Sakti yang baru saja ke luar dari ruangan Agni terkejut melihat kepergian Flora yang terkesan buru-buru.
"Ada apa Flo? Kenapa buru-buru gitu?"
"Kak, tolong mintain izin sama Pak Adit, ayahku masuk rumah sakit lagi," kata Flora.
"Biar aku antar sekalian," tawar Sakti.
"Nggak usah Kak, aku bisa pergi sendiri. Lagian masih jam kantor, takutnya kamu banyak kerjaan sama Agni."
Sakti menghentikan langkahnya, menatap kepergian Flora hingga gadis itu lenyap di balik pintu besi alat angkut yang membawanya ke lantai dasar.
"Sakti."
"Iya Bu?" Membalikkan badannya, menatap wanita yang hingga detik ini masih juga bersikap seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Jangankan sekedar mengklarifikasi, meminta maaf atau menyinggung perkara lamaran kemarin pun Agni seolah enggan. Dia yang semula sering menghubungi Sakti melalui pesan, atau terkadang video call, benar-benar memutus hubungan pasca kejadian itu.
Sakti memaklumi jika Agni mulai menjaga jarak dengannya, tapi apa harus dengan cara seperti ini juga?
"Saya minta laporan tadi harus sudah selesai sebelum jam makan siang karena rapat akan dimulai jam satu nanti," ujar Agni.
"Siap Bu!"
Keduanya kembali berbicara formal, benar-benar seperti dua orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya. Sakti kembali ke mejanya dan mulai membuat laporan yang diminta Bu Bossnya.
'Maaf ya Sakti, kamu nggak masuk kriteria suami idamanku. Sebenarnya kamu cowok yang baik, tanggung jawab dan kamu bikin aku nyaman, tapi maaf ... Aku belum siap hidup sengsara.' Agni berlalu dari sana.
***
Flora berlari menyusuri koridor rumah sakit. Dia sampai hafal letak ruang IGD karena sering menyambangi rumah sakit itu setelah beberapa kali ayahnya keluar masuk bangsal pesakitan.
"Mama, ayah kenapa Ma?"
Wanita paruh baya yang sejak tadi tertunduk lesu di kursi tunggu, menoleh.
"Mana Agni? Kenapa dia tidak ikut? Anak itu benar-benar ya, padahal udah Mama kabari dia."
"Aku nggak tahu Ma, mungkin dia masih sibuk. Gimana ceritanya ayah bisa pingsan Ma?"
"Salah Mama Flo, Mama lagi teleponan sama temen arisan Mama dan Mama nggak denger waktu ayahmu manggil Mama."
"Ya ampun Ma."
"Semoga ayahmu nggak apa-apa ya?"
"Keluarga pasien atas nama Pak Panji." Seorang pria bersnelli keluar dari ruang pemeriksaan.
"Saya istrinya Dok, bagaimana keadaan suami saya?"
"Pasien hanya mengalami memar di kepala dan juga bahu, beruntung Ibu cepat membawanya ke mari, jika tidak, maka dikhawatirkan akan dapat memperburuk kondisinya," jelas dokter itu.
"Syukurlah." Flora menghembuskan napas lega.
"Pasien bisa langsung pulang setelah infusnya habis. Lain kali tolong lebih dijaga lagi ya mengingat pasien mengalami stroke ringan, bisa saja itu dapat memperburuk kondisinya jika pasien kembali mengalami kejadian serupa," terang dokter itu lagi.
"Terima kasih Dok."
"Kalau begitu saya permisi dulu karena masih harus visit pasien."
Adel dan Flora langsung menuju bangsal pesakitan Panji.
"Ayah, Ayah nggak apa-apa?"
"Kamu nggak apa-apa Mas?"
"Nggak apa-apa, cuma masih pusing sedikit," jawab Panji.
"Ayah bikin aku cemas," cicit Flora.
"Nggak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan. Ayah baik-baik aja."
"Ya udah, sebaiknya sekarang kamu istirahat aja Mas."
"Terus nanti gimana acaranya?" Tanya Panji.
"Acara apa Yah?" Flora menatap ayahnya penuh tanda tanya.
"Rencananya Ayah sama Mamamu mau adain pertemuan untuk mengenalkan Agni sama anak temennya Mamamu."
"Oh, soal perjodohan itu?"
"Iya. Sekarang Agni dulu ya, nanti begitu urusan Agni selesai, Mama akan carikan jodoh buat kamu," ujar Adel.
"Nggak usah Ma, aku masih menikmati masa-masa ini."
"Ayahmu sudah pengen gendong cucu, bukan hanya dari Agni, dari kamu juga."
"Jodoh nggak akan ke mana Ma. Maaf, tapi aku nggak tertarik dengan perjodohan."
Panji menatap istrinya sekilas.
"Ya udah nggak apa-apa. Mungkin lain waktu kamu berubah pikiran," kata Adel.
Flora duduk di kursi tunggu, menunggu infus Panji habis yang kemungkinan akan memakan waktu hingga dua jam ke depan.
Drrttt ... Drrttt.
Flora terkesiap. Tangannya bergerak meraih ponsel yang sejak tadi tersimpan rapi dalam tasnya.
Gimana kondisi ayah kamu?
Sebuah pesan yang dikirim Sakti padanya. Flora mulai mengetik balasan.
Ayahku baik-baik aja.
Flora kembali mendapat balasan tak lama setelah pesan yang dia kirim telah bercentang biru.
Syukurlah. Apa perlu dirawat?
Untungnya nggak, dokter mengizinkan ayah pulang setelah infusnya habis.
Semoga ayahmu lekas sembuh ya.
Aamiin, terima kasih doanya.
Semangat. Tulis Sakti yang diimbuhi emoticon senyum.
Flora memasukkan kembali benda itu ke dalam tasnya.
"Flo," panggil Adel.
"Ya Ma." Mendekati wanita paruh baya itu.
Satu hal yang membuat Flora tetap menaruh hormat pada ibu tirinya. Adel memang terkesan jahat dan seringkali mendukung putrinya melakukan hal-hal yang bertentangan dengannya, tapi di sisi lain Adel masih memiliki sisi baik. Wanita paruh baya itu akan berubah menjadi jahat hanya jika berada di bawah tekanan Agni.
"Kamu cari makan ya buat kita, Mama udah lapar banget."
"Emang Mama mau makan apa?"
"Ayam geprek atau apa ajalah yang pedes-pedes," pinta Adel.
"Ya Ma."
Adel mengeluarkan dompetnya dari dalam tas.
"Nggak usah Ma, aku masih ada uang kok," tolak Flora.
"Ya udah."
Flora mengayunkan kakinya, kebetulan di seberang rumah sakit terdapat satu cabang restoran makanan cepat saji. Beberapa ruko juga berjajar di sepanjang jalan.
Sambil menunggu pesanannya jadi, Flora kembali berselancar dengan ponselnya. Gadis itu pun kembali ke rumah sakit usai membayar makanannya.
Cuaca cukup terik siang itu, Flora mempercepat langkahnya, tak ingin panasnya matahari membakar kulitnya.
"Flora."
Gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita paruh baya yang ia kenal sedang berdiri di koridor rumah sakit dengan didampingi lelaki yang Flora perkirakan merupakan suami wanita itu.
"Tante," sapa Flora.
"Akhirnya kita ketemu lagi," celetuk wanita itu yang tak lain adalah Tania.
Flora mengambil tangan wanita itu dan menciumnya dengan takzim, pun dengan tangan Wisnu.
"Pa, kenalin. Ini Flora, yang waktu itu Mama ceritain," kata Tania.
"Flora." Menjabat tangan Wisnu, menyebutkan namanya.
"Wisnu, saya suami dari wanita yang sudah kamu tolong waktu itu. Saya ucapkan terima kasih ya sudah menolong istri saya," ucap Wisnu, tulus.
"Sama-sama Om."
"Istri saya banyak cerita tentang kamu setelah kejadian di restoran waktu itu. Dia terus memujimu."
"Tante berlebihan," ucap Flora, malu-malu.
"Nggak lah, kamu memang gadis yang baik," Tania menimpali.
"Oh, ya. Omong-omong kenapa Tante sama Om ada di sini?"
"Mau jenguk temennya si Om, Flo, mendadak temennya kena serangan jantung," jelas Tania.
"Oh, begitu." Flora mengangguk, paham.
"Kamu sendiri?"
"Lagi jagain ayah saya Tante," balas Flora.
"Ayah kamu sakit?"
Flora mengangguk. "Ayah jatuh dari ranjang, Tante."
"Ya Tuhan, kok bisa?"
"Ayah saya terkena stroke ringan Tante, sehari-harinya hanya duduk di kursi roda," jelas Flora.
"Hm, Tante turut prihatin ya. Coba aja Tante ada waktu, pasti Tante mampir," kata Tania.
"Nggak usah Tante, ayah udah boleh pulang setelah infusnya habis kok."
"Syukurlah kalau gitu, salam buat orang tua kamu ya."
"Ya Tante."
"Kalau gitu, Tante sama Om pamit dulu."
"Silakan."
"Semoga kita bisa ketemu lagi ya," seloroh Tania sebelum berlalu dari sana.
"Ya Tante."
Mereka pun berpisah.
"Benar kata Mama, anaknya ramah," cetus Wisnu.
"Ya kan? Mama aja langsung jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia. Kesannya gimana gitu, adem kalau lihat dia," sahut Tania.
***
Flora tampil mempesona dengan gaun hitam sepanjang lutut yang membalut tubuh semampainya. Surai panjangnya ia biarkan tergerai dengan sedikit hiasan di bagian samping kepala.
Menatap pantulan diri di depan cermin, memastikan jika penampilannya telah sempurna, Flora meraih clutch dengan warna senada sebelum meninggalkan kamarnya.
"Agni, udah kelar belum? Udah ditunggu Mama sama Ayah di bawah." Flora mengetuk pintu bercat cokelat itu.
"Iya bentar." Dari dalam kamar Agni menyahut.
Tak seperti biasanya, kedua gadis itu nampak akur, meskipun tak bisa ditebak berapa lama hal itu akan bertahan.
"Udah siap Sayang?"
"Udah Yah, ayok berangkat sekarang," ajak Agni.
Flora dan Adel membantu Panji masuk ke dalam mobil, sementara Agni sudah berada di depan kemudi. Sengaja mereka tak menyuruh Yanto untuk menyetir karena kemungkinan acaranya akan memakan waktu yang lama nanti.
"Kita ke restoran yang Mama bilang tadi ya!" Titah Adel pada putrinya.
"Siap Ma."
Mobil mulai melaju di jalan utama. Agni mengemudi dengan kecepatan sedang.
"Nggak usah gugup gitu Sayang, ini cuma acara pengenalan dulu. Kalau semisalnya kamu nggak suka pun kamu masih bisa mundur," kata Adel.
"Ya Ma."
Petugas valet parking mengambil alih kunci dari tangan Agni. Keluarga besar itu pun menuju sebuah private dinning room yang telah direservasi teman Adel.
Flora mendorong kursi roda ayahnya, Adel menggandeng lengan putrinya berjalan di depan.
"Halo Jeng, maaf telat ya. Udah nunggu lama?"
Suasana dalam ruangan itu mendadak heboh. Sepasang suami istri beserta seorang anak gadis cantik telah duduk menunggu. Flora mulai mencari-cari keberadaan calon suami yang akan dijodohkan dengan saudara tirinya itu.
Setelah saling bercipika-cipiki, masing-masing dari mereka duduk di kursi.
"Mas, ini temenku, namanya Lidya dan suaminya Mas Bowo."
Panji membungkuk hormat sambil menyalami dua orang itu.
"Kalau gadis manis ini namanya Fahira, putri kedua mereka," imbuh Adel.
Gadis bernama Fahira itu mencium punggung tangan Panji dan Adel bergantian.
"Jeng Lidya, ini anak kedua saya, namanya Flora. Kalau yang pakai baju merah ini yang akan dijodohkan sama anak Jeng Lidya," terang Adel.
"Saya nggak nyangka lho Agni secantik ini, kalau yang ini siapa namanya?"
"Flora, Tante." Flora membungkuk sopan sambil memasang senyum.
"Berarti Nak Flora ini adiknya Agni?" Tanya wanita bernama Lidya itu.
"Ya, mereka cuma selisih satu tahun," jawab Adel.
Mereka pun terlibat obrolan yang seru dan menyenangkan. Panji sibuk berbincang seputar bisnis dengan Bowo, sementara Adel dan Lidya pun asyik membahas mengenai putra putri mereka. Flora mengobrol kecil dengan Fahira, sementara Agni memilih memainkan ponselnya.
"Tunggu sebentar lagi ya Jeng, anak saya emang gila kerja. Udah saya suruh untuk jangan lembur, tetep aja ngeyel," seloroh Lidya.
"Nggak apa-apa Jeng, jiwa muda memang suka menggebu-gebu dalam segala hal. Lebih baik jika dia menghabiskan waktunya untuk hak positif seperti bekerja, dari pada terbuang percuma," Adel menimpali.
"Ya juga sih."
Cukup lama dua keluarga itu saling berbaur, hingga akhirnya yang dinantikan datang juga. Pintu terkuak, sesosok pria muncul.
Pandangan semua orang tertuju pada sosok itu, tak terkecuali dengan Flora. Sementara mata Agni terlihat berbinar, Flora tersenyum getir menyadari sosok pria yang saat ini ada di hadapannya.
Bersambung ....