"Kenapa nggak pulang di rumah aja sih Nak? Kost-kostan kamu itu sempit lho, atau mau Mama cariin apartemen yang deket sama kantor Agni?"
Setelah cukup lama berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dadaa, Tania mendekati putranya yang sedang memakai alas kaki. Tepat di sebelahnya ada tas besar yang berisi baju ganti dan juga beberapa keperluan milik Sakti.
"Nggak usah Ma," tolak pemuda itu.
"Memang apalagi sih yang mau kamu cari Sayang? Bukannya hubungan kamu kemarin itu udah jelas ya?"
"Ma, ini sama sekali bukan menyangkut Agni. Aku masih mempertahankan penyamaranku sampai saat ini karena aku ingin mencari calon istri yang benar-benar tulus, mau menerimaku apa adanya. Mama kan tahu sendiri seperti apa kemarin aku ditolak. Mencari calon istri itu mudah, tapi mencari wanita yang benar-benar tulus sama kita, itu yang sulit. Aku ingin mengalami semua prosesnya Ma. Bukannya Mama bilang kalau Mama dan Papa pengen punya menantu yang bukan hanya cantik secara fisiknya saja? Aku mau cari cewek yang nggak mandang harta Ma," oceh Sakti.
"Mama jadi makin bangga sama kamu. Mama nggak nyangka ternyata kamu punya pemikiran seperti ini, padahal tadinya Mama mau jodohkan kamu sama anak temen Mama, mana tahu ada yang cocok."
"Nggak Ma! Aku bukannya nggak percaya sama pilihan Mama, tapi aku masih bisa kok cari calon istri sendiri. Ya?"
"Ya udah kalau gitu. Kita sarapan yuk, Papa udah nungguin dari tadi."
Sakti mengangguk, tak lupa dia membawa tas besarnya.
"Selamat pagi Pa."
"Pagi jagoan Papa."
"Tumben rapi banget?" Sakti menghenyakkan bokongnya di kursi.
"Iya, rencananya Papa mau ketemuan sama temen Papa. Dia itu pengusaha, jadi kita bisa sharing masalah kerjaan. Papa kan basicnya diplomat, mana tahu urusan laba rugi perusahaan, tapi Mamamu terus mendesak Papa untuk melanjutkan mengurus perusahaan kakekmu," curhatnya pada sang anak.
"Nggak beda jauh kok Pa, justru karena Papa pengalaman melobi orang, negosiasi dengan berbagai macam jenis karakter. Karier Papa sebagai diplomat aja cepat menanjak, Mama yakin Papa juga bisa mengurus perusahaan dengan baik," Tania menimpali.
"Apa boleh buat? Papa pensiun jadi diplomat karena tujuannya mau istirahat, capek menetap di luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara yang lainnya. Berharapnya sih main sama cucu aja di rumah, tapi ya sudahlah." Wisnu menggendikan bahunya.
"Doain aku biar segera ketemu jodohku Pa, agar aku bisa mewujudkan impian Papa sama Mama. Setelah aku menikah nanti, aku janji akan fokus pada perusahaan," kata Sakti.
Orang tua itu mengaminkan doa putranya. Tania memberikan roti tawar yang telah dia oles dengan selai cokelat kacang, masing-masing di piring suami dan anaknya. Tak ada obrolan lagi hingga acara sarapan bersama itu selesai. Sakti pergi dengan motornya, sedangkan Wisnu mengajak Tania berkunjung ke rumah sahabatnya.
"Sebenarnya apa lagi yang mau dicari sama anak itu sih Ma? Papa pikir setelah penolakan Agni, dia akan langsung mundur dari kantor itu dan fokus saja pada tanggung jawabnya di perusahaan."
"Dia bilang mau melanjutkan petualangannya lagi Pa," balas Tania.
"Petualangan ... Petualangan apa?"
"Petualangannya mencari calon istri. Anak itu bilang, dengan menyamar seperti sekarang dia akan bisa menemukan calon istri yang benar-benar tulus mencintainya tanpa memandang materi. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga sih Pa. Karena kalau orang tahu aslinya dia dari keluarga terpandang, bisa saja Sakti kesulitan menemukan gadis yang memang tulus cinta sama dia."
"Kali ini Papa setuju dengan pemikirannya," cetus Wisnu yang masih berkonsentrasi dengan benda bundar di tangannya. Jalanan masih macet mengingat hari masih pagi.
"Ya. Biarkan saja anak itu melakukan apa yang dia inginkan Pa, tugas kita sebagai orang tua kan hanya mendoakan, mendukung, mengarahkan dan mengingatkan jika dia salah."
"Ini yang bikin aku jatuh cinta sama kamu Ma. Kamu luar biasa," puji Wisnu.
"Mama kan juga belajar dari Papa yang bijaksana dan penuh pertimbangan dalam segala hal." Wanita itu tersenyum simpul.
***
Semenjak pertemuannya dengan Fatih tempo hari, Flora pun memulai harinya seperti biasa. Gadis itu kembali menaiki bus untuk pergi ke kantor. Miris memang, untuk apa bersusah payah berdesakkan dengan penumpang lain sementara di garasi rumahnya terdapat beberapa mobil yang dibiarkan menganggur.
Namun, terlepas dari campur tangan Agni yang memboikot semua fasilitasnya, Flora tak pernah menyesalinya sama sekali. Biarlah, setidaknya dengan hidup seperti ini dia dapat merasakan bagaimana rasanya berjuang untuk dapat bertahan hidup, sama seperti kebanyakan orang. Harta tak bisa menjamin kebahagiaan seseorang bukan?
Menyusuri lorong kantor yang masih sepi, ketukan sepatu berhak tinggi itu terdengar menggema. Dress sepanjang lutut warna hitam yang Flora padukan dengan blazer warna putih nampak begitu pas melekat di tubuhnya.
Sakti yang melihat gadis itu berjalan di depannya pun berusaha mengejar.
"Hai Flo."
"Oh, hai Kak." Menjawab sapaan pria itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Soal apa?"
Sakti teringat dengan kejadian sewaktu di kamar mandi. Keributan yang terjadi pada Flora dan Agni kala itu, juga kejadian sewaktu ia melihat Flora membantu ibu penjual asongan menyeberang jalan. Kemudian cara Agni berjalan keesokan harinya pasca gadis itu mengaku kakinya terkilir, hal itu membuat pemikiran Sakti tentang Flora yang jahat mulai terpatahkan.
"Soal yang waktu itu di kamar mandi," cetus Sakti.
Flora menghentikan langkahnya lalu menatap lekat pria di hadapannya.
"Maaf karena udah marahin kamu dan ngomong kasar sama kamu," kata Sakti.
"Nggak apa-apa kok, aku juga udah lupain soal itu. Satu hal yang perlu kamu ingat, aku ini cewek jahat."
Sakti termangu. Untuk beberapa saat lamanya dia mematung di sana tanpa menyadari jika Flora telah berjalan lebih dulu meninggalkannya.
Jika mengingat reaksi dan ucapan Sakti waktu itu, membuat Flora kembali dihinggapi sakit hati. Flora merasa Sakti begitu mudah menyimpulkan, lelaki itu bahkan tak mau mendengarkan penjelasannya.
"Flo tunggu!"
"Apa lagi?"
"Kamu berubah Flo," lirih Sakti.
"Aku?" Menunjuk dirinya sendiri. "Bukan aku yang berubah, tapi kamu," balas Flora.
"Aku pikir kita bisa berteman seperti dulu."
"Dan sepertinya kamu nggak perlu buang-buang waktu untuk berteman sama cewek jahat kayak aku. Masih banyak kok cewek yang baik yang bisa kamu jadikan teman. Agni misalnya. Meskipun lamaranmu ditolak, tapi bukan berarti kalian nggak bisa berteman kan?"
Detik berikutnya Flora membekap mulutnya, ia baru tersadar jika dia sudah kelepasan. Tidak seharusnya dia mengatakan perihal lamaran itu.
"Hm, maaf Kak. Aku nggak maksud untuk ..."
"Nggak apa-apa, aku ngerti kok."
"Sekali lagi maaf Kak, ya udah aku duluan ya."
"Kenapa kita nggak bareng aja sih?"
Belum sempat Flora mengangkat kakinya, Sakti sudah lebih dulu berujar. Mau tidak mau mereka berjalan bersisian menuju lantai tempat mereka bekerja.
Kebisuan sempat melanda. Sakti dapat merasakan Flora yang canggung berada di dekatnya.
"Apa kamu takut pacar kamu akan cemburu kalau kita jalan bersama seperti ini?"
Dengan cepat Flora menggeleng.
"Kelihatannya kamu nggak nyaman banget," imbuh Sakti.
"Biasa aja."
Keduanya kembali bungkam, hingga teriakan seseorang menghentikan langkah mereka.
"Flora!"
Vita berlari ke arah Flora. Sepatu hak tinggi tak membuat gadis itu kesulitan untuk mengejar temannya.
"Ada apa sih Vit sampai lari-lari gitu?"
"Mas Fatih di jodohin sama mamanya, semalam dia ngomong sama aku. Dia bilang dia cinta sama kamu, tapi dia juga nggak bisa menolak keinginan mamanya," beber Vita, napasnya tersengal seolah telah berlari maraton ribuan kilo.
Dengan cepat Flora membungkam mulut temannya meskipun sudah terlambat karena Sakti telah mendengarnya. Vita terperanjat, gadis itu baru menyadari adanya Sakti di sana.
"Ups! Sorry."
"Duluan ya Kak," pamit Flora menyeret temannya meninggalkan Sakti.
"Itu mulut bener-bener ya, emangnya kamu nggak lihat ada Kak Sakti apa," omel Flora.
"Maaf Flo, beneran aku syok banget, makanya aku nggak nyadar pas bilang gitu tadi. Pikiranku cuma mau kasih tahu kamu aja gitu."
"Orang segede itu kok ya nggak kelihatan, ampun deh Vita ... Vita ..."
"Iya maaf Flo."
Sakti yang sempat mendengar percakapan dua gadis di depannya pun hanya tersenyum.
'Kenapa cuma denger ginian doang hatiku mendadak bahagia banget ya? Lagian bukannya aku habis ditolak Agni, sedih iya, tapi nggak terlalu yang gimana-gimana. Huh! Kacau,' rutuknya dalam hati.
Sakti memegangi pipinya yang terasa menghangat, seiring dengan angin sejuk yang menelusup ke dalam relung hatinya. Aneh.
Flora mengajak Vita untuk duduk di dekatnya, kebetulan kubikel yang pernah ditempati Sakti masih kosong.
"Aku udah tahu Vit," kata Flora.
"Kamu udah tahu?" Vita mengernyit heran.
Flora mengangguk. "Tempo hari Mas Fatih udah cerita sama aku."
"Terus gimana dong? Aku bisa lihat kalau Mas Fatih beneran cinta sama kamu Flo."
"Ya, tapi kami udah sepakat untuk menjalani hidup kami masing-masing."
"Kenapa nggak coba berjuang sih Flo? Kalian pasangan yang serasi kalau aku lihat. Mas Fatih juga kelihatan banget cinta sama kamu," timpal Vita.
"Vit, kamu percaya kan kalau perkara jodoh, rezeki dan maut itu sudah ditentukan sama Tuhan jauh sebelum manusia itu lahir ke dunia. Kami hanya sedang bersikap dewasa untuk menjalaninya, kalau memang kami berjodoh, maka tangan Tuhan sendirilah yang akan mempersatukan kami."
Vita tak dapat berkata apa-apa lagi jika sudah begini.
"Nggak ada orang tua yang pengen anaknya sengsara Vit, begitu juga dengan mamanya Mas Fatih. Beliau pasti akan memilihkan gadis terbaik untuk mendampingi anaknya," lanjut Flora.
"Jempolan kamu Flo. Aku yakin, cowok yang bakalan jadi suami kamu akan sangat bahagia punya istri kayak kamu. Jarang ada cewek kayak kamu, memikirkan kebahagiaan orang lain terlebih dulu dan mengesampingkan perasaanmu."
"Biasa aja kali," cibir Flora, menoel pipi Vita, gemas.
"Ck, seriusan. Sakti sama Mas Fatih bakalan nyesel seumur hidup karena udah ngelepasin kamu," imbuh Vita.
Kedua gadis itu tertawa lepas. Masih ada banyak cerita yang ingin Vita sampaikan akan tetapi sayangnya jam kerja sudah lebih dulu dimulai. Vita kembali ke kubikelnya.
Jarum jam terus bergerak. Flora terus disibukkan dengan beberapa laporan yang harus dirampungkan sebelum jam makan siang.
Tengah fokus dengan komputer lipatnya, Flora mengalihkan perhatiannya begitu ponsel yang ia letakkan di meja bergetar. Sebuah panggilan masuk.
"Halo," jawab Flora.
"Apa! Bicara yang jelas!" Air muka Flora berubah menjadi berkabut ketika mendengar penjelasan seseorang di seberang sana.
"Aku ke rumah sakit sekarang."
Flora kembali mengantongi ponselnya, meraih tasnya dan pergi meninggalkan kantor begitu saja.
Bersambung ....