Tubuh Sakti serasa tak bertulang. Dia merasa sangat lemah. Ketika hendak menyalakan mesin motornya, netranya menangkap sepasang muda mudi yang tengah berboncengan memasuki pelataran rumah ini.
Lagi, Sakti merasakan dadanya semakin nyeri. Luka menganga atas penghinaan Adel terhadapnya semakin bertambah, bak disiram air garam ketika melihat Flora diperlakukan amat manis oleh Fatih.
"Sampai jumpa lain waktu Flo, aku harap apapun takdir yang kita lalui, kita dapat dipertemukan dalam keadaan yang jauh lebih baik," ucap Fatih sesaat sebelum lelaki itu berpamitan pada Flora.
"Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu Mas, kamu orang yang baik dan aku pastikan kamu juga akan mendapatkan jodoh yang terbaik."
"Amin. Aku pulang ya, jaga diri baik-baik."
"Kamu juga. Hati-hati di jalan."
Flora melambaikan tangannya, menatap kepergian Fatih hingga pria itu lenyap dari pandangannya. Jantung gadis itu berpacu dengan cepat ketika membalikkan badan dan melihat sesosok pria tengah berdiri mematung.
Flora salah tingkah saat Sakti menyergapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Berjalan pelan, mau tidak mau dia harus melintasi Sakti jika ingin memasuki bangunan itu.
"Nggak masuk?" Tanya Flora, canggung.
"Udah." Sakti menjeda sejenak ucapannya. "Baru pulang?"
Flora mengangguk. "Aku masuk duluan ya," pamitnya.
"Ya."
Entah berapa lama Sakti berdiri di sana, yang jelas sampai Flora masuk pun pria itu masih setia mematung.
"Ayah, ada apa? Kelihatannya tegang banget?" Flora menatap wajah ayah dan saudara tirinya bergantian.
"Habis ada tragedi," celetuk Agni.
"Tragedi? Tragedi apa?" Tanya Flora, penasaran.
"Itu ... Si tukang ojek online barusan mau melamar Agni."
Belum sempat Panji dan Agni menjelaskan, Adel sudah muncul di sana.
Duar!
Flora termangu. Ia kepayahan menelan salivanya, atmosfer mendadak berubah panas.
"Sa ... Maksudnya Sakti?" Tanya Flora terbata.
"Ya, siapa lagi. Cuma anak kurang ajar itu yang berani bersikap lancang. Lamarannya seperti menghina keluarga kita," oceh Adel.
"Ma," desis Panji.
"Kenapa sih kamu belain dia terus Mas," protes Adel.
"Bukan membela Ma, mereka berdua yang akan menjalani kehidupan berumah tangga, apa salahnya jika mereka bersatu? Lagi pula aku lihat dia pemuda baik-baik. Harta itu bisa dicari, tapi lelaki berhati baik sudah sangat jarang dijumpai Ma," beber Panji.
"Baik aja nggak cukup Mas, memang Mas mau Agni disengsarakan sama dia? Mama sih nggak rela, enak aja Agni disuruh nikah sama cowok model begituan. Kalau Mas mau, jodohin aja dia sama Flora," cetus Adel.
"Ma, dari tadi mulutmu itu sangat pedas! Nggak ada lembut-lembutnya sama sekali, memang nggak capek apa dari tadi kamu maki anak itu terus? Sakti nggak bersalah Ma, kalau menurutku malah dia pemuda yang bertanggung jawab. Sopan santun, ketulusan dan kejujurannya yang membuatku menyukainya. Berikan restu padanya toh dia dan Agni saling mencintai," ucap Panji.
"Nggak Yah," tampil Agni.
"Maksud kamu?"
"Aku nggak cinta sama dia dan aku udah bilang itu sama dia, hanya saja dia memaksa mau melamarku," ungkap Agni. Tentu saja semua itu dusta, karena faktanya dia tidak pernah mengatakan apapun pada Sakti.
"Ya Tuhan Sayang, kenapa nggak bilang sejak awal?" Panji menatap putri sambungnya, tak percaya.
"Mustahil, bukannya kalian berdua pacaran," sela Flora.
"Nggak usah sok tahu kamu Flo! Aku yang jalani," ketus Agni.
'Keterlaluan kamu Agni, tega-teganya kamu mempermainkan perasaan Sakti,' maki Flora dalam hati.
"Udah Sayang, kita tinggalin aja ayah sama anak ini. Biar mereka rembugan untuk memikirkan cara bagaimana agar supaya Sakti mau menikahi Flora," tandas Adel.
"Cukup Ma! Mulutmu itu minta diberi pelajaran ya!" Hardik Panji.
"Ayah, udah lah Yah! Biarin aja Mama mau ngomong apa."
Adel mengajak putrinya masuk ke dalam, tatapannya pada Flora terkesan sinis dan meremehkan.
"Keterlaluan mamamu itu Flo."
"Aku nggak apa-apa kok Yah."
"Ayah nggak ngerti deh sama Sakti. Pertama kali Ayah lihat dia deketnya sama kamu, terus jadi sering sama Agni, makanya Ayah pikir juga mereka pacaran. Lalu begitu dia datang melamar, malah ditolak sama Agni."
'Itu karena Agni cuma mempermainkan perasaan Sakti saja Yah, kasihan dia.'
Hal itu tentu saja hanya diucapkan Flora dalam hati.
"Eh, tapi jujur deh. Ayah lihat dia itu anak yang baik, Ayah bisa lihat dari sikapnya. Hm, dan Ayah yakin dia akan menjadi suami yang sangat mencintai istrinya."
Flora diam saja mendengarkan ucapan ayahnya.
"Kenapa nggak kamu aja yang nikah sama Sakti Flo? Soal harta kan gampang, bisa dicari kalau kalian menikah nanti," cetus Panji.
"Ih, Ayah apaan sih, kenapa malah aku yang disuruh buat nikah sama dia?"
"Mumpung stok cowok baik masih ada Flo, jarang lho ada cowok kayak dia. Gentleman. Mau minta restu aja sampai bela-belain datang, padahal dia udah dimaki-maki sama mamamu, tapi dia tetap tidak terpancing. Dia pulang dengan sikap yang tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Sama baiknya seperti saat pertama kali dia datang memasuki rumah ini, meskipun Ayah tahu dia sangat kecewa. Bisa aja dia melampiaskan kemarahannya, tapi tidak dia lakukan karena Ayah tahu dia memiliki rasa hormat pada orang yang lebih tua," oceh Panji.
"Udah selesai promosinya Yah," sindir Flora.
Pria paruh baya itu terbahak, apalagi melihat Flora memberengut masam, makin menjadi saja tawanya.
***
Sakti meninggalkan kediaman Panji dengan perasaan yang kacau balau. Lautan bintang di langit seolah mengejeknya, belum lagi semesta yang juga ikut bermuram durja, makin memperburuk suasana hati pria itu.
"Tampan, gimana hasilnya?" Tanya Tania tak sabar.
"Setidaknya biarkan dia duduk dan istirahat, ambilkan minum!" Titah Wisnu pada istrinya.
"Ya Pa."
Melihat kondisi anaknya yang berantakan sebenarnya sudah cukup menjawab pertanyaan Tania juga Panji, hanya saja mereka butuh penjelasan.
Segelas air putih yang disodorkan Tania telah tak tersisa, Sakti kembali meletakkan gelasnya.
"Aku ditolak Ma, Pa," beritahu Sakti.
Tania menghembuskan napas panjang. Wanita paruh baya yang masih saja cantik itu sudah menduga akan seperti ini jadinya.
"Meraka bilang aku nggak pantas buat Agni," imbuh Sakti.
"Mereka bilang begitu?"
"Tante Adel yang bilang."
"Sudah kuduga," gumam Tania.
"Ayahnya baik Ma, Pa. Om Panji bahkan membelaku ketika aku di ..." Sakti hampir saja kelepasan. Tidak seharusnya dia mengatakan pada orang tuanya mengenai kejadian tadi, takut melukai perasaan mereka terlebih perasaan Tania.
"Kamu diapain sama Adel," desak Tania.
"Nggak Ma, nggak di apa-apain kok," sanggah Sakti.
"Jangan bohong! Mama tahu betul kamu nggak bisa bohong sama Mama!" Lagi, Tania terus mendesak Sakti agar mau bercerita.
"Intinya aku ditolak Ma. Om Panji memang memberikan restunya padaku, tapi tidak dengan Tante Adel."
'Baiklah kalau kamu nggak mau cerita, Mama bisa cari tahu sendiri,' Tania membatin.
"Terus apa yang mau kamu lakukan?"
"Ma, anak kita sedang bersedih. Biarkan dia sendiri dulu," sela Wisnu.
"Besok aja kita bahas ini lagi ya Ma, Pa. Aku pengen sendiri," ujar Sakti.
"Ya Nak, pergilah ke kamarmu!" Titah Wisnu.
Sakti bangkit dari duduknya, menapaki anak tangga yang membawanya menuju kamarnya di lantai atas.
"Mama nggak akan tinggal diam Pa. Mama yakin Adel pasti melakukan sesuatu yang membuat anak kita jadi murung begitu. Kurang ajar!" Maki Tania.
"Sabar. Besok Mama korek info lagi mengenai ini, Papa juga penasaran dengan apa saja yang dilakukan wanita itu pada Sakti."
"Papa kan tahu seperti apa anak itu. Sakti akan menyembunyikan rapat-rapat hal yang sekiranya membuat kita sedih, dia nggak mau buat kita kepikiran," balas Tania.
"Ya. Lalu kira-kira langkah apa yang akan kita ambil selanjutnya? Kita nggak mungkin diam kan lihat Sakti terus seperti ini. Usianya sudah tidak muda lagi, kita juga sudah mulai bosan menunggu kapan bisa menggendong cucu," oceh Wisnu.
"Kita lihat besok Pa. Sakti tidak akan tinggal diam, dia pasti akan membuat keputusan dan Mama harap keputusannya adalah berhenti untuk mengejar cinta pertamanya itu. Mama suka kesel kalau lihat dia terus-terusan mengejar cinta pertamanya, padahal kan itu terjadi sejak belasan tahun lalu. Logikanya, gadis itu juga sudah lupa sama Sakti, dia terang-terangan lho nolak anak kita. Kesel Mama, Saktinya juga bandel dibilangin," cerocos Tania.
Wisnu terbahak. Wanita yang telah mendampingi hidupnya selama puluhan tahun itu memang cerewet. Tania akan berubah menyeramkan jika merasa ada orang yang mengusik keluarganya.
"Kok Papa ketawa sih?"
"Lucu aja lihat reaksi Mama," goda Wisnu.
"Ih, dasar! Nyebelin!"
Tak hanya cerewet dan keibuan, terkadang Tania juga mudah merajuk layaknya ABG.
"Tunggu Ma, gitu aja ngambek. Nanti cantiknya ilang lho." Pria itu mengejar istrinya yang sudah lebih dulu masuk ke kamar.
Sakti menatap langit-langit kamarnya yang akhir-akhir ini penuh dengan lukisan gadis kecil yang ditemuinya enam belas tahun lalu.
"Kenapa kamu diam aja waktu mamamu hina aku Agni? Aku tidak mendengar sepatah kata pun yang terucap dari bibirmu untuk membelaku, seperti yang kebanyakan cewek lakukan ketika orang yang dicintainya dihina. Kamu diam bahkan membiarkan mamamu puas menghinaku, apa benar selama ini hanya aku yang memendam cinta ini sendirian? Apa kau sama sekali tak mengingatku?"
Sakti memejamkan mata. Mengingat kejadian yang berlangsung beberapa jam yang lalu itu membuat batinnya nelangsa. Penghinaan Adel belum seberapa dibanding rasa kecewanya manakala Agni diam mematung seolah tak terjadi sesuatu.
Belum lagi wajah berseri Flora yang silih berganti datang mengacaukan pikirannya. Bisa gila Sakti jika terus seperti ini.
***
Tania memilin tangannya, tak sabar rasanya dia menunggu kedatangan Adel. Sepuluh menit terasa seperti satu jam. Meregangkan tubuhnya, Tania bersiap seolah hendak bergulat dengan wanita yang sangat dibencinya hingga ubun-ubun itu.
"Diminum dulu Jeng, aku perhatikan kamu kelihatan gelisah seperti itu. Jeng Adel pasti datang, tenang aja." Ana menyenggol bahu temannya. Wanita itu tak tahu seperti apa kegelisahan yang sedang Tania rasakan saat ini.
Tania mengangguk, sebuah senyuman tak lupa dia berikan pada Ana untuk menutupi rasa yang sedang berkecamuk dalam dadanya.
"Hai Jeng, sorry telat. Jalanan macet," cerocos Adel. Meletakkan bobotnya di kursi, dan memangku clutch mewah keluaran pabrik tas branded itu.
"Nggak apa-apa. Kita juga belum lama-lama amat, ya kan Jeng?"
Tania mengangguk menanggapi ucapan Ana. Setelah cukup lama berbasa-basi, Tania mulai jengah.
"Eh, Jeng. Omong-omong apa kamu jadi mau menjodohkan Agni sama anaknya Jeng Lidya?" Tania mulai menembak sasarannya.
"Jadi dong Jeng, cuma anaknya Lidya itu yang aku anggap paling cocok untuk mendampingi anak kesayangan saya satu-satunya."
"Oh, syukurlah kalau begitu." Tania mulai berpikir keras untuk menggiring Adel masuk ke dalam jebakan yang telah dia siapkan.
"Eh, aku mau cerita sama kalian berdua Jeng," cetus Adel.
"Soal apa?" Ana nampak antusias. "Soal perjodohan ini?"
"Bukan."
"Lalu soal apa?"
Tania masih berperan menjadi pendengar yang baik.
"Kemarin sore, tiba-tiba ada pemuda miskin yang datang mau melamar anak saya lho Jeng," beber Adel.
Gayung bersambut. Tak perlu susah payah membuat jebakan pada akhirnya Adel membeo dengan sendirinya.
"Masa sih? Terus gimana?"
"Ya aku tolak lah," sahut Adel.
"Kenapa ditolak Jeng?" Tania berpura-pura penasaran, padahal aslinya dia memang penasaran dengan kejadian itu. Jelas saja, karena yang akan dikuliti adalah anak semata wayangnya.
"Ya jelas saya tolak lah Jeng, orang dia pemuda miskin kok. Dia itu cuma asisten pribadi anak saya di kantor yang mengisi waktu luangnya untuk mengojek online. Aduh, yang bener aja Jeng, masa menantu pengusaha Panji Hadinata datang dari kelas rendahan seperti itu."
Gigi Tania gemerutuk mendengar penuturan Adel. Wanita itu kesal bukan main.
"Oh, ya? Siapa namanya Jeng?"
"Sakti. Nggak tahu nama lengkapnya siapa, aku nggak nanya. Nggak penting juga kan? Namanya doang yang keren, Sakti," oceh Adel.
"Aslinya gimana?" Ana tak kalah antusias.
"Seperti yang aku bilang tadi Jeng, dia itu cuma pemuda miskin. Datang pakai motor butut, penampilannya udah mirip gembel pokoknya. Rupanya dia mimpi jadi mantu aku, mau hidup enak dia," Adel terus mengumpati Sakti.
'Kurang ajar kamu Adel! Lain kali akan aku buat perhitungan sama kamu. Kita lihat aja nanti, apa kamu masih bisa bermulut besar ketika mengetahui siapa anakku yang sebenarnya?' Tania mencengkeram erat gelasnya, seakan dia sedang mencekik Adel.
"Terus gimana reaksi kamu sama suamimu?" Tania berusaha membesarkan hati demi mengetahui apa saja yang Adel lakukan pada putranya.
"Suamiku orangnya itu nggak tegaan, dia sampai belain cecunguk itu. Aku rasa Mas Panji suka sama Sakti karena menurut suamiku Sakti itu dinilai sebagai sosok yang baik. Kalau aku pribadi sih ogah banget punya mantu model begituan. Amit-amit tujuh turunan, bisa sengsara kalau sampai Agni nikah sama dia," celoteh Adel.
'Dasar lampir! Awas saja, jangan panggil aku Tania kalau aku sampai tidak memberimu pelajaran.'
"Terus Jeng?"
"Ya aku usir dia lah, nggak sudi aku lihat anak itu lama-lama."
Byur!
Adel dan Ana terkesiap saat Tania menyiramkan minumannya tepat di kepala Adel.
"Jeng?" Tanya Adel menuntut jawaban. Matanya tajam menatap Tania.
"Sorry Jeng, terlalu menghayati sampai aku ikutan kesel. Harusnya Jeng Adel siram dia dengan minuman dulu sebelum mengusir Sakti," ucap Tania. Tangannya meraih beberapa lembar tisu dan sigap membersihkan tubuh Adel.
Adel dan Ana terbahak bersamaan. Tania menghembuskan napas lega, beruntung dua temannya tak mencurigai aksi pembalasan dendam yang dia lakukan atas nama anaknya.
"Iya ya Jeng, aku nggak kepikiran." Adel ikut menyeka tetesan air itu dari kulitnya. "Lebih seru lagi seandainya Sakti aku siram air. Anak itu akan pulang dengan keadaan tragis, seperti di film-film."
Terpaksa, Tania pun ikut tertawa. "Siram air aja nggak cukup Jeng. Pokoknya Jeng Adel harus kasih pelajaran yang berharga buat anak kurang ajar itu biar Sakti sadar diri. Jeng Adel kan hebat, masa anak itu dibiarkan pergi begitu saja."
"Oh ya? Selain siram dengan air, apa lagi pelajaran yang pantas untuk dia Jeng?"
Sorot mata Adel berbinar. Sungguh, Tania ingin sekali mentertawakan kebodohan wanita itu, tapi ia terlalu takut untuk mengacaukan semuanya.
"Jeng Adel beneran nggak tahu?" Tanya Tania, menguji Adel.
"Iya."
"Mau saya ajari?"
"Boleh. Buat jaga-jaga biar kalau sewaktu-waktu Sakti datang lagi mau aku berikan pelajaran yang nggak akan bisa dia lupakan seumur hidupnya karena telah lancang melamar anakku."
"Tampar dia Jeng," cetus Tania.
"Ditampar?"
"Iya, nampar pun ada tekniknya biar dia terus teringat pada Jeng Adel, biar dia nggak macam-macam sama Agni."
"Gimana caranya?"
Umpan sudah dimakan mangsa, Tania hanya perlu menggiringnya agar tangkapannya menggelepar tak berdaya.
"Masa perlu aku ajarin Jeng?"
"Ya, Jeng Tania kan jago dalam hal memberi pelajaran. Setidaknya biar bisa aku praktekkan sama Sakti," Adel menyahut.
"Baik. Mohon maaf tapi ya Jeng." Tania bersorak dalam hati.
"Ya, lakukan saja Jeng, nggak usah sungkan. Tamparan seperti apa yang cocok untuk Sakti."
Tania mengangkat tangannya di udara, mengumpulkan segenap kekuatan untuk memberi hukuman pada wanita yang telah berani menyakiti hati anak kesayangannya. Semangatnya begitu membara terlebih ketika Adel menawarkan diri untuk itu.
Plak!
Tubuh Adel terhuyung ke belakang. Ana yang sedikit panik pun bangkit untuk menahan agar tubuh Adel tak sampai terjatuh.
"Jeng, maafkan aku Jeng," ucap Tania, pura-pura panik.
Adel tak merespon untuk beberapa saat lamanya. Pendengaranya berdengung, matanya berkunang-kunang merasakan sensasi panas yang kini menjalar di sekujur tubuhnya.
***
Tania membanting pintu mobilnya. Wanita itu belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
"Puas sekali aku memberimu pelajaran wanita jahat! Berani-beraninya kau memperlakukan anak kesayanganku dengan semena-mena. Akan aku buat kau dan Agni menyesal karena telah menyia-nyiakan Sakti. Suatu hari nanti, ketika kalian tahu siapa sebenarnya Sakti, saat itulah kehancuran kalian dimulai. Akan aku beri pelajaran lagi untuk wanita materialistis seperti kalian."
Tania melajukan kereta besinya membelah jalanan Ibukota. Menikmati film romantis bersama suami tercinta ditemani secangkir latte dan sepotong red velvet cake merupakan ide bagus untuk merayakan kemenangan pertamanya.
Bersambung ....