Sableng memang, proklamasi hari berpacaran di depan Nenek Dani bikin gue jantungan. Apa Dani lupa ya, perjanjiannya kan cuman depan Vira doang, kenapa di depan Neneknya juga mesti pura-pura?
Wajah Si Nenek juga udah mangap-mangap gak karuan. Kaget kali.
"Kamu gak bercanda kan, Dan?"
"Enggak, kok. Ya kan sayang?"
Njir! Baru proklamasi beberepa detik yang lalu udah berani dinilai sayang.
"Waduh, gimana jawabnya ya? Aduh! Eh, iya!"
Jahanam Si Bos !! Kaki gue diinjek! Dani mendelik tanpa sepengetahuan Omanya. Diaktifkan, akting dimulai. Awas aja kalo janjinya naikin gaji gue 2 kali lipat gak ditepati.
Mata Nenek berubah jadi laser yang memperbarui sekujur badan. Lihat selengkapnya gue.
"Napa, Nek?"
"Apa cucu aku rabun ya?"
"Ha? Maksudnya?"
"Apa yang disuka dari kamu? Cantik sih, tapi jorok. Gak rapi pula. Pinter enggak, licik iya. Mana doyan makan lagi. Terus gak tahu malu juga."
"Oma! Udah dong, kalo Oma kayak gini lagi, ntar Raila juga bisa pergi. Oma ihat pengen cepet punya cucu mantu."
"Ya tapi kan lebih dulu kamu bawa Vira, dia cantik, rapi, cerdas. Lah ini? Malah lebih parah."
Dani menghela nafas, "Vira juga Oma tolak kan? Sebelum aku diterima sama dia."
Andai ngumpat ke orang tua dibolehin, pengen rasa dinilai, ' monyet! Aing oge teu hayang ka incu maneh ', (monyet, gue juga gak mau sama cucu lo).
Tapi itu gak boleh, sesablengnya gue tetep sama orang tua kudu hormat, ya kan?
"Gak papa kok, emang begini saya mah. Nenek terima aja ya? Ntar saya tinggalin cucunya lho! Bisa-bisa Dani jadi bujangan lapuk ntar, haha."
"Heh kamu jangan sembarangan! Cucu saya masih ganteng kok, masih banyak yang mau sama dia."
"Berapa umurnya, Nek?"
"29 tahun, muda kan?"
Ekspresi gue dibuat terkejut sebisa mungkin. Mata melotot ditambah tangan yang menutup mulut.
"Apa?! Oh tidak, itu gawat, Nek!"
Si Nenek ikut terkejut, "gawat apanya?"
"Usia segitu tuh udah masuk masa kadaluwarsa Nek, kalo dibiarin bisa gak laku-laku!"
Dani melotot ke arah gue. Ha? Si Bos juga ikut kemakan bualan gue? Katanya pinter? Kibulin dikit kok langsung kena? Hihi.
"Masa sih? Teori dari mana itu? Lagi pula cucu saya punya segalanya. Keren, kaya, pinter. Idaman banget pokoknya."
"Udah Nek, gak usah promosi, semua juga tahu itu, kok."
Dani tersenyum bangga. Lah, malah narsis dia!
"Tapi, kalo tahu umurnya ketuaan, cewek juga mikir lagi," lanjut gue.
Nenek dan cucunya itu kompak menoleh ke gue. "Kenapa?"
"Kamu ngomong saya ketuaan?"
"Iya, kenapa emangnya? Bos udah 29 kan? Tinggal beberapa tiup lilin lagi juga lulus gelar bujang lapuk."
"Kamu mau saya pecat?!"
Widih, ngegas dia!
"Kok pecat? Kan saya pacarnya Bos, barangkali Bos lupa," jawab gue sambil memasang cengiran.
Dani mengerjap, ia melirik Neneknya. Lalu menghela nafas, "ya kamu benar."
"Dani, kamu gak lagi ngibulin Oma kan?"
"Apa? Tidak, tentu saja. Aku malah mau ajak Raila buat nyari gaun buat ke acara nanti malam."
"Beneran, Bos?"
"Iya, bener." Si Bos tersenyum. Ah bukan, tepatnya senyum terpaksa. Bibir senyum, tapi matanya mendelik sebal.
"Terus Nenek gimana? Kan lagi dimasker?" Tanya gue sambil mengusap sisa-sisa masker di tangan gue.
Si Nenek mendelik sebal, "gak usah. Kalo tahu cucu mantunya kamu, gak usah pake maskeran juga gak apa-apa."
Gue cuma mengangkat bahu. Terserah!
"Kalo gitu, aku pamit dulu, Oma."
"Dah Nenek! Biasakan punya cucu mantu macam saya, ya? Hehe."
"Sana pergi! Kepalaku sakit lihat calon Dani kayak gini."
Bodo ah, gue ngekor di belakang Dani menuju mobilnya.
***
"Bos, masa saya pake baju kayak ginian sih?" Tanya gue sambil membolak-balik dress berwarna ungu muda yang lembut. Mana dressnya tanpa lengan lagi. Ah, gak gue banget pokoknya!
"Terus kamu mau pake yang kayak gimana?"
"Yang ini aja," tangan gue nyodorin baju kaos berlengan gombrong dan celana jeans belel.
Dani melotot, "heh, bener kata Oma ya? Selera kamu benar-benar buruk ternyata!"
"Emang gini saya mah Bos, saya gak nyaman pake yang kayak gituan. Ntar malah masuk angin."
"Ck, Ok, kalau kamu gak mau, kontrak kita batal. Gak ada kenaikan 2 kali lipat."
Gue berfikir, daripada pake baju kurang bahan yang bikin masuk angin itu, lebih baik gue lepas godaan gaji 2 kali lipat.
"Ok, gak masalah. Daripada saya pake baju itu."
Dani terkejut, "selain itu gaji kamu saya potong lima puluh persen!"
"Lho kok gitu? Gak bisa! Itu gak ada dalam perjanjian!"
"Ini bukan masalah perjanjian, tapi ini karena kamu gak nurut sama perintah saya sebagai atasan kamu."
Walah, ngancam euy!
"Slow Bos! Slow! Bisa kita bicarakan lagi?"
Dani tersenyum menang. Di atas angin dia, sial!
"Ok, kamu berangkat dengan saya dengan baju itu, dan perjanjian kita berlaku lagi."
Gue meringis, menatap horor pada baju yang mulai dibungkus Dani.
"Cuma pake baju itu kan?"
"Ya, cuma itu. Ayo!"
Dani menyambar tangan gue, lalu menariknya pergi.
"Bos! Jangan maen tarik gini dong!"
"Kamu kelamaan mikir!"
Gue kira setelah ini kami akan langsung pulang, tapi nyatanya gue salah. Mobil Dani malah kembali terparkir di salah satu toko sepatu.
"Ngapain kita kemari, Bos?"
"Sebentar, mana kakimu?"
"Ngapain, Bos? Eh-eh, gak sopan tahu! Busyet! Kaki gue mau diapain?!"
Jelas saja gue teriak saat tiba-tiba saja Dani mengambil salah satu kaki gue dan mencopot sepatu yang masih melekat di kaki gue. Ia lalu tersenyum kecil, dan keluar dari mobil.
"Tunggu sebentar!"
Bos gila! Maen copot sepatu orang segala! Kalo mau beliin sepatu ya ngomong aja! Jangan kayak orang merampok kayak gitu!
Hanya menunggu 10 menit, Dani udah kembali dengan tas belanjaan di tangannya.
"Pake sepatu ini buat nanti."
"Sepatu apa ini? Boleh saya buka, Bos?"
"Gak boleh! Nanti saja kalo kamu udah di rumah. Pokoknya harus dipake. Kalo enggak gaji kamu-"
"Iya, saya tahu, kalo enggak, gaji saya dipotong lima puluh persen!"
"Gadis pintar!"
Walau penasaran setengah mati dengan isi dari tas itu, terpaksa gue tahan.
"Kamu lapar?"
"Lumayan, Nenek Bos bikin tangan saya pegal."
"Haha, kayaknya Oma suka sama kamu."
"Hus! Saya masih normal, Bos! Masa jeruk makan jeruk sih?"
"Maksud saya, Oma saya suka jika kamu jadi cucu mantunya."
"Suka apanya? Saya malah dikatain tuh!"
"Bukannya kamu yang ngatain saya tadi?"
"Ngatain apaan?"
"Katanya saya bujang lapuk?"
"Bwahahaha, emang bener kok!"
"Atas dasar apa kamu bilang gitu?"
"Ya buktinya Bos udah hampir masuk kepala tiga, tapi belum kawin eh nikah juga kan?"
"Kamu pikir saya gak laku, gitu?"
"Kalo laku mah mungkin sekarang udah punya istrilah, Bos!"
"Kalo gitu sekalian saja saya nikah sama kamu."
"Jangan bercanda, Bos!"
Sumpah! Candaannya mengerikan!
"Kalo tidak ada yang mau sama saya, kan masih ada kamu, sekalian saya kontrak buat dijadiin istri. Kan gampang!"
"Dih, ogah. Udah saya bilang, sama bujang lapuk mah, orang juga mikir lagi."
"Kamu gak mau sama saya?"
"Gaklah, Bos kan atasan saya. Jangan aneh-aneh! Kayak di sinetron aja."
"Ya setidaknya kalo sama kamu saya bisa terus tertawa."
"Emang saya mah gini orangnya, lucu kan?"
"Bukan."
"Lha, terus?"
"Saya juga gak tahu, kamu malah suka bikin saya kesal sekaligus ingin tertawa."
"Jangan bilang kalo Bos menjadikan saya bahan tertawaan?"
"Hm, mungkin."
Anjir! Nusuk! Dan keluarlah seluruh penghuni kebon binatang yang sukses gue absen satu persatu dari otak gue.