Jumat (16.43), 07 Mei 2021
----------------------
06 Mei 2059, Indonesia
Gadis cantik bermata hitam bulat sedang mengunyah apel dengan santai. Jemarinya tampak lincah menari-nari di atas tuts keyboard. Seperti biasa, dia berselancar di dunia kesayangannya. Dunia tanpa batasan ruang dan waktu. Dunia di mana dia bisa menjadi siapa saja dan apa saja. Dunia maya.
Bagi sebagian besar orang, dunia maya hanya untuk sekedar bersosialisasi dan tempat curhat. Tapi bagi seorang Nesha, dunia maya adalah tempatnya menjadi malaikat atau iblis. Bergerak dan mengawasi, tanpa ada yang tahu. Dan saat ia mulai melancarkan aksi, bisa jadi orang lain akan diuntungkan atau malah dirugikan. Seperti saat ini.
“Waktu kalian hanya satu jam mulai sekarang.” Nesha berkata tenang.
Tiga orang lelaki di belakangnya yang semula asyik bermain kartu langsung berdiri. Simon, lelaki yang tampak paling kejam di antara mereka karena hampir seluruh tubuhnya dipenuhi tato, mengacak rambut Nesha sebentar seraya bergumam, “Kami pergi dulu. Jaga rumah.”
Nesha ingin memaki-maki Simon namun lelaki itu sudah pergi bersama dua rekan mereka lainnya. Wajah Nesha yang semula tenang kini merengut. Dia paling tidak suka jika ada yang berkata ‘jaga rumah’ seperti yang tadi Simon lakukan. Kata-kata itu membuat Nesha tampak seperti perempuan lemah yang tidak bisa melakukan pekerjaan laki-laki. Padahal dia bisa berkelahi dengan baik karena hidup bersama tiga orang lelaki sejak usianya enam tahun.
Bisa dibilang hidup Nesha penuh drama saat masih kecil. Seperti seorang Cinderella yang memiliki ibu tiri, Nesha juga memilikinya. Dia tidak terlalu ingat bagaimana, kapan, dan mengapa ibu kandungnya meninggal. Yang Nesha ingat, ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang memiliki anak lelaki.
Bima, kakak tiri Nesha yang usianya tujuh tahun lebih tua, sangat baik dan perhatian pada Nesha. Dia benar-benar memperlakukan Nesha layaknya seorang adik. Tiap pulang sekolah, dia pasti akan membawakan Nesha banyak makanan dan manisan. Sementara itu Wati, ibu tirinya, sedikit tak acuh pada Nesha. Nesha yang masih lima tahun tentu tidak menyadari hal itu.
Setahun kemudian, seperti biasa Wati yang menjemput Nesha pulang sekolah karena ayah Nesha masih sibuk bekerja sampai sore. Hari itu mereka tidak langsung pulang. Wati berkata hendak berbelanja lebih dulu.
Sesampainya di sebuah Mall, Wati hendak ke toilet lalu menyuruh Nesha menunggu di depan toilet. Nesha hanya menurut. Tiba-tiba tangan besar membekap hidung dan mulutnya dari belakang. Ada sebuah sapu tangan yang menguarkan bau menyengat di tangan itu. Tanpa sempat memberontak, kesadaran Nesha menghilang.
Saat membuka mata, Nesha kebingungan melihat dua orang asing berbadan kekar dalam mobil. Dia langsung menangis keras sambil memanggil-manggil ayahnya. Dua orang asing itu memarahinya dan berkata bahwa ayahnya yang menyuruh mereka membawa Nesha pergi lalu meninggalkannya di tempat yang jauh.
Kemudian mobil itu berhenti. Tidak memedulikan Nesha yang menangis tertahan, mereka meninggalkannya di tempat sepi dekat jembatan dan rel kereta api. Gadis kecil yang masih lengkap dengan seragam dan tas sekolahnya itu hanya bisa menangis dan diam di tempat. Dia menatap sekeliling dengan bingung.
Entah berapa lama dia berada di tempat itu, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Masih dengan menangis Nesha tetap tidak beranjak dan membiarkan tubuh kecilnya diguyur hujan. Dia takut jika pindah dari tempat itu, ayahnya tidak bisa menemukannya.
Mendadak, hujan tidak lagi mengguyur Nesha. Gadis kecil itu mendongak dan mendapati ada payung yang menaunginya serta seorang pemuda penuh tato berdiri di depannya. Nesha semakin ketakutan tapi dia berusaha menahan tangisnya.
Pemuda itu tampak mengerutkan kening lalu menatap sekitar seperti mencari-cari. Kemudian dia berlutut hingga kepalanya sejajar kepala Nesha. Dia tampak basah karena payung yang ia pegang digunakan untuk memayungi Nesha.
“Di mana orang tuamu?” tanya pemuda itu.
Nesha hanya menggeleng sambil sesekali terdengar isakannya.
Rahang pemuda itu tampak menegang. “Kau ditinggalkan orang tuamu?”
Nesha sendiri masih tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi mendengar kata ‘ditinggalkan’ membuat tangisnya kembali pecah. Dia menangis keras tak peduli apa orang di depannya akan memarahinya seperti dua lelaki dalam mobil tadi.
Tak disangka, pemuda itu malah mengangkat Nesha ke dalam gendongan dengan satu lengan sementara lengan yang lain masih memegang payung. “Sssttt, jangan menangis lagi. Mulai sekarang kau akan tinggal bersama Kak Simon.”
Nesha tidak tahu pemuda yang menggendongnya itu baik atau tidak. Layaknya anak kecil, dia hanya pasrah pada orang yang menawarkan perlindungan baginya.
Pemuda itu membawa Nesha melewati terowongan di bawah jembatan. Cukup lama mereka berjalan hingga akhirnya Nesha tidur. Mungkin sebenarnya pingsan mengingat dia tidak makan dan terus-menerus menangis di bawah tirai hujan sejak siang hingga sekarang menjelang malam.
Begitu membuka mata, Nesha menyadari tiga pasang mata memperhatikannya, termasuk mata hitam pekat milik pemuda bertato yang menolongnya. Nesha beringsut ketakutan di atas ranjang tempatnya berbaring.
“Dia sudah bangun.” Gumam seorang pemuda dengan rambut panjang hingga menyentuh pundak.
“Aku juga tahu, bodoh.” Pemuda yang tampak paling kekar di antara mereka bertiga memaki temannya tapi langsung mendapat pukulan dari Simon.
“Jangan berkata kasar di depannya.” Kemudian Simon yang sedari tadi berdiri bersama kedua sahabatnya perlahan duduk di sisi ranjang tempat Nesha masih berbaring. “Hai, kau ingat aku kan?”
Nesha mengangguk pelan dan takut.
“Aku Kak Simon.” Simon menunjuk dirinya sendiri lalu menunjuk sahabatnya yang berambut panjang. “Dia Kak Anwar dan di sebelahnya Kak Rico. Mulai sekarang kau bisa tinggal bersama kami.”
Nesha hendak menggeleng dan berkata ingin kembali pada ayahnya. Tapi kemudian ucapan dua orang yang membawanya membuat dia urung mengatakan itu. Dia malah kembali menangis.
“Sssttt,” tangan besar nan hangat milik Simon membelai rambutnya lalu menghapus air mata Nesha. “Jangan menangis lagi. Kami tidak akan meninggalkanmu seperti yang mereka lakukan.”
Tiba-tiba Rico melompat ke atas ranjang lalu duduk nyaman di sebelah Nesha. Gadis kecil itu kaget sekaligus takjub melihat Rico yang tiba-tiba sudah berada di sebelahnya. Berbeda dengan Simon yang melotot memperingatkan Rico tapi Rico hanya nyengir.
“Hei, adik kecil. Kau pasti menangis karena lapar. Kak Rico pandai masak. Kau mau makan apa?”
Nesha menatap Rico takut lalu kemudian menoleh pada Simon seolah minta persetujuan. Simon tersenyum seraya mengangguk. Lalu Nesha menatap Rico lagi. “Tidak tahu.” Sahutnya pelan. Dia memang tidak tahu ingin makan apa.
“Dia masih sakit. Kurasa bubur sangat pas untuknya.” Pemuda berambut panjang bernama Anwar berkata.
“Kalau begitu hari ini kita semua akan makan bubur.” Ujar Rico dengan riang. Siapa sangka pemuda berbadan kekar seperti Rico menyukai kegiatan memasak.
“Rico, aku ingin bubur candil.” Sahut Simon tanpa mengalihkan perhatian dari Nesha yang masih berbaring.
“Kalau aku ingin bubur ketan hitam.” Anwar tidak mau kalah.
“Enak saja kalian. Aku hanya akan membuat bubur ayam. Kalian mau makan atau tidak, terserah.” Rico menjulurkan lidah seraya keluar kamar.
Entah mengapa, melihat interaksi mereka bertiga membuat Nesha tidak bisa menahan tawa. Dia terkikik dan tawa gadis kecil itu membuat Simon dan Anwar yang masih berada di kamar tersenyum lega.
Ingatan Nesha kembali ke saat ini. Dia tidak pernah berhenti bersyukur karena takdir mempertemukannya dengan Simon, Anwar, dan Rico. Mereka adalah para lelaki yang luar biasa walau harus hidup dengan cara yang salah.
Sebenarnya mereka bertiga adalah anak terlantar yang awalnya harus hidup dari mengemis. Semakin besar usia mereka, mereka malah beralih menjadi pencopet. Dan kenyataan itu sama sekali tidak membuat Nesha takut tinggal bersama mereka. Dia bahkan sudah tidak tertarik lagi untuk kembali kepada ayahnya.
Yang membuat Nesha semakin betah bersama mereka adalah sikap mereka yang amat memanjakannya. Dia sangat suka mendapat perhatian dari ketiga lelaki itu yang usianya sebelas tahun lebih tua dari Nesha. Tapi kadang Nesha merasa kesal saat mereka bersikap overprotective dengan melarangnya turut membantu aksi mereka. Hingga akhirnya Anwar mengenalkan Nesha pada ponsel pintar yang menggelitik rasa penasaran Nesha. Sejak itu, berselancar di dunia maya menjadi kegemaran Nesha terutama karena akhirnya dia bisa berguna bagi kakak-kakak tersayangnya itu.
Ya, mereka kini bukan lagi pencopet biasa. Mereka bertindak seperti Robin Hood. Mencuri dari para koruptor lalu uang yang didapatkan mereka bagikan kepada orang-orang miskin. Nesha bertugas merusak sistem keamanan di rumah orang-orang terpandang itu untuk memberi kesempatan ketiga kakaknya beraksi.
“Sial!” Nesha mengumpat kesal saat melihat sistem keamanan yang ia ambil alih di rumah target mereka kali ini mendadak lepas.
Padahal mereka sengaja memilih jam dua dini hari untuk beraksi karena biasanya tidak ada sysadmin yang masih terjaga. Yah, kecuali jika target mereka suatu perusahaan besar. Tidak heran jika penjagaan sangat ketat selama dua puluh empat jam, baik oleh sekumpulan tukang pukul atau para ahli komputer. Tapi di rumah? Bahkan rumah orang kaya sekalipun tidak biasanya mempekerjakan sysadmin selama dua puluh empat jam.
Jelas kali ini di luar kebiasaan. Sedikit mengangetkan, namun bukan hambatan yang berarti bagi seorang Nesha.
Sebenarnya Nesha bisa dengan mudah mengambil alih kembali sistem keamanan rumah itu. Tapi dia sedang ingin bermain-main sejenak. Memanfaatkan kemampuannya yang paling mematikan, yaitu menguasai bahasa assembly. Bahasa pemrograman yang tingkatannya paling rendah dan mendekati bahasa mesin.
Di antara semua kemampuan Nesha menguasai komputer dan jaringan, memang kemampuan satu ini yang paling berbahaya. Sampai ketiga kakaknya sering menggoda Nesha bahwa ia bisa berbicara dengan mesin.
Nesha memang bisa mengendalikan segala jenis mesin yang dikontrol komputer dan terhubung dengan jaringan. Ah, bukan hanya komputer. Ponselpun bisa Nesha kendalikan. Kuncinya hanya harus terhubung dengan jaringan.
Orang awam pasti beranggapan bahwa internet adalah tempat yang menyenangkan karena menghubungkan kita dengan teman yang jauh. Menyenangkan karena banyak orang menjadi terkenal hanya bermodalkan internet. Menyenangkan karena dengan internet bisa menghasilkan uang. Menyenangkan karena dengan internet, mereka bisa berpura-pura menjadi orang lain.
Mereka tentu tidak tahu bahwa tiap aktivitas mereka bisa dipantau oleh orang-orang seperti Nesha. Bayangkan internet itu seperti sebuah kota. Kau melenggang dengan nyaman, berinteraksi dengan orang lain, tanpa menyadari bahwa ada orang yang berjalan tepat di sebelahmu karena kau tidak bisa melihatnya. Mengerikan, bukan?
Banyak orang dengan santainya mengumbar identitas dan aib di media sosial. Tanpa mereka ketahui, hal tersebut terkadang digunakan oleh para peretas untuk mendapat keuntungan. Memangnya keuntungan semacam apa? Informasi.
Yah, di zaman teknologi seperti sekarang, yang bisa membuat seseorang menjadi paling kaya bukan lagi hasil bumi. Melainkan informasi. Begitu kau menguasai informasi, bisa dikatakan kau telah menguasai dunia.
Siapa yang berani melawanmu? Si C yang ternyata menyimpan video dan cerita p***o di ponselnya? Menurutmu dia bisa apa jika kau mengancam akan menyebar semua itu? Atau si D yang merasa tidak menyimpan aib di gadgetnya karena tiap dia berkirim pesan dengan si selingkuhan dia langsung menghapusnya. Oh, ayolah. Walau pesan elektronik bisa sampai dalam hitungan detik, surat itu masih harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan itu melalui jaringan. Sementara para peretas bisa dengan mudah mencegat perjalanan si tukang pos lalu mengambil alih suratnya. Hebat, kan? Atau malah mengerikan?
Membajak komputer atau ponsel orang lain sudah hal biasa bagi Nesha. Sekarang dia akan melakukan yang sedikit lebih kejam dari itu.
Dengan lincah dia membobol sistem keamanan berlapis yang baru saja dipasang ulang oleh sysadmin di rumah target seraya memasang earphone untuk menghubungi kakak-kakaknya.
“Kalian sudah sampai mana?”
“Baru saja mencapai atap rumah target seperti rencana kita.” Simon yang menjawab.
“Nyalakan pelacak yang kalian bawa. Nesha akan melacak keberadaan kalian. Ada peretas yang berjaga di rumah itu dan sekarang mereka sudah tahu bahwa sistem keamanan mereka diambil alih. Nesha hanya ingin memastikan bahwa mereka belum mengetahui keberadaan kalian.”
Terdengar Simon berdecak. “Urus saja sistem keamanannya, Adik Kecil. Kami akan baik-baik saja.” Kemudian dia memutus sambungan.
Nesha mendesah. Selalu seperti ini. Kakak-kakaknya tidak pernah suka Nesha mengawasi mereka ketika sedang beraksi. Kurang menantang menurut mereka.
Alat pelacak yang dimaksud Nesha adalah hasil rancangannya sendiri. Alat itu bisa berfungsi seperti kamera yang memantau dari atas si pemegang dan menyebar hingga radius dua ratus meter di sekeliling alat tersebut berada. Dengan begitu, Nesha bisa mengawasi kakak-kakaknya dan memberitahu di mana ancaman berada.
Tapi sayang, seperti sekarang, mereka tidak pernah mau dibantu dengan cara itu. Mereka lebih suka tidak tahu di mana musuh berada lalu bertarung secara langsung.
Baiklah! Kalau begitu tidak ada yang bisa Nesha lakukan selain memusatkan perhatian pada sysadmin yang menjadi lawannya.
Bibir Nesha melengkung membentuk senyuman. “Maaf, Sayang. Sepertinya kalian harus membeli komputer baru.”
----------------------
♥ Aya Emily ♥