Mas." "Sebenarnya, aku ... Aku jatuh cinta beneran sama kamu." Deg. Flora menatap iris mata sehitam tinta milik Fatih, menyelami kedalaman telaga bening itu hingga ia terkesiap saat dia menemukan apa yang dicarinya. Sama sekali tak ada dusta, Flora dapat melihat ketulusan yang terpancar di sana. "Aku suka sama kamu Flo dan aku ... Aku beneran cinta sama kamu," ulang Fatih, menegaskan ucapannya. Flora meraih gelasnya, mendadak tenggorokannya terasa gersang. "Aku tahu kamu pasti bingung, nggak nyangka dan mungkin malah berpikiran macam-macam tentang aku karena ini terlalu cepat. Aku sadar diri, aku tahu itu, tapi kalau boleh jujur sebenarnya emang aku udah suka sama kamu dari waktu kita masih kuliah. Kita sering terlibat acara keorganisasian bersama, dan waktu Vita kasih tahu aku buat bantuin kamu, aku kaget waktu tahu cewek yang dia maksud adalah kamu. Itu sebabnya aku mau bantu kamu," ungkap lelaki itu. "Mas ..." "Aku tahu, kamu cinta sama Sakti," potong Fatih. "Iya, tapi masalahnya ..." "Nggak apa-apa Flo. Selain untuk mengungkapkan perasaanku sama kamu, aku juga mau kasih satu kabar lagi." "Kabar apa?" Kening Flora berkerut. "Maaf ya, aku udah nggak bisa bantu kamu lagi," lirih Fatih. "Maksudnya?" "Aku nggak bisa bantuin kamu untuk manas-manasin Sakti lagi. Bukan karena aku nggak mau, tapi karena aku ..." "Ya Mas nggak apa-apa, kamu udah bantuin aku selama ini aja aku udah makasih banget sama kamu." "Aku dijodohin," sambung Fatih. "Apa?" Flora terkejut bukan main. "Aku nggak bisa bantu kamu lagi karena aku dijodohin sama orang tuaku, lebih tepatnya sama Mama. Aku nggak bisa nolak apapun yang mamaku minta dariku Flo." Flora terdiam mendengarkan cerita lelaki di hadapannya itu. "Aku cuma bisa pasrah Flo. Aku cinta sama kamu, dan aku nggak nyalahin kalau kamu cinta sama Sakti. Secara kebetulan mamaku juga tiba-tiba ngasih tahu kalau aku mau dijodohin. Kalau jodoh nggak akan ke mana, ya kan Flo?" Flora mengangguk. "Aku hanya tidak ingin menyakiti hati orang yang telah melahirkan dan membesarkan aku. Aku nggak mau jadi anak durhaka. Meskipun bisa saja aku memperjuangkan perasaanku ke kamu, tapi aku biarkan tangan Tuhan bekerja menuntun kita. Kita tidak pernah tahu apa yang akan digariskan Tuhan untuk kita, tugas kita hanya menjalaninya saja." "Ya Mas. Aku setuju sama kamu, biarkan takdir Tuhan berjalan dengan semestinya. Apapun yang terjadi, tidak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti hati ini akan dengan cepat berpindah haluan bukan? Karena sejatinya hanya Tuhan yang Maha membolak-balikkan hati," timpal Flora. "Kau benar, dan aku berharap suatu hari nanti bisa dipertemukan dengan jalan takdir yang baik. Jikapun seandainya kita tidak berjodoh, aku akan selalu mendoakan kebaikan untukmu." "Begitu juga denganku. Kamu pria yang baik Mas, aku yakin calon istri yang dipilihkan mamamu akan menjadi istri yang baik buat kamu." "Semoga saja." Keduanya kembali melewati waktu dalam kebisuan. Flora dan Fatih mengunci rapat mulutnya, mereka sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Semburat jingga menemani Sakti melajukan motornya menuju rumah Agni. Pria itu terus memacu motornya dengan kecepatan sedang. Menghembuskan napas berulang kali, Sakti berusaha meyakinkan dirinya dengan keputusan yang baru saja dia ambil. Beruntung sekali dirinya memiliki orang tua yang luar biasa bijaksana. Jika terjadi sesuatu, maka keluarganya akan duduk bersama untuk membahas dan menemukan solusi terbaik. Sri muncul ketika Sakti menekan bel pintu. "Maaf Mas, ada keperluan apa?" "Agninya ada Bi?" "Ada, silakan masuk! Biar Bibi panggilkan." Sakti mengekori wanita itu kemudian duduk di sofa ruang tamu. Sembari menunggu kedatangan si pemilik rumah, Sakti menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tak ada yang berbeda di sana. Guci besar dan beberapa perabot yang menambah kesan elegan nan mewah. Sakti mencoba mencari sebuah potret keluarga, tapi sayangnya hanya ada lukisan pemandangan senja maha karya pelukis kenamaan yang menggantung di dinding. Sakti merasa ada yang aneh. Dia melihat cerminan keluarga harmonis pada keluarga Agni, akan tetapi kenapa dia tidak menemukan potret keluarga yang terpajang. Biasanya orang akan memasang setidaknya satu foto keluarga di ruang tamu, tapi kali ini nihil. Buru-buru Sakti mengakhiri kesibukannya dengan pikiran yang terus mengembara. Langkah kaki terdengar kian menggema dan kian dekat. Pria itu mendelik melihat bagaimana cara Agni berpakaian, meskipun ini di rumahnya sendiri, tapi tetap saja Sakti menyayangkannya. Hotpants jeans yang bahkan menampilkan dalaman berwarna hitam itu Agni padukan dengan crop top rajut beraksen tali spaghetti di bagian lengan. Membuat bongkahan d**a berbalut kain penutup warna hitam itu terlihat begitu menantang. "Aku kira kamu nggak jadi datang Sakti." Kalimat pertama yang dilontarkan Agni. Gadis itu duduk di seberang Sakti dengan melipat kaki. Dengan cepat Sakti membuang muka saat tak sengaja matanya melihat paha mulus Agni. Sedikit saja Agni membuka kakinya, maka akan terpampang dengan jelas daerah terlarang yang memang tercetak jelas di balik hotpants ketat yang dia pakai. "Silakan diminum," ujar Sri sembari meletakkan dua buah cangkir di meja. "Terima kasih Bi," balas Sakti. "Sama-sama Mas." "Bi, sekalian bikin teh buat mama sama ayah juga ya. Habis itu tolong Bibi panggil mereka ke sini, katakan pada mereka kalau Sakti udah datang," pinta Agni. "Baik Nona." "Sebentar ya Sakti." "Iya. Kamu udah bilang kan sama orang tua kamu tentang maksud kedatangan aku ke sini?" Tanya Sakti. "Iya. Kamu tenang aja." Tak berapa lama Adel datang dengan mendorong kursi roda suaminya. Berbeda dengan wajah Panji yang berseri-seri, Adel menampilkan wajah ketus. "Selamat malam Tante, Om." Sakti bangkit dari kursinya, membungkuk hormat sambil menyalami Panji bergantian dengan Adel. "Malam Nak. Ayo silakan duduk!" Kata Panji. Sri kembali datang membawakan dua buah cangkir untuk majikannya, serta beberapa toples kue kering. "Kamu yang waktu itu nganterin anak saya pulang kan pas kaki Agni terkilir?" Tanya Adel sesaat setelah dia menjatuhkan bobotnya di sofa. "Iya Tante." Sakti mengangguk. "Kedatangan saya ke mari untuk ..." "Saya udah tahu. Agni yang kasih tahu saya semalam," sambar Adel. "Ma," Panji mendesis mengingatkan sang istri. "Ya. Seperti yang Om dan Tante dengar dari Agni. Saya ingin menjalin hubungan serius dengan Agni, dan saya ingin meminta restu pada Om dan juga Tante," ungkap Sakti. "Kalau Om si terserah kalian saja karena kalian yang akan menjalaninya," Panji menimpali. "Kalau Mama gimana?" Tanya Agni. "Kamu bukannya cuma asisten pribadi anak saya ya?" Sakti mengangguk. "Kalau begitu ngapain kamu pacari anak saya? Berani-beraninya kamu lamar anak saya, memang kamu pikir saya akan setuju?" "Ma!" Seru Panji tak terima. Pria itu merasa istrinya sudah sangat kasar pada Sakti. Sakti terdiam. Dia melihat bagaimana Adel menatapnya sinis dan terkesan meremehkan. "Emang kenyataannya gitu Mas," kata Adel. "Eh, Sakti! Kamu itu harusnya ngaca ya, kamu cuma asisten anak saya. Agni itu pemimpin perusahaan sementara kamu cuma pegawai biasa yang bahkan untuk mencukupi kebutuhan kamu aja kamu sampai narik ojek online. Kamu tinggal di kostan sempit, emang kamu pikir saya rela kamu nikahin anak perempuan saya satu-satunya? Mau kamu kasih makan apa anak saya, hah? Saya tempo hari berterima kasih sama kamu karena kamu sudah mengantar anak saya pulang, tapi bukan berarti kamu bisa ngelunjak ya. Main lamar aja, saya nggak setuju," oceh wanita itu panjang lebar. "Ma, mereka berdua yang akan menjalaninya, kenapa kamu bersikap begitu? Soal materi, mereka kan bisa kerjasama untuk mencarinya setelah menikah nanti," ucap Panji. "Mama tetap nggak setuju. Kalau Sakti meminta imbalan atas jasanya mengantar Agni kemarin, Mama akan ganti, berapa yang kamu minta Sakti? Sepuluh juta? Seratus juta? Katakan betapa, detik ini juga saya transfer." "Ma," bentak Panji. "Maaf Tante, mungkin Tante menganggap saya lancang, tapi tolong ... Kasih kesempatan saya untuk membahagiakan Agni," ujar Sakti, tulus. "Bahagia kamu bilang? Menanggung biaya hidup kamu sendiri aja kamu nggak becus, sok-sokan janji mau kasih anak saya kebahagiaan. Ngaca kamu! Bangun! Jangan tidur terus kerjaannya. Pantesan miskin terus, nggak punya harta aja kebanyakan mimpi," maki Adel. Sakti diam seribu basa. Melihat reaksi Adel yang sangat bertolak belakang dengan Panji cukup membuatnya syok. Panji lebih bijaksana dan terbuka, akan tetapi istrinya seperti singa kalap yang bisa menghabisi apa saja, termasuk harga diri Sakti yang wanita itu buat hancur lebur, jatuh hingga ke dasar jurang. Sementara Agni duduk diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun demi membela Sakti. "Masih untung saya nggak minta Agni buat mecat kamu karena sikap kurang ajar kamu kali ini ya, tapi jangan harap saya masih memiliki hati jika lain kali kamu berbuat nekat lagi. Mulai detik ini, jangan pernah kamu dekati Agni selain untuk urusan pekerjaan. Jika sampai kamu dekati anak saya lagi, saya nggak akan segan-segan untuk melaporkan kamu ke polisi," ucap Adel lagi. "Atas tuduhan apa Ma? Kamu keterlaluan!" Hardik Panji. "Sudah Om, cukup. Saya yang salah karena tiba-tiba datang dan malah mengacaukan situasi. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya ya Om, Tante." Sakti merasa hancur ketika mengatakan itu. Bukan karena merasa rendah diri karena harus meminta maaf, tapi karena merasa dia tak sebanding dengan anak dari Panji. "Nggak apa-apa Nak, Om juga minta maaf atas ketidaknyamanan ini," ucap Panji penuh sesal. "Tunggu apa lagi? Cepat kamu angkat kaki dari sini dan jangan pernah lagi kamu berani menginjakkan kaki lagi dia ini! Kau mengerti!" Teriak Adel. "Mama bisa diam nggak! Kamu yang seharusnya minta maaf sama Sakti," bentak Panji. "Minta maaf? Emang salah Mama apa? Kalau mau nyalahin ya salahin Sakti, siapa suruh dia miskin," cibir Adel. "Benar-benar kamu Ma, keterlaluan!" "Terserah kamu aja Mas, tapi yang jelas ya Sakti! Agni mau saya jodohkan dengan pria mapan yang kaya, nggak kayak kamu, miskin aja kebanyakan gaya." "Astaga Mama!" Tak mendengar nasehat suaminya, Adel memilih untuk masuk ke kamarnya. "Sudah Om, saya nggak apa-apa kok. Yang dikatakan Tante memang benar, seharusnya saya sadar diri karena saya memang tidak pantas bersanding dengan putri Om." "Om minta maaf ya atas kelakuan istri saya." Panji mengusap tangan Sakti. "Nggak apa-apa Om. Kalau begitu saya permisi dulu, maaf sudah membuat kekacauan." Sakti berpamitan, mencium tangan Panji. "Aku pulang dulu ya Agni," pamitanya pada gadis yang sejak tadi diam tak ubahnya patung. "Hati-hati." Agni mengangguk. "Mari Om." Sekali lagi Sakti membungkuk hormat pada Panji sebelum akhirnya dia benar-benar angkat kaki dari rumah itu. Tubuh Sakti serasa tak bertulang. Dia merasa sangat lemah. Ketika hendak menyalakan mesin motornya, netranya menangkap sepasang muda mudi yang tengah berboncengan memasuki pelataran rumah ini. Lagi, Sakti merasakan dadanya semakin nyeri. Luka menganga atas penghinaan Adel terhadapnya semakin bertambah, bak disiram air garam ketika melihat Flora diperlakukan amat manis oleh Fatih. Bersambung .... *Happy reading Kesayanganku, makasih ya buat kalian yg udah setia nungguin kelanjutan kisah ini. Cuma mau kasih tau kalo aku mulai daily up bulan depan, sementara aku gak up dulu, ditunggu kelanjutannya bulan Juni ya. Makasih All, Saranghae ❤️❤️❤️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN