Raila - 7

1249 Kata
Ruangannya udah rame banget. Gilang kayaknya gak tanggung-tanggung bikin perayaan ulang tahun pernikahannya dengan Vira. Sampe semua kolega bisnis yang sama mengundang diundang. Gak nyangka sih, Gilang yang dulunya Si kampret dengan muka dingin sekarang udah jadi bucin akutnya Vira. Emang ya, cinta tuh mengubah segalanya. Meski wajah keren Gilang masih bertahan, tapi sekarang dia lebih ramah sama orang. Menarik udah tahu cara menyapa orang duluan. "La, ini dong! Kok diem disitu aja sih?" "Iya, bentar, gue lagi nyari si Bos dulu, kemana ya dia?" "Dani?" "Iya, siapa lagi." Vira nyamperin sambil menggendong putri kesayangannya. "Cie .. Yang udah punya pacar, dicariin melulu," ucap Vira sambil menoyor bahu gue. "Diem lo! Gue cuman pengen ijin nebeng di rumah lo doang." Dan ya, itu benar. Gue jantan pulang sama Dani. Anak itu nyebelinnya gak ketulungan. Dan lagi, gue pengen cerita banyak sama sama Si Vira, itu hubungan kami tuh cuma bo'ongan. "Eh, jangan, La. Ntar Dani marah lho? Kan dulu lo yang bilang kita gak bisa durhaka ama laki-laki, ya gak?" "Njir, jahad lo! Lagian gue bukan bininya si Dani." "Kan calon, sama aja." "Bedalah, gue ngikut ya? Tidur di gudang juga gak masalah gue, yang penting gak pulang sama dia. Resek banget orangnya." "Lo kenapa sih? Alergi banget sama pacar sendiri juga." "Ya bukan gitu, cuma ya, laki-laki lagi aja. Ini lagi, sepatu ribet banget, lama-lama gue bisa menyeleo tahu ?!" Vira memegang tawa. Sial, dia ngetawain! "Ketawa jangan dipindahkan, Non. Ntar pecah dari belakang lho!" "Bwahaha, pantesan muka lo mengenaskan kayak gitu. Gegara sepatu rupanya?" "Ho'oh. Emang kampret si Dani. Nyuruh gue pake baju kek ginian lagi, udah gitu, sepatunya bikin kaki gue kram. Nyiksa tahu!" "Kan itu juga buat lo, biar tampak lebih cantik gitu." "Cantik apaan? Yang ada gue kedinginan gini," tepat setelah gue bilang gitu, tiba-tiba sebuah jas hinggap di badan gue. Menutupi lengan dan punggung gue yang terbuka. "Lo kedinginan?" Anjrit! Bukannya itu Satria?! Temen gue masa SMA dulu?! Seminggu yang lalu dia kirim gue chat yang bikin jantungan. "Lo... Satria kan? Hei! Apa kabar, bro!" Satria tersenyum lebar. Njir, makin kinclong aja nih anak. "Gue baik, lo sendiri gimana?" "Yah, agak mending dari yang lo kenal dulu. Sejak Vira nyemplungin gue jadi sekretarisnya Dani, hidup gue mendekati normal." "Tapi lo seneng kan gue cemplungin? Dapat gebetan pula." "Diem lo, Vir. Gebetan gak jelas dari dunia antah barantah." Satria diam. Chat dari dia belum gue balas. Moga aja dia gak salah faham. "Ahaha, eh gue tinggal dulu ya? Laki gue manggil tuh. Nikmati pestanya ya?" Ucap Vira sambil berlalu dari hadapan gue dan Satria. "Haha, lo masih kayak dulu ternyata." "Apanya? Melaratnya? Kan gue bilang udah agak mendingan." "Bukan, tapi sifatnya. Masih lucu kayak dulu." "Ah, lo bisa aja. Dikira gue dedek bayi apa? Dibilang lucu segala." "Beneran kok. Eh, lo kayak tersiksa gitu sama sepatunya?" "Ho'oh. Banget ini, kaki gue sakit banget." Tiba-tiba Satria jongkok dan melepas sepatu j*****m yang melekat di kaki gue. "Eh, apa-apaan? Ngapain lo?" "Gue mau melepaskan penderitaan lo aja. Gimana? Enakkan?" Gue menghentak-hentakkan kaki yang udah sukses lepas dari sepatu laknat itu. "Lumayan sih, agak pegel dikit. Thanks ya." "Oke, gak masalah. Mau nyari udara segar?" "Kemana?" "Keluar sambil ngobrol-ngobrol, udah lama kita gak ketemu." "Bentar, gue mesti lapor Bos dulu. Bisa kena pinalti gue." "Haha, oke, tapi lo yakin mau nyari Bos lo tanpa sepatu kayak gitu?" Pandangan gue turun pada kaki yang menyedihkan ini. Diam sejenak. Bener juga, ntar dikira orang aneh kan? "Bodo amatlah, terserah Dani mau potong gaji gue juga. Udah pengen kabur dari tadi." "Siapa yang mau kabur?" Alamak!! Suara itu, Dani!! Bos kampret yang telah bikin gue tersiksa kayak gini. "Gini lho, Bos. Maksud saya, saya tuh pengen pulang." Mata Dani melotot ke arah jas yang bertengger di badan gue. "Sejak kapan kamu saya ijinkan pake jas?" "Ha? Apa? Ini.." kacau! Satria juga cuma diam. Ngomong kek, kerjaan gue lagi di ujung tanduk nih! "Ini jas saya, dia kedinginan. Maaf, apa Anda atasan Raila?" "Ya, merangkap pacarnya juga." Gue meringis. Dih, nafsu banget aktingnya sih, Bang? "Oh, pacarnya? Benarkah? Anda sudah mengenal Raila kan?" "Oh, tentu saja. Saya sangat mengenal pacar saya. Ya kan sayang?" Jawab Dani sambil merangkul bahu gue. Kok gue merinding ya? Gue meringis lagi. Mesti jawab apa coba? Mata Dani sedikit melotot, dan dengan segenap rasa keterpaksaan gue mengangguk, "iya, ehehe." Satria tersenyum kecil. "Saya harap Anda tahu kebiasaan Raila. Dia tidak terbiasa dengan baju kurang bahan dan sepatu hak tinggi. Mohon untuk diperhatikan." "Anda siapa?" "Saya? Tanyakan saja pada Raila. La, gue duluan ya?" "Oh iya, Sat. Ini jas lo," ucap gue sambil membuka jas yang beberapa detik lalu sempat menghilangkan rasa dingin. "Gak usah, lo pake aja. Gue gak mau lo masuk angin." "Ah, ya. Thanks, eh--" busyet! Dani dengan kasar membuka jas yang gue pake lagi. Apa-apaan sih dia?! "Maaf, pacar saya gak mau. Jangan dipaksa!" Ujarnya sambil menyimpan jas di bahu Satria. Selepas Satria pergi, buru-buru gue melepaskan diri dari rangkulan Dani. "Akting Anda gak lucu, Bos!" Dani diam. Rahanghya mengeras. Kenapa dia? Kerasukan kah? "Bos, kok diem? Ngerasa salah ya? Makanya aktingnya biasa aja, jangan kayak kebakaran jenggot begitu." Dani menarik nafas dalam berkali-kali. Lalu tangan gue ditarik pergi. "Eh, Bos mau kemana? Woi! Tangan ini, bukan tambang domba, maen tarik aja! Anjir gak didenger gue!" Bener-bener deh, gue sepanjang jalan ngumpat juga dia masih mingkem. Sumpah, tangan gue sakit banget! Dia masukin badan gue ke mobil dengan paksa. "Kalem Bos! Napa sih? Lagi datang bulan ya? Kan bisa ngomong, biasanya juga berisik. Gak usah misuh-misuh gak jelas dong!" Dani menutup pintu mobil dengan kasar. "Kamu! Ya, kamu bikin saya marah hari ini." "Kenapa? Salah saya apa, Bos?" Asli kok, gue gak ngerasa salah! Baju kurang bahan udah gue pake. Sepatu laknat itu juga udah gue pake meski sekarang gue lepas. Itu kan karena kaki gue sakit juga. "Oh, kamu gak ngerasa ya?" "Dih, marah gak jelas, alesannya saya yang salah? Masa sih? Salahnya di mana Bos?" Dani diam. Ia nampak berpikir. Lalu mengerjap beberapa kali. "Itu... yang tadi itu siapa?" "Apa? Jangan bilang kalo Bos cemburu?!" "Apa? Saya? Cemburu sama kamu? Big no!! Selera saya tentang wanita cukup bagus. Kamu tomboy, sedangkan saya suka yang lembut. Kamu juga gak rapi sedangkan saya suka yang..." "Dia temen saya waktu SMA." Potong gue. Kesel sih, walau gak suka sama gue, ya gak usah nyebutin kurang gue apa. Kampret memang! Dan setelah penjelasan tentang Satria terucap. Dia malah kayak kelihatan lega, lalu tertawa lepas. Gila kali ya? "Bwahaha, ternyata benar. Mana mungkin!" "Apa? Napa ketawa? Apanya yang lucu? Yang mana mungkin itu apa?" "Haha, saya kira cowok tadi mantan kamu. Tebakan saya benar. Mana mungkin pria itu suka sama kamu." "Seneng banget ya?" "Begitulah, haha, aduh sampe sakit perut saya." Gue diam sejenak. Ingatan gue melayang pada Satria. Cowok itu pernah ngungkapin perasaannya seminggu yang lalu. Lewat pesan di w******p sih, tapi belom gue jawab. Perkataan Dani tentang gak mungkin Satria suka sama gue, jadi kepikiran. "Berarti kalo dia nembak saya, cuma bohongan?" Ucap gue pelan sambil mikir. "Apa kamu bilang?" "Namanya Satria. Dia seorang dokter. Seminggu yang lalu mengungkapkan perasaannya sama saya." Dani langsung diam. Wajahnya kembali tegang. "Ka-kamu terima?" "Belum sih, lagi mikir-mikir dulu. Apalagi Bos bilang dia gak mungkin suka sama saya kan?" "Sebaiknya jangan diterima," ucap Dani pelan. "Lho, kenapa?" "Saya gak mau akting kita ancur gara-gara hubungan kamu. Apalagi Oma sudah menyetujui kita. Tuntaskan dulu akting kita." "Sampai kapan?" Dani diam. Lalu menghela nafas berat, "sampai saya jatuh cinta lagi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN