Bab 3. Rasa Bersalah

1683 Kata
Happy Reading Silvia menatap pantulan dirinya di cermin butik, wajahnya tampak sedikit berbeda pagi itu. Ada semburat lembut di pipinya, dan senyum samar yang muncul tanpa ia sadari. Bayangan semalam masih jelas di kepalanya — bagaimana Juna menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam, begitu hangat, dan matanya memancarkan cinta, perasaan yang selama ini tidak pernah Silvia bayangkan bisa dia dapatkan dari pria yang sudah dia cintai hampir dua tahun itu. Ia memejamkan mata, mengingat setiap detik kebersamaan mereka semalam di apartemennya. Segalanya terasa seperti mimpi — perasaan yang selama ini ia pendam sendiri akhirnya pecah. Dan malam itu, batas di antara mereka runtuh. Mereka sama-sama tahu seharusnya itu tak boleh terjadi — Juna akan segera menikah, dan Silvia pun sudah dijodohkan dengan Andra — tapi hati mereka terlanjur memilih. Sejak Juna memeluknya malam itu, Silvia tahu tak akan mudah melupakan pria itu. Ada sesuatu di pelukan itu yang membuatnya merasa hidup lagi, setelah sekian lama terjebak di antara kewajiban sebagai anak dan harapannya yang lama sirna. “Bu, ini kain yang kemarin udah datang mau langsung disusun?” tanya Reni memecah lamunannya. “Oh, iya, Ren. Susun aja di rak kaca besar ya.” Silvia berusaha bersikap biasa, tapi sesekali senyumnya muncul lagi, tak bisa ditahan. Pegawainya sampai saling pandang, heran melihat bos mereka yang pagi itu tampak lebih ceria dari biasanya. Setelah melayani pelanggan dan memastikan butik beres, Silvia melihat jam tangannya. Hampir jam dua belas. Dia sudah janji mau makan siang di lokasi syuting sahabatnya, Shasha. Sejak Shasha menikah, Silvia sudah tak lagi menjadi manajernya. Kini dia lebih fokus ke butik, meski hubungan mereka tetap dekat seperti saudara. Ia baru saja menutup pintu butik saat ponselnya berdering. Nama di layar membuatnya terdiam. Andra. “Silvia, aku udah di depan apartemen kamu,” suara itu terdengar familiar tapi terasa berat di d**a. Kening Silvia berkerut. “Kamu udah balik dari Australia?” “Iya. Baru aja tadi pagi. Aku pengin ketemu kamu dulu sebelum ke rumah Mama.” Silvia menarik napas panjang. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul. Semalam ia bersama Juna… dan kini pria yang dijodohkan dengannya datang menemuinya. “Hmm, aku lagi mau ke lokasi syuting Shasha. Kalau mau, kita ketemu di sana aja.” “Oke. Kirim lokasinya, ya.” Begitu panggilan berakhir, Silvia terdiam di trotoar, menatap ponselnya lama. Angin siang berembus lembut, tapi d**a terasa sesak. Ia tahu ini salah. Tapi hatinya menolak untuk pura-pura tidak merasakan apa-apa. *** Di lokasi syuting, Shasha menyambutnya dengan pelukan hangat. “Silvia! Kamu kok cantik banget hari ini? Lagi jatuh cinta, ya?” candanya. Silvia tersenyum kecil, mencoba menutupi wajahnya yang mungkin terlalu mudah dibaca. “Enggak kok, cuma lagi senang aja. Butik lagi rame, jadi banyak energi positif.” “Hmm,” Shasha menatapnya curiga. “Senang atau lagi mikirin seseorang, nih?” Silvia terkekeh kecil. “Dasar kamu. Aku nggak mikirin siapa-siapa.” Shasha mengangkat alis. “Yakin?” Sebelum Silvia sempat menjawab, ponselnya bergetar. Sebuah pesan muncul di layar. Juna: Aku baru selesai dari rumah sakit. Gimana kabar kamu? Aku kangen. Jantung Silvia berdegup pelan. Ia menatap layar itu lama sebelum akhirnya mengetik balasan. “Aku lagi di lokasi syuting Shasha, ada Andra juga." Pesan terkirim. Beberapa detik kemudian, balasan datang cepat. Juna: “Andra? Kamu serius? Setelah semalam?” Silvia memejamkan mata. Ia tahu Juna pasti terluka membaca jawabannya. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Semalam adalah sesuatu yang seharusnya tak terjadi. Sesuatu yang indah tapi juga salah. Shasha yang memperhatikan perubahan wajah Silvia langsung mencondongkan tubuh. “Kamu kenapa? Ada masalah?” Silvia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata lirih, “Andra mau datang ke sini, boleh kan?" “Calon suamimu?" Silvia menunduk. “Sha… aku nggak mencintai dia.” Shasha menatapnya, raut wajahnya berubah serius. “Terus kenapa kamu masih terus jalanin?” Silvia menghela napas panjang. “Karena semuanya udah diatur keluarga. Aku terlalu lelah buat melawan.” “Sil, kamu harus jujur sama diri sendiri,” ucap Shasha lembut. “Kalau kamu terus pura-pura bahagia, kamu yang paling tersiksa.” Silvia menatap sahabatnya, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia tak bisa bicara jujur. Shasha tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Juna, padahal sebulan lagi Juna akan menikah dengan Vanessa. Ponselnya bergetar lagi. Juna: “Silvia, aku nggak nyesel sama yang terjadi semalam. Aku sayang kamu. Tapi kalau kamu milih dia, aku nggak bisa maksa. Cuma… jangan pura-pura nggak punya perasaan, ya.” Silvia menutup ponselnya pelan, matanya basah. Shasha yang melihat itu hanya bisa diam, tak tahu apa yang membuat sahabatnya begitu rapuh siang itu. Dari kejauhan, Andra muncul. Senyumnya tenang, langkahnya santai seperti biasa. Silvia langsung menghapus air matanya dan berdiri, memaksakan senyum yang nyaris tak sampai di matanya saat Andra melihatnya. “Silvia!” panggil Andra hangat. Ia berjalan mendekat, sementara Shasha menatap sahabatnya penuh tanya. Silvia tersenyum kecil, tapi dalam dadanya, semuanya bergejolak. Cinta yang datang di waktu yang salah, janji yang terlanjur dibuat untuk orang lain — dan hati yang kini tak tahu lagi harus berpihak pada siapa. Satu hal yang ia tahu pasti, semalam mengubah segalanya. Dan mulai hari ini, hidupnya tak akan pernah sama lagi. *** Langkah Andra terhenti tepat di depan mereka. Udara siang itu terasa hangat, tapi suasana di antara mereka justru agak kaku. Ia menatap Silvia lama sebelum akhirnya berkata dengan nada lembut, “Kamu kelihatan capek. Aku ganggu, ya?” “Enggak, kok. Aku emang udah rencana ke sini makan bareng Shasha.” Silvia berusaha menampilkan senyum senormal mungkin, padahal jantungnya terasa berdentum keras. Shasha, yang tak peka dengan ketegangan di antara keduanya, dengan cepat menyela, “Kalian duduk aja, aku pesenin makanannya, ya. Di depan sana ayam bakarnya enak banget.” Andra mengangguk sopan, lalu menatap Silvia. “Kamu yang penting makan, jangan cuma minum kopi kayak biasanya.” Nada perhatiannya terdengar hangat, tapi bagi Silvia, setiap kalimat itu seperti beban kecil yang menumpuk di d**a. Semalam, ia baru saja membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang ia tahu tak boleh tumbuh. Bersama Juna, dia telah menyerahkan yang paling berharga. Dan kini, pria yang dijodohkan untuknya duduk di depannya, menatap dengan penuh ketulusan. Silvia menarik napas pelan. Dunia seperti mempermainkan hatinya hari itu. Shasha kembali dengan salah satu pelayan warung makan, membawa tiga piring makanan dan minuman dingin. “Nah, ini dia. Kalian pasti lapar. Aku sih nggak bisa makan banyak, takut diomelin tim wardrobe.” Andra tertawa kecil, suasananya sedikit mencair. “Kamu artis yang disiplin banget, Shasha. Silvia sering cerita kalau kamu bawel urusan makan.” “Bawel demi kebaikan!” sahut Shasha bangga. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang ngurusin dia?” Silvia hanya tersenyum, tapi tidak banyak bicara. Ia menatap piringnya, memotong ayam perlahan, sekadar menjaga agar tangannya tidak gemetar. Sesekali pandangan Andra jatuh ke arahnya. Ia memperhatikan setiap gerak kecil Silvia — cara wanita itu menunduk, caranya menahan senyum, bahkan tatapan matanya yang terlihat jauh. Seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. “Andra,” kata Shasha, membuka percakapan, “jadi kamu sekarang udah balik buat tinggal di sini lagi, ya?” “Iya,” jawab Andra, meletakkan sendoknya pelan. “Proyek di luar negeri udah selesai. Aku rencana mulai kerja di kantor baru minggu depan. Jadi... ya, aku udah bisa lebih sering ketemu Silvia.” Shasha menatap ke arah sahabatnya sambil tersenyum menggoda. “Wah, bagus donk." Silvia hanya tersenyum simpul, sedangkan Andra pun mengangguk bahagia. Mereka bertiga kembali makan. Suara alat makan beradu dengan piring jadi satu-satunya yang terdengar. Tapi di dalam kepala Silvia, pikirannya jauh—terbang pada seseorang yang lain. Di sela hening itu, ponselnya bergetar di tas. Ia melirik diam-diam. Pesan dari Juna lagi. Juna: “Aku masih di rumah sakit. Tapi dari tadi nggak bisa fokus. Aku kangen kamu, Sil.” Napasnya tercekat. Ia menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya membalas singkat. Silvia: “Aku lagi sama Andra.” Jarinya bergetar saat menekan tombol kirim. Ia tahu pesan itu akan menyakitkan bagi Juna, tapi kalau tidak dikirim, mungkin dirinya yang akan tenggelam lebih dalam. Silvia buru-buru mematikan layar. Ia tak ingin Shasha atau Andra melihat perubahan di wajahnya. Tapi dadanya terasa panas. Penuh sesak. Andra memperhatikan raut wajah Silvia yang tiba-tiba berubah. “Ada apa?” tanyanya pelan. “Enggak, cuma pesan butik,” jawab Silvia cepat. “Pegawai kamu?” “Iya, mereka kirim laporan stok bahan.” Andra mengangguk, tapi matanya tetap menatap dalam. Ia tahu Silvia menyembunyikan sesuatu, tapi memilih diam. Makan siang itu terasa panjang. Shasha terus berusaha mencairkan suasana dengan candaan ringan, tapi tatapan Andra pada Silvia kerap membuatnya salah tingkah. Ada rasa bersalah yang terus menghantui—pada Andra yang tulus, dan pada Juna yang kini mungkin sedang terluka karena satu pesan singkat darinya. Begitu makan selesai, Shasha berdiri sambil meregangkan tubuh. “Wah, perutku udah kenyang banget. Aku balik dulu ke set, ya. Kalian ngobrol aja dulu.” Silvia langsung menahan. “Enggak usah, Sha, aku juga bentar lagi balik.” “Tunggu aja lima menit,” potong Shasha santai, lalu berlalu sambil melambaikan tangan. Kini hanya mereka berdua. Andra menatap Silvia lama, lalu bersandar di kursi. “Kamu kelihatan beda, Sil. Ada yang berubah dari kamu.” Silvia menelan ludah. “Beda gimana?” “Aku nggak tahu... cuma ngerasa kamu kayak... jauh. Dulu kamu selalu cerita apa aja ke aku, tapi sekarang... entah kenapa aku ngerasa kamu nutup diri.” Silvia menghindari tatapannya, menatap taman di belakang mereka. “Maaf. Aku cuma... lagi banyak pikiran.” Andra mengangguk pelan. “Aku ngerti. Tapi kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendirian, ya? Aku di sini, Sil.” Suara itu tulus, dan justru karena itulah hatinya semakin remuk. Ia mengangguk pelan tanpa berani menatap balik. Dan dalam keheningan itu, ponselnya kembali bergetar—sekali lagi dari Juna. Tapi kali ini, Silvia tak membuka. Ia hanya menggenggam erat ponsel itu di bawah meja, sementara matanya menatap kosong ke arah langit yang mulai berawan. Hatinya penuh—antara cinta yang tak boleh tumbuh dan hubungan yang tak bisa ia tolak. Dan untuk pertama kalinya, Silvia benar-benar merasa terjebak di antara dua dunia, yang satu menjanjikan ketenangan, dan yang lain membuatnya merasa hidup. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN