Terseret-seret gue ngekor di belakang si Bos. Tangan gue sibuk memasukkan ponsel dan barang-barang dalam tas gendong. Sengaja gue tinggalin tas selendang pemberian Vira di kantor dan gue bawa tas gendong gue. Lumayanlah, barangkali ada sisa makanan yang harus dibawa.
"Bos kok diam? Sorry deh, saya salah ngomong ya?"
"Enggak."
"Terus kenapa diam? Kan gak enak jadinya. Emang mulut saya suka gini, remnya blong."
Dani menoleh, apalagi ini?
"Baru nyadar ya? Kalo mulut kamu itu remnya blong?"
"Bukan nyadar lagi, emang gak ada remnya. Kan bukan motor, haha."
Muka Dani ditekuk lagi. Dih, doyan amat merajuk, dikira gue emaknya apa? Bodo ah, yang penting makan dulu.
Kami sampai di sebuah restoran cukup besar. Dan duduk di salah satu meja kosong.
"Bos boleh pesan sekarang?"
"Iya, emang kamu mau pesen kapan? Tahun depan?"
Dih, ketus amat nih orang, pantes gak laku-laku.
Malas berdebat akhirnya gue inisiatif pesen sendiri. Rasakan pembalasanku, mwehehe.
Gue pesen porsi 3 kali lipat lebih banyak dari tempo hari. 1 ekor ikan gurame bakar ukuran 1 kg, 5 potong ayam bakar dadakan, cah kangkung 2 porsi, 3 porsi udang goreng tepung, satu bakul nasi putih. Hah, puas gue!
Senyum gue mengembang saat pesanan datang. Si Bos masih anteng dengan dunia ponselnya.
"Bos, makanannya udah datang."
"...."
"Bos, keburu dingin nih!"
"...."
"Bos, makan chat-an gak bakalan kenyangin perut!"
Eh busyeet! Budek amat ya nih orang?! Harus pake cara ini. Gue mendekat, wajah gue tepat di telinga si Bos yang autisnya lagi kambuh.
"HATCHI!!!!"
"EH BURIK!! MANA BURIK!!!"
"Sorry, Bos, lagi flu dadakan nih, duh, kaget ya? Hehe," ucap gue dengan memasang cengiran ampuh.
Dani mengelus d**a, jantungan dah dia! Syukurin! Orang ngomong tuh didengerin bukannya dikacangin! Bikin kesel aja!
"Kamu...argh! Sudah, makan saja!"
Gue mengangkat bahu dan mulai menyerbu satu persatu menu yang udah di atas meja.
"Lah, kok malah bengong? Napa Bos? Kaget ya? Makan tuh harus gini, biar sehat, kuat juga. Kebanyakan ya? Bos bawa uang kan? Udah janji lho, saya ditraktir!"
Dani malah menahan tawa. Kenapa nih orang?
"Kenapa, Bos? Tadi lihat saya kayak pengen nerkam. Eh sekarang kok malah nahan ketawa, awas Bos, jangan ditahan, ntar jadi kentut malah malu-maluin saya lagi."
"Hus! Kamu tuh kalo ngomong jangan asbun! Saya yang malu!"
"Malu kenapa? Bener kan? Kalo Bos kentut saya yang malu, mana di tempat makan lagi, apalagi kalo kentutnya yang gede, bau tuh pasti!"
Dani bangkit dan membekap mulut gue. Kenapa dia?
"Diam kamu," ucapnya tanpa melepas bekapan tangannya di mulut gue, lalu menoleh ke semua pengunjung restoran "maaf Tuan, Nona, silahkan makan lagi," Dani melotot ke arah gue, "jangan bikin saya malu, makan aja!"
Menatap sekeliling, benar juga. Kami jadi tontonan gratis di restoran itu. Semua menatap kami, ah, tepatnya menatap gue aneh atau... jijik?
Daripada memusingkan mereka lebih baik fokus ngabisin nih makanan semeja.
"Bos, kok gak makan?"
"Nanti saja, saya belum lapar," ucapnya sambil mengaduk minuman jusnya.
Bodo ah, terserah lo Parjo! Lapar di jalan baru tahu rasa!
Waduh, menu di meja masih ada setengah ikan gurame sama 2 potong ayam bakar. Masih mau sih, tapi nih perut udah gak muat kayaknya. Serasa mau meledak.
"Kenapa? Ayo habiskan!"
"Bawa pulang aja, ya? Boleh?"
"Hh! Ngapain? Kalo kenyang ya udah, kita pulang, saya ke kasir dulu."
Asem! Masa makanan sebanyak ini mau ditinggal sih? Kan mubadzir! Sebelum si Bos kembali, gue melambaikan tangan ke salah satu pelayan.
"Kenapa, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?"
Senyum gue mengembang. Rezeki mujur nih, "tolong bungkusin semuanya ya? yang cepet, saya buru-buru."
"Baik, Mbak. Ada lagi?"
"Gak ada, makasih."
Tak sampai menunggu lama, pelayan tadi sudah membungkus rapi sisa makanan di atas meja. Buru-buru gue jejalkan kresek itu dalam tas gendong.
Beberapa menit kemudian, Dani datang. Ia juga membawa kantong kresek besar di tangannya. Kali aja buat emaknya di rumah.
Dengan hati gembira, gue menyambut Bos terhormat dengan senyum terbaik, iyalah, kalo habis mentraktir gini mah harus dibaikin kan? Biar traktir gue lagi, hehe.
"Ngapain kamu cengengesan?"
"Ah, enggak. Emang gak boleh tersenyum dikit?"
"Senyum kamu aneh."
"Emang gue eh saya alien apa?" Dih, baru aja dipuji, udah ngeselin lagi. Heran gue, kenapa dulu Si Vira sempet suka sama nih anak.
"Pikir saja sendiri," ucapnya sambil pergi menuju parkiran mobil.
Anjay! Gue diduga alien! Andai punya pentungan, pengen gue getok kepalanya dari sini. Mana ninggalin lagi! Emang kampret durjana!
Gue mendelik sebal sambil naik ke mobilnya. Setelah di dalam, mata gue melirik ke arah bungkusan kresek besar di kursi belakang. Penasaran, sumpah!
Mobil Dani berhenti di depan sebuah gang kecil. Ya, berhubung gue belum gajian, jadi gue masih tinggal di kost kecil nan sempit.
Gue turun dari mobil dan membawa tas gendong yang bertambah berat.
Eh, kok Si Bos ikut turun sih? Jangan bilang mau nebeng nginap juga?
"Bos, kok ikut turun?"
Dani menghela nafas, "kamu ya? Ada atasan nganterin kamu pulang kayak gini, bukannya disuruh mampir, malah turun dari mobil aja gak boleh."
"Eh, bukan gitu, Bos. Kan gak biasanya?"
Dani gak jawab. Dia lalu mengeluarkan kresek besar itu. Kok gue GR ya? Semoga aja GRnya nyata.
Gotcha!
Benar ternyata, tangan Dani terulur memberikan bungkusan kresek itu. Dengan sigap gue ngambil, tapi masih ditahan Dani.
"Kok gak dikasih? Buat saya, kan?"
"Iya, tapi gak gratis!"
Spontan gue lepasin pegangan gue dan menatap ngeri ke arah kresek penggoda perut.
"Haha, phobia amat sama yang bayar!"
"Kayak gak ngerti aja, saya belum punya uang, Bos! Ini kan mau masuk tanggal tua, isi dompet saya udah sepi!"
"Oke, ini buat kamu, sebagai bayarannya, kamu temenin saya ke rumah Vira."
"Apa?! Ke rumah Vira? Ngapain?"
"Ya ketemu Vira lah!"
Gue menggeleng cepat, yang benar saja, si Gilang bisa memutilasi gue kalo bawa Dani ke rumahnya.
"Gak ah, ntar saya diterkam Gilang, lagi!"
"Ck, bukannya kamu pernah cakar dia?"
Yah, dia inget lagi. Gue emang pernah ceritain kalo Gilang pernah jadi korban kebrutalan tangan gue. Maksudnya sih, biar Si Bos gak semena-mena ama gue.
"Iya, dulu, waktu Gilang salah, saya berani, tapi kalo saya yang cari gara-gara mah, ogah ah, apalagi Vira kan sobat saya satu-satunya."
"Tenang saja, saya bukan pebinor."
"Apaan tuh?"
"Perebut bini orang."
"Ahaha, baguslah kalo Bos nyadar. Makanya jangan kesana."
"Saya diundang."
"Ha? Acara apaan?"
"Saya heran, kamu kok bisa ya jadi sekretaris saya? Acara saya aja kamu lupa."
"Emang ada gitu acara ke rumah Vira?"
Dani merogoh saku celananya. Ia lalu mengeluarkan ponselnya. Dan memperlihatkan chat dari Vira yang masuk ke nomornya.
Ternyata undangan ulang tahun pernikahan Vira dan Gilang. Kok gue gak diundang ya?
Dani menatap sekilas, "kamu juga diundang. Katanya tadi nelpon kamu, tapi gak diangkat."
"Ha? Bentar, saya cek dulu." Tangan gue merogoh isi tas lebih dalam. Sial, gue simpen ponsel terlalu dalam, ketimbun sama kresek makanan dari restosan tadi.
Dani menatap aneh pada isi tas gue yang penuh, "kamu nyolong apa dari kantor saya?"
"Sembarangan nuduh! Ini bukan nyolong! Ini namanya menyelamatkan!"
"Menyelamatkan apa maksud kamu?"
Gue menghembuskan nafas kesal, "baiklah, ini sisa makanan yang tadi di restoran, jadi daripada dibuang, mending diselamatkan dan dibawa pulang."
"Sudah saya bilang, jangan bawa makanan sisa!"
"Ini masih ada dagingnya kok, Bos! Udah ah, jangan protes, udah nyampe rumah juga."
Gue gak jadi ngambil ponsel. Keburu BT denger ocehan Bos kucluk.
"Ya udah, besok jam 7 malam kamu berangkat bareng saya."
"Iya, Bos!"
"Eh, ada satu hal lagi."
"Apalagi sih, Bos?"
"Nanti, pas di rumah Vira, berpura-puralah menjadi kekasih saya."
"Apa?! Gak-gak, saya gak mau! Bohong ama temen sendiri tuh gak enak!"
"Kamu peduli sama saya?"
"Lo, eh, kamu, eh, Anda Bos saya! Gak ada alasan buat gak peduli."
"Baiklah, kamu mau bantu saya buat buktiin ke Vira dan Gilang kalo saya sudah move on?"
"Dengan jadi pacar pura-pura?"
Dani mengangguk.
"Kayak di sinetron aja!"
"Ayo, mau gak? Saya tawarkan gaji kamu dua kali lipat dari kontrak awal."
"Beneran?"
"Iya, mau ya?"
Busyet! Gila! Rezeki nomplok di depan mata! Baim zeneng ya Allah!
"Oke, deal. Apa yang harus saya lakukan di depan Vira?"
"Kamu hanya mengiyakan semua perkataan saya. Dan jangan protes atas semua yang saya lakukan sama kamu nanti. Karena itu hanya akting."
"Oke, hanya akting. Siapa takut?"
Fulus kembali mulus, uhuyyy!!!