Flora masih terpaku di tempatnya. Tak peduli sebanyak apapun dia berpikir, nyatanya kepalanya tak sanggup membayangkan semua yang telah terjadi. Kembali, ia mencoba menelisik perasaannya. Antara cintanya pada Sakti yang terang-terangan mencintai saudara tirinya, ataukah secara perlahan telah berpindah pemilik tanpa dia sadari.
Tak dapat Flora pungkiri, pernyataan Fatih kemarin sempat mengganggu pikirannya.
Pintu diketuk dengan pelan, membuat gadis itu harus mengakhiri pikirannya yang sejak tadi sibuk mengembara.
"Masuk."
"Non, Bibi mau ke mall buat belanja kebutuhan bulanan. Biasanya Non Flora mau ikut," beritahu Sri.
"Ya Bi, aku ganti baju dulu ya."
"Maaf sebelumnya lho Non, bukannya Bibi mau nyusahin Non Flora."
"Ya Bi, aku emang mau ikut, dari pada di rumah suntuk."
"Bibi tunggu di mobil sama Pak Yanto ya," pamit wanita itu.
"Siap Bi."
Flora membuka lemari, mengganti pakaiannya dengan rok jeans selutut yang dipadukan dengan atasan model shabrina warna navy.
"Mau ke mana Flo?"
Baru saja Flora ke luar dari kamarnya, musuh bebuyutannya itu sudah mencegat di di dekat anak tangga.
"Nemenin Bi Sri belanja kebutuhan bulanan, mau ikut juga?"
"Dih, ogah banget! Mending aku ke salon dari pada gabung sama kalian."
Flora mulai menuruni anak tangga.
"Flo, titip salam buat Sakti ya. Tolong kamu bantu sembuhin sakit hatinya. Penolakan mama kemarin pasti menimbulkan luka yang sangat membekas di hati Sakti, dan aku sih nggak mau ikut campur untuk yang satu itu. Cowok miskin dan nggak guna juga kan? Nggak ada manfaatnya sama sekali, yang ada malah nyusahin," oceh Agni.
Flora menghentikan kakinya, ia membalikkan badan dan menatap Agni yang berdiri di ujung tangga. Tatapan mata Agni selalu seperti itu pada orang lain, meremehkan.
"Aku udah tahu kok, kamu cuma jadiin dia sebagai pancingan aja. Kamu sengaja ngambil hati dia biar kamu leluasa nyakitin dia, tapi maaf ... Aku sama sekali nggak ada hubungannya sama dia," kata Flora.
"Masa sih? Bukannya kamu cinta ya sama dia? Nggak usah pura-pura jual mahal gitu Flo, pilihan ayah kamu nggak pernah salah lho."
"Perasaanku, itu bukan menjadi urusanmu," tandas Flora.
"Bener juga, tapi cuma mau ngingetin. Mending kamu cepet-cepet pungut dia sebelum Sakti diambil sama cewek lain, ntar kamu nangis-nangis lagi. Aku ikhlas kok, biasanya juga kamu suka mungut bekas punyaku."
"Nggak salah? Aku udah sering banget ngingetin kamu Agni, ngaca dulu sebelum bibir penuh racun itu mangap seenaknya. Bukannya selama ini kamu yang suka barang bekas? Kamu selalu mau apa yang aku punya, apapun itu, terus kamu rebut. Nggak nyadar ya? Wajar sih, kebanyakan drama makanya suka gak nyadar mana mimpi mana kenyataan."
"Flora!" Hardik Agni.
"Aku nggak budeg, nggak usah kamu teriak-teriak. Oh, ya, selamat ya karena kamu berhasil mendapatkan piala penghargaan sebagai best ratu drama of the year."
Flora tersenyum mengejek, lalu kembali menuruni anak tangga. Tak ia gubris teriakan Agni yang terus mengumpatinya.
"Masih siang tapi udah bikin mood down, emang dasar nenek lampir," gumam Flora, masuk ke dalam mobil.
"Kenapa Non?" Tanya Sri.
"Biasa, nenek lampir suka buat drama dulu, ngeselin banget," adu Flora.
"Non Flora lawan nggak?"
"Ya lah, enak aja. Kalau didiemin bisa makin ngelunjak dia."
"Bagus Non, Bibi setuju. Non Flora memang harus lawan itu nenek lampir biar dia kapok."
Mobil yang dikemudikan Yanto terus melaju. Pria tua itu diam, menyimak obrolan dua wanita beda generasi di jok belakang. Sesekali senyuman tercetak di wajahnya ketika mendengar Sri mengajari Flora jurus melawan Agni yang selalu dia panggil nenek lampir.
***
Tania memasukkan mobilnya ke dalam garasi, buru-buru dia turun, tak sabar ingin menceritakan apa yang baru saja terjadi pada sang suami.
"Bi Tum, di mana suami saya?" Secara kebetulan Tania berpapasan dengan asisten rumah tangganya yang hendak mengepel lantai teras.
"Ada di taman belakang Nyonya," jawab wanita tua itu.
"Ya udah, saya masuk ya."
"Silakan Nyonya."
Tumini melanjutkan pekerjaannya, sementara Tania mempercepat langkah menuju lokasi di mana suaminya berada.
"Pa, Papa!"
"Di sini Ma, sedang kasih makan ikan." Wisnu melambaikan tangannya.
Melihat rona wajah istrinya, Wisnu yakin telah terjadi sesuatu yang menyenangkan. Pria itu meletakkan makanan ikan, mencuci tangan dan mengajak Tania untuk duduk di bangku.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Wisnu, tak sabar.
"Sesuai dugaan Mama, Pa. Wanita materialistis itu ngata-ngatain anak kita, nggak cuma ngatain, tapi Adel juga memaki, mengumpat, berkata kasar dan mengusir anak kesayangan kita Pa," cerita Tania dengan wajah merah menahan kesal.
"Terus apa yang Mama lakuin sama dia?"
"Puas banget Mama Pa, nggak sia-sia Mama nyusun rencana buat ketemuan. Mama siram dia pakai jus, terus Mama tampar dia," lanjut Tania.
"Kok bisa, gimana ceritanya? Nanti kalau misalnya dia nyerang Mama balik gimana?" Wisnu terlihat cemas.
"Papa nggak usah khawatir, untuk melawan wanita seperti itu hanya dibutuhkan sedikit trik dan untungnya dia sangat mudah untuk dibodohi." Tania tersenyum puas.
"Syukurlah kalau Mama bisa mengatasi masalah ini, tapi masalah juga belum selesai Ma."
"Nanti kita pikirkan cara lagi Pa. Oh ya, di mana anak itu?"
"Di kamar. Habis sarapan dia mengurung diri," jelas Wisnu.
"Mama mau samperin dia dulu."
Wisnu mencegah istrinya. "Biarkan dia sendiri dulu Ma, Sakti bilang mau berpikir dan kita bisa bahas masalah ini nanti malam saja."
Tania menghembuskan napas berat. "Ya udah. Eh, Pa."
"Apa?"
"Kita jalan-jalan yuk?" Ajak Tania.
"Memang mau ke mana?"
"Belum tahu, tapi dari pada BT di rumah. Tadinya Mama mau ngajakin Papa nonton, tapi mendadak Mama berubah pikiran."
"Mama udah kayak ABG aja pakai acara BT segala, ya udah ayo."
"Sebenarnya akan lebih seru kalau kita jalan bertiga sama Sakti, pulangnya makan di restoran," usul Tania.
"Ma, biarkan dia sendiri dulu. Sakti butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Mama tahu sendiri anak itu berusaha menjaga hatinya selama belasan tahun ini, makanya nggak heran begitu ditolak dia akan sangat sedih."
"Ya udah, mau gimana lagi." Tania menggendikan bahunya.
"Nanti Papa bujuk dia ya buat lupain cinta pertamanya itu, ya ... Meskipun Papa tahu nggak akan semudah yang dibayangkan, tapi semoga saja Sakti mau mendengarkan kita kali ini. Toh, Agni benar-benar udah nolak dia," kata Wisnu.
"Mama aja sampai heran, apa yang ada dalam diri Agni yang bisa membuat Sakti sampai sebegitunya, padahal kalau Mama lihat dia itu nggak ada istimewanya sama sekali."
"Namanya cinta Ma, Mama pasti pernah denger istilah ini. Jika cinta sudah melekat, taii kucing pun dirasa cokelat, karena memang jika seseorang sudah menjatuhkan hatinya, maka dia tidak akan bisa melihat keburukan orang yang dia cintai."
"Papa puitis juga," celetuk Tania.
Keduanya tertawa bersamaan. Wisnu mulai membawa kereta besinya menyusuri jalanan yang tak pernah sepi oleh pengendara.
***
Flora membantu mendorong troli dengan satu tangannya, sementara tangan kanannya memegang kertas. Bibir tipisnya terus mengeja barang apa saja yang harus dia ambil.
"Sepertinya udah semua ya Bi?" Flora melipat kertasnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Sudah Non."
"Banyak banget ini Bi," gumam Flora.
"Nanti biar Bibi panggil Pak Yanto aja suruh naik ya, dorong troli ini sampai ke bawah kan juga capek."
"Nggak usah Bi, biar nanti aku suruh orang aja buat bantu bawain."
"Eh, padahal minta tolong sama Pak Yanto juga nggak apa-apa Non," kata Sri.
"Nggak apa-apa Bi, kasihan Pak Yantonya."
Kedua wanita itu selesai mengantre di kasir, Flora memberikan uang tip pada pegawai yang telah membantunya membawa keranjang belanjaan itu dan memindahkannya ke mobil.
Flora mengajak Sri kembali masuk ke dalam dan naik ke lantai empat.
"Kita mau ngapain Non?"
"Makan siang Bi, udah jam setengah dua juga,"jawab Flora.
"Kita kan bisa makan di rumah, Bibi udah masak banyak tadi lho sebelum berangkat ke sini."
"Sekali-kali Bi kita makan di luar."
"Bibi takut Non."
"Takut kenapa?" Flora mengerutkan keningnya.
"Takut malu-maluin Non Flora," ujar wanita tua itu.
"Ish, Bibi mah suka gitu. Udah dibilangin juga, anggap aku seperti anak Bibi, kan Bibi yang udah urus dan jagain aku sejak kecil, sejak bunda masih ada sampai sekarang. Aku sayang sama Bibi dan aku sudah anggap Bibi seperti ibuku sendiri," oceh Flora.
"Ya, kalau itu Bibi sudah tahu, tapi tetap saja, sekalipun Non Flora mengatakan pada dunia kalau aku ini ibunya Non, seluruh dunia akan mentertawakan Bibi karena perbedaan itu jelas terlihat."
"Terserah Bibi aja lah mau ngomong apa, yang jelas aku lapar."
Setengah menyeret asisten rumah tangganya, Flora membawa Sri memasuki sebuah kedai makanan cepat saji.
"Bibi duduk di sini sana aja dulu ya, biar aku pesenin. Bibi mau pesen apa?"
"Samain sama punya Non Flora aja lah," jawab wanita itu pada Flora.
"Sip."
Flora pun memesan makanan di bagian depan. Setelah mengantre agak lama, akhirnya dia membawa nampan berisi makanan itu menuju mejanya.
Brak!
"Auw! Ish, kalau jalan lihat-lihat dong Mba, jatuh kan makanan saya."
Seorang ibu paruh baya tersungkur di lantai, makanan dalam nampannya jatuh berantakan karena seorang gadis menyenggol lengannya ketika menerabas jalan.
"Tantenya aja yang jalan nggak pakai mata, makanya udah tua mendingan di rumah aja nggak usah sok-sokan pacaran kayak ABG, nyempit-nyempitin tempat aja," maki si gadis yang menabraknya tadi.
Melihat ketegangan di hadapannya membuat Flora menghentikan langkahnya, ia meletakkan nampan di meja di dekatnya yang kebetulan kosong.
"Anak zaman sekarang, nggak ada sopan santunnya. Udah tahu salah bukannya minta maaf malah nyalahin orang."
"Mulut Tante yang kurang ajar ini sepertinya perlu diberi pelajaran."
Gadis itu mengangkat tangannya di udara, tapi belum sempat mendarat di wajah si ibu, Flora sudah lebih dulu menahannya. Flora mengibaskan tangan itu dengan kasar, membuat si gadis mengaduh.
"Ngapain ikut campur? Mau jadi sok pahlawan?"
"Maaf, saya bukannya mau jadi pahlawan atau apa ya, tapi saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kalau Mba yang nabrak Tante ini. Lain kali kalau jalan di tempat umum itu matanya dipakai, jangan cuma buat lihat hape doang. Bukannya minta maaf malah nyalahin orang," omel Flora. Tangannya lantas membantu ibu yang jatuh tadi untuk bangkit dari lantai.
Gadis pengacau itu dengan gengnya pun pergi begitu saja.
"Tante nggak apa-apa?" Tanya Flora.
"Nggak apa-apa Mba, terima kasih ya udah bantuin saya."
"Ya sama-sama."
"Aduh, Tante harus antre lagi deh, makanannya hancur."
Flora memungut nampan dan membereskan beberapa makanan yang berceceran di lantai.
"Kebetulan pesanan kita sama Tante, Tante buat dua orang ya?" Tanya Flora.
"Iya, suami saya lagi terima telepon."
"Ya udah, Tante bawa ini aja." Flora menyodorkan nampannya yang tadi ia taruh di meja.
"Eh, nggak usah Mba, malah ngrepotin," tolak wanita itu halus.
"Nggak apa-apa Tante, lagian saya nggak buru-buru kok."
"Ya udah kalau gitu Tante ganti uangnya ya." Bersiap merogoh tasnya.
"Nggak usah Tante," tolak Flora.
"Yaah, kok gitu sih? Kan Tante jadi nggak enak."
"Beneran Tante nggak apa-apa. Ya udah, nih buat Tante! Saya mau antre lagi."
"Terima kasih ya Mba."
"Sama-sama Tante."
"Eh, tunggu Mba!"
Baru dua langkah, Flora membalikkan badannya ketika ibu yang baru saja di tolongnya itu memanggilnya.
"Ya Tante."
"Siapa namamu?" Wanita paruh baya itu mendekati Flora.
"Flora, Tante."
"Wah, namamu bagus sekali. Perkenalkan, nama Tante Tania."
Kedua wanita itu saling menjabat tangan.
"Senang berkenalan dengan Tante," ujar Flora.
"Tante juga. Sekali lagi terima kasih ya, Tante ke meja Tante dulu."
Flora mengangguk, senyumannya mengantarkan Tania itu hingga wanita itu duduk di mejanya.
"Lama banget Ma," tegur Wisnu.
"Ish, Papa nggak tahu sih, apa yang barusan terjadi."
"Emangnya kenapa Ma?"
"Barusan Mama ditabrak sama anak kurang ajar."
Lalu, meluncurlah cerita itu dari bibir Tania, Wisnu menyimak dengan seksama.
"Udah cantik, baik, sopan santun sama orang tua." Tania terus memuji Flora.
"Emang yang mana orangnya Ma?"
"Tadi lagi ngantre makanan." Tania mengedarkan pandangannya. "Oh, itu Pa." Menunjuk gadis yang menolongnya tadi.
"Itu yang berdua sama ibu-ibu?"
"Iya."
"Iya Ma, cantik. Kelihatan ramah juga."
"Aduh, kok Mama sesenang ini sih ketemu sama dia ya?" Wajah Tania yang berseri cukup membuktikan perasaannya saat ini.
Menjelang malam, Wisnu mengajak istrinya untuk pulang. Mereka membersihkan diri lalu mengajak Sakti untuk makan malam.
Tania menyenggol lengan suaminya, melirik Sakti yang masih murung.
"Tampan, kamu sakit?" Tania tak tahan lagi melihat keterdiaman anaknya.
Sakti menggeleng pelan, meletakkan sendoknya dan meneguk air putih dari gelas.
"Benar kata Papa, segalanya sudah berubah. Nggak seharusnya aku terpaku pada masa lalu," lirih Sakti.
"Maksud kamu?"
"Dia mungkin nggak ingat sama aku Ma, kalaupun ingat juga aku nggak yakin dia akan memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan," imbuh Sakti.
"Jadi kedepannya kamu mau gimana? Masih mau di kantor dia lagi?" Tania menatap putranya.
"Iya Ma, aku masih betah di sana. Tolong kasih aku waktu ya, toh aku juga nggak angkat tangan dengan tanggung jawabku di kantor."
"OK."
"Nah, gitu dong. Semangat Nak, masa depan kamu masih panjang."
"Ya, tapi udah kayak orang bingung aja dia Ma, padahal di kantor juga banyak cewek cantik dan berkelas, Sakti tinggal pilih mau yang seperti apa. Eh, malah keliaran di kantor orang," dumel Wisnu.
"Buat pengalaman Pa," timpal Sakti.
"Kurang pengalaman apa kamu? Lulusan universitas ternama luar negeri, pernah hidup di beberapa negara, bertemu dengan berbagai macam jenis wanita. Jangan bilang kamu belum bisa move on dari ... Siapa namanya Ma?" Tanya Wisnu.
"Agni. Namanya aja Agni, pantas orangnya panas kan artinya api," cibir Tania.
"Butuh proses Ma, Pa. Aku janji akan melupakan dia dan cari istri biar Mama sama Papa bisa gendong cucu."
"Mama pegang omonganmu ya!" Tegas Tania.
"Iya. Doain biar aku cepet ketemu jodohku Ma."
"Pasti."
Meskipun masih ada setitik rasa di hatinya, tapi Sakti telah bertekad untuk melupakan Agni. Cinta masa kecilnya mungkin memang tidak ditakdirkan untuk menjadi miliknya.
Kita tidak pernah tahu kepada siapa Tuhan menitipkan hati kita. Membiarkan tangan-tangan Tuhan bekerja menjalankan takdirNya, sementara kita hanya perlu melakoni peran kita dengan baik. Sejatinya, lelaki yang baik hanya untuk wanita yang baik, pun sebaliknya.
Bersambung ....