Bab 2. Semakin Merasa Bersalah

1157 Kata
Happy Reading Pagi itu setelah menghabiskan waktu bersama Silvia, Juna memutuskan pulang ke apartemennya. Ia membuka pintu dengan langkah ragu, pikirannya masih penuh oleh senyum dan tatapan Silvia. Hatinya hangat sekaligus gelisah. Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok Vanessa sudah duduk manis di sofa, sambil menatap layar ponselnya. Wanita itu langsung berdiri begitu Juna masuk. "Kamu kemana aja, Jun? Aku nunggu dari tadi," sapa Vanessa dengan senyum tipis. Juna terdiam sejenak, menelan ludah. Ia ingin jujur, ingin mengatakan semuanya, tapi lidahnya kelu. Rasanya dadanya sesak. Pandangan matanya sempat kosong sebelum akhirnya ia tersenyum kaku. "Tadi… ada pasien emergency, jadi agak lama," jawabnya singkat. Vanessa berjalan mendekat, menggenggam tangan Juna. "Oh iya, aku mau ingetin. Hari ini kita harus ke WO, lihat menu catering. Mama udah minta aku konfirmasi pilihan kita." Juna mengangguk pelan, meski di wajahnya tidak ada semangat sama sekali. Begitu Vanessa kembali duduk di ruang tamu, Juna melangkah masuk ke kamarnya dengan langkah berat. Pintu kamar ia tutup pelan, lalu tubuhnya jatuh di tepi ranjang. Ia menunduk lama, menatap lantai tanpa fokus, seolah sedang mencari jawaban yang tidak kunjung ia temukan. Kepalanya dipenuhi bayangan Silvia—senyumnya saat sarapan tadi pagi, hangatnya pelukan, bahkan tatapan matanya yang membuat hati Juna merasa benar-benar dimiliki. Semua itu seperti racun manis yang membuatnya tak bisa berpaling. Namun, rasa bersalah menekan dadanya. Vanessa. Wanita yang sudah ia janjikan masa depan, yang kini tengah menunggu di luar dengan sabar, tanpa tahu bahwa hatinya sudah bukan lagi milik Juna. “Kalau gue jujur sekarang… gue bakal nyakitin dia habis-habisan,” gumam Juna lirih, menutup wajah dengan kedua tangannya. “Tapi kalau gue terusin… gue bakal nyakitin diri gue sendiri." Hatinya terasa tercerai-berai. Rasanya semakin sulit untuk bernapas hanya dengan membayangkan kata-kata "Aku ingin membatalkan pernikahan ini." Juna bangkit perlahan, membuka lemari, dan menarik kemeja putih bersih. Tangannya sempat terhenti saat menyentuh kain itu. Dalam hatinya ada suara yang terus bertanya—untuk apa semua ini, kalau bukan dengan orang yang ia cintai? Dengan gerakan malas, ia melepaskan pakaian rumah yang masih ia kenakan, lalu mengenakan kemeja. Setiap kancing yang ia pasang terasa seperti beban baru yang menjerat dadanya semakin kuat. Pandangannya kosong saat ia menatap pantulan dirinya di cermin—sosok pria yang seharusnya bahagia karena akan segera menikah, tapi justru tenggelam dalam kebimbangan. Dari ruang tamu, suara Vanessa terdengar samar, ia sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. Nada bicaranya ringan, penuh semangat, seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Juna memejamkan mata, merasa semakin bersalah. “Maaf, Nes…” batinnya berdesis. “Lo nggak salah apa-apa, tapi hati gue… udah milik orang lain.” Ia menghela napas panjang, merapikan kerah kemeja, lalu meraih jas hitam dari gantungan. Dengan wajah datar yang dipaksakan, ia membuka pintu kamar dan melangkah kembali ke ruang tamu. Vanessa menoleh, tersenyum senang. “Pas banget, Jun. Aku udah selesai teleponin mama. Yuk, kita berangkat.” Juna hanya mengangguk, menahan gejolak dalam hatinya, lalu berjalan menuju pintu bersama Vanessa. Namun di dalam dadanya, nama Silvia terus bergaung, membuat setiap langkahnya terasa semakin berat. --- Juna berjalan berdampingan dengan Vanessa menuju parkiran. Sepasang mata itu, milik wanita yang akan segera menjadi istrinya, begitu jernih dan penuh semangat. Tapi bagi Juna, sorot mata itu terasa seperti beban. Vanessa masih menggenggam lengannya ketika mereka sampai di mobil. Ia tersenyum, menepuk pelan lengan Juna. “Tadi mama sudah mengatakan menu apa yang harus kita pilih." Juna hanya mengangguk. Ia segera masuk ke kursi pengemudi, sementara Vanessa duduk di sampingnya. Mesin mobil menyala, suara lembutnya memenuhi kabin, namun keheningan di antara mereka terasa menekan. Hanya suara AC yang terdengar, sesekali bercampur dengan tarikan napas berat Juna. Di pikirannya, bayangan Silvia kembali datang. Senyum itu. Tatapan itu. Hangat tubuhnya di pelukan tadi malam. Dan kenyataan bahwa Silvia telah menyerahkan segalanya padanya membuat hati Juna semakin bergetar hebat. Ia tak mungkin bisa berpaling lagi. Sementara itu, Vanessa memperhatikan Juna dari samping. Wajah pria itu terlihat letih, matanya kosong, bibirnya tertutup rapat. Vanessa menggenggam tangannya yang ada di tuas persneling, mencoba mencairkan suasana. “Kamu beneran capek ya? Dari tadi diam terus,” ujar Vanessa dengan nada lembut. Juna melirik sekilas lalu kembali fokus ke jalan. “Iya, agak capek. Pasien banyak akhir-akhir ini.” “Hmm…” Vanessa mengangguk pelan. Tapi di hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, meski lelah, Juna tetap bisa bercanda atau minimal tersenyum padanya. Kali ini berbeda—seperti ada tembok tinggi yang memisahkan mereka. Perjalanan itu terasa panjang. Juna lebih sering tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara Vanessa sesekali mencoba mengajak bicara, namun selalu berakhir dengan jawaban singkat dari Juna. “Aku kepikiran menu dessert, yank. Lebih baik pilih puding atau cake? Soalnya kalau cake bisa dipotong bareng pas acara, romantis kan?” Vanessa berusaha menyalakan percakapan. “Terserah kamu aja, Nes. Kamu yang lebih ngerti,” jawab Juna datar. Jawaban itu membuat Vanessa sedikit mengernyit. Ia menoleh, memperhatikan wajah tunangannya dengan cermat. Ada yang salah, ia bisa merasakannya. Tapi entah kenapa, ia memilih untuk tidak langsung bertanya lebih jauh. Setelah beberapa menit keheningan, Vanessa menarik napas dalam. “Jun, sebenernya kamu bahagia nggak sih sama persiapan kita ini?” Pertanyaan itu membuat Juna terdiam. Tangannya yang menggenggam setir mengencang, matanya menatap lurus ke depan. Hatinya terasa ditusuk. Bahagia? Jawaban itu sederhana, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya menjawab singkat, berusaha menutupi gejolak batinnya. “Bahagia, Nes. Aku cuma lagi capek aja.” Vanessa tersenyum kecil, meski di hatinya ada perasaan ganjil. “Oke. Aku percaya. Tapi jangan dipendam sendiri kalau ada yang kamu rasain ya. Aku tunangan kamu, Jun. Kamu bisa melibatkan aku.” Juna hanya mengangguk tanpa suara. Dalam hatinya, ia merasa semakin bersalah. Bagaimana bisa ia membiarkan Vanessa begitu percaya, padahal di balik itu semua, hatinya sudah bukan miliknya lagi? *** Sesampainya di WO, suasana kembali terasa berat. Vanessa dengan penuh semangat membicarakan menu, dekorasi, dan detail-detail kecil. Sementara Juna hanya duduk, tersenyum tipis, mengangguk sesekali, tanpa benar-benar memperhatikan. “Aku suka banget yang ini,” kata Vanessa menunjuk menu seafood. “Kamu gimana, Jun?” “Bagus,” jawab Juna singkat. Vanessa menatapnya lama, lalu tersenyum hambar. “Kamu beneran dengerin nggak sih?” Juna terdiam sejenak, lalu menatap Vanessa. “Aku dengerin, Nes. Maaf, aku cuma lagi nggak fokus.” Vanessa menghela napas. “Iya, aku ngerti. Kamu capek.” Namun dalam hatinya, Vanessa mulai bertanya-tanya. "Kenapa rasanya kayak aku ngomong sama orang asing?" Selesai urusan di WO, Vanessa mengajak Juna makan malam. “Sekalian aja, Jun. Udah sekalian keluar, aku lapar banget.” Tapi Juna menggeleng. “Maaf, Nes. Aku ada jadwal kontrol pasien malam ini di rumah sakit. Aku harus ke sana sekarang.” Vanessa terdiam sejenak, menatap wajah Juna, lalu tersenyum tipis. “Oke. Aku nggak mau ganggu kalau itu urusan pasien. Hati-hati ya.” Juna hanya mengangguk, mencium kening Vanessa sekilas—gestur yang selama ini biasa ia lakukan. Namun kali ini terasa hambar. Vanessa menatapnya pergi, dadanya terasa kosong. Jun… kenapa aku merasa kamu semakin jauh? pikirnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN