Kenapa kata-kata Siti terus terngiang-ngiang di pikirannya. Mau Siti mencari sugar daddy dari lelaki lain pun bodo amat. Bukan urusannya juga kan. Tetapi kenapa sampai saat ini Regan terus kepikiran.
Mencoba mengenyahkan hal yang tak penting Regan kembali fokus pada pekerjaannya. Gara-gara Siti semuanya jadi berantakan. Memang bocah tengik itu benar-benar membuat hari-hari nya selalu sial.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat Regan beralih. Tatapan lelaki itu menatap ke arah pintu. Lalu membuka suara untuk menyuruh seseorang itu masuk. Tidak menunggu lama sekretaris seksinya Vani menyembul dari balik pintu lalu melangkah menuju meja kerjanya dengan sopan.
"Sore Pak. Agenda untuk malam ini bapak ada jamuan makan malam dengan Pak Riko."
Regan hanya menganggukan kepala untuk menanggapi ocehan sekretarisnya. Lalu mengisyaratkan Vani agar lebih dekat dengannya.
Seolah mengerti, dengan senyuman menggoda Vani bergerak terduduk di atas pangkuan Regan. Sebenarnya mereka sudah terbiasa dengan keintiman ini bahkan lebih. Ketika sedang penat seperti ini, mungkin sedikit bermain-main dengan sekretarisnya akan membuat pikiran Regan tenang. Tidak terus memikirkan ocehan Siti yang unfaedah.
Baru saja Regan ingin meraih bibir Vani ke dalam mulutnya tiba-tiba suara ponsel mengejutkan mereka. Regan melirik ponselnya yang menyala dan mereka bertatapan sejenak.
"Angkat dulu Pak," ucap Vani membuat Regan menyerah.
Lekaki itu langsung meraih ponselnya, namun keningnya tiba-tiba mengernyit melihat nomor tidak di kenal muncul di layar ponsel.
Meskipun cukup bingung dengan siapa yang menelpon Regan tetap mencoba untuk menerimanya. Siapa tahu client penting.
"Halo."
"Om."
Suara ini? Wajah mengerut Regan terlihat. Kok terasa familiar.
"Siapa ini?"
"Siti Om."
Mendapat jawaban bahwa si penelpon adalah Siti sosok yang sedari tadi coba Regan singkirkan dari pikirannya. Membuat Regan mendengus kesal. Untuk apa gadis itu menelponnya? Dan dari mana dia tahu nomor ponselnya?
"Kamu dapat nomor ini dari siapa?" tanya Regan dengan nada kurang menyenangkan.
Gadis itu menjawab. Dari nada suaranya terdengar bergetar. Kenapa dengan bocah tengik itu?
"Siti dapat dari Tuan Bara Om."
Sialan! Lelaki itu. Padahal ia sudah mewanti-wanti untuk tidak menyebarkan nomor ponselnya. Dengan seenak jidat Bara malah memberikannya pada Siti.
"Ada apa kamu menelponku?"
"Om tolong Siti."
"Kamu kenapa?"
"Siti tadinya mau ketemu sama sugar daddy yang dikenalin temen Siti. Tapi Siti ndak suka. Om bisa tolongin Siti ke sini. Aki-aki itu terus paksa Siti. Siti takut Om."
"Aki-aki? Kamu sekarang ada di mana?"
"Di toilet Om. Siti ndak berani keluar."
Refleks Regan malah menyingkirkan tubuh sekretarisnya begitu saja dari atas pangkuan setelah mendengar pengakuan Siti lalu berdiri dari duduknya.
"Sudah kukatakan kan. Jangan aneh-aneh kamu ini ngeyel ya!" Regan memarahi Siti dengan suara kerasnya. Isak tangis Siti mulai terdengar.
"M-maafkan Siti Om."
Regan menghela napas. "Kenapa kamu gak minta tolong sama Bara?"
"Siti ndak mau Tuan Bara tau. Nanti Siti dimarahin."
Regan memijit pelipisnya. Semakin pusing kenapa gadis ini selalu mengganggu waktunya. Jika tidak ditolong Regan tidak akan tahu akhirnya seperti apa. Bisa saja Siti berakhir terkoyak di atas ranjang pria tua hidung belang. Dan Bara akan memenggal lehernya karena tidak menolong gadis bocah itu.
"Yasudah sebutkan alamat tempat yang kamu datangi sekarang dan tunggu di sana aku akan segera datang. Jangan keluar dari toilet sebelum aku bilang sudah sampai di sana."
"B-baik Om. Siti ada di tempat yang namanya Club Queen gitu Om."
Regan mendengarkan dengan serius alamat tempat yang Siti datangi lalu mengumpat keras karena itu.
"Kamu kenapa mau-mau aja diajak ke club?"
"Siti ndak tau di ajak ke sini Om."
"Otak kamu emang dungu kebangetan. Sudah jangan nangis. Tunggu di sana, jangan keluar dari toilet."
"B-baik Om."
Regan memutuskan panggilan dan bergegas menyambar kunci mobil. Meninggalkan sekretarisnya yang hanya bisa melongo menatap atasannya yang berlalu begitu saja keluar dari ruangan.
Tidak biasanya pak Regan mengacuhkannya seperti ini?
***
Regan berjalan tergesa memasuki club yang bising. Bahkan ini masih belum terlalu malam. Masih sore tetapi penghuni di dalam sudah terlihat lumayan ramai. Regan melirik ponselnya. Memanggil kontak yang tadi Siti gunakan untuk menelepon.
"Halo Om."
Suara Siti terdengar masih bergetar.
"Kamu masih di toilet?"
"Iya, Om."
"Sekarang keluar. Aku sudah sampai di club."
"Siti ndak berani Om. Nanti aki-aki nya paksa Siti lagi."
Hembusan kesal lagi-lagi terdengar. Apa bocah ini gila? Mana bisa ia menyelamatkan nyawa Siti jika bocah itu tidak keluar dari toilet. Merepotkan saja. Tidak hanya kakaknya sekarang ia malah di repotkan dengan tingkah adik Ratna yang dungunya sampai ke tulang.
"Siti bagaimana caranya aku menolongmu jika kamu saja bersembunyi di toilet. Kamu mau aku di sangka tukang c***l sama penghuni club gara-gara kamu? Cepat keluar sekarang!"
Bentakan kesal Regan membuat Siti mau tidak mau harus menuruti perintah lelaki itu.
Siti bergegas keluar dari tolilet. Sedangkan Regan sudah menunggunya di dekat toilet wanita.
***
Hening, Siti melirik wajah Regan yang sedang fokus mengemudi. Sedikit takut karena sedari tadi lelaki itu tidak berbicara lagi setelah berhasil menyeret tubuh Siti keluar dari club dan memasukannya dengan paksa ke dalam mobil ini. Siti simpulkan Om Regan saat ini tengah marah padanya.
"Om maafkan Siti. Siti ndak tau akan seperti ini."
Tidak ada suara. Regan masih menatap jalanan tanpa minat. Namun urat di lehernya yang menegang menandakan bahwa lelaki itu benar-benar tengah kesal padanya.
"Om," ucap Siti lagi tidak mau terus diacuhkan seperti ini.
Regan menghembuskan napasnya kasar. Ia melirik Siti dengan delikan mata tak suka.
"Sudah kubilang kan jangan aneh-aneh. Pake acara mau cari sugar daddy segala. Yang ada tuh kamu liat sendiri kan aki-aki bangkotan yang lagi nyari mangsa. Kamu di bilangin ngeyel."
Siti terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Merasa bersalah karena sudah membuat lelaki di sampingnya kerepotan karena tingkah laku dirinya.
"Siti hanya ndak mau merepotkan Mba Ratna Om, jadi Siti pikir mencari sugar daddy adalah pekerjaan yang paling Siti butuhkan."
Regan menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan otak Siti yang begitu polos sekaligus menyebalkan.
"Sekarang apa kamu masih mau cari sugar daddy? Kamu liat sendiri kan tadi bagaimana pekerjaan sugar baby. Memuaskan hasrat aki-aki. Masih mau cari sugar daddy lagi?"
Siti menatap Regan. Meskipun lelaki itu terlihat tampan dengan setelan jas kantor yang melekat di tububnya. Tetapi tetap saja lelaki itu cukup menakutkan ketika sedang marah.
Regan fokus menghadap jalanan di depan. Sedangkan Siti masih memikirkan kata-kata Regan. Sebenarnya Siti tidak mau orang lain. Ia maunya Om Regan.
Lelaki ini tampan, sama kaya dengan suami kakaknya, dan Om Regan juga tidak pernah berani berbuat seperti yang tadi aki-aki itu ingin lalukan padanya.
Mungkin jika Om Regan mau jadi sugar daddy hidup Siti tidak akan repot seperti ini lagi.
Siti mulai bersuara, mengejutkan Regan dari fokusnya.
"Om kali ini saja tolong Siti. Om jadi sugar daddy Siti ya Om. Ndak hanya nemenin Om jalan-jalan Siti juga mau kok di jadiin tukang masak, beres-beres, dan mengurusi semua keperluan Om. Asal Om mau jadi sugar daddy Siti."
Mendengar itu Regan hanya menghembuskan napas lelah. Lelah dengan semua ocehan Siti yang tidak ada untungnya untuk didengar. Yang ada telinganya berdengung sakit. Sangking tak masuk akalnya permintaan bocah sialan ini.
"Jika pekerjaanmu seperti itu apa bedanya dengan pembantu. Kamu bisa bekerja jadi pembantu saja sana di rumah orang lain."
"Tentu beda Om. Karena gaji pembantu dan sugar baby beda. Lebih besar menjadi sugar baby. Dan Siti maunya sama Om ndak mau sama orang lain."
"Siti... Kamu gak ngerti ya, aku bilang tidak ya tidak."
Regan menghentikan mobilnya. Kini Siti menyadari bahwa mereka telah sampai di depan rumah megah milik kakak iparnya.
"Sekarang kamu keluar. Ratna pasti sedang khawatir nyariin kamu."
"Om jadi sugar daddy Siti ya."
Masih tidak menyerah. Regan refleks menatap Siti dengan tatapan kesal. Tangan lelaki itu menggebrak stir mobilnya dengan kasar. Terlalu kesal dengan tingkah Siti yang menyebalkan.
"Memangnya apa yang bisa kamu berikan jika aku jadi sugar daddy mu? Ingat Siti pekerjaan sugar baby setara dengan bayaran yang diberikan. Jika kamu hanya bisa jadi pembantuku untuk apa aku menjadi sugar daddymu. Tidak ada untungnya sama sekali."
Siti terdiam. Meremas tangannya dan mengingat kembali apa yang Diana katakan tadi siang. Pekerjaan sugar baby memang tidak sesederhana itu.
Regan berdecih melihat Siti bungkam tanpa kata. "Lebih baik kamu keluar. Dan stop menyuruhku untuk menjadi sugar daddy mu karena itu tidak mungkin."
Regan melepas seatbelt nya. Bermaksud untuk keluar membuka pintu mobil. Ingin menyeret Siti masuk ke dalam rumah dan mengadukan semuanya pada Bara. Namun belum sempat hal itu terjadi tiba-tiba Regan di kejutkan dengan sentuhan tangan Siti di bahunya.
Regan berbalik, ingin menepis tangan gadis itu hanya saja kedua mata Regan terlebih dulu terbelalak lebar saat tanpa diduga ia malah merasakan bibir Siti dengan berani menempel di bibirnya.
Sesaat Regan terpaku, baru kali ini ia merasakan bibir gadis yang jauh lebih kecil dari usinya.
Sedetik kemudian Siti mulai melepaskan kecupan, lalu berucap sambil menundukan kepala.
"Siti akan berikan bibir Siti kalau Om mau jadi sugar daddynya."
Dan yang bisa Regan lakukan sekarang hanya terdiam dengan jantung yang hampir meluncur jatuh.
"A-apa?"