Sudah lima belas menit mereka meninggalkan kawasan padat penduduk tempat Rindang tinggal sebelumnya, namun di dalam sedan putih itu tak ada suara selain hembusan napas dan isak tangis yang susah payah Rindang tahan. Tepat di sebuah lampu merah, Ian menolehkan pandangannya pada sang sahabat yang duduk di kursi co-pilot, wajah Borne terlihat kaku, jelas menahan emosi. “Bu...” tegur Ian. Ia menoleh ke kursi penumpang di belakangnya. Rindang tak menjawab, hanya menatap Ian dengan mata sembabnya. “Kita ke rumah sakit dulu ya? Visum,” ujar Ian lagi. “Kita ga tau ke depannya Bu, setidaknya kita siap dengan bukti yang kuat.” Rindang mengangguk, mengiyakan pendapat dan nasihat Ian. “Apa Ibu mau Ian wakilkan sebagai wali hukum Ibu?” “Ibu ga punya uang, Nak,” isak Rindang. “Ga apa-apa.