Tiga

2352 Kata
Senin (23.31), 31 Mei 2021 --------------------- “MAKAN SIANG!!” Teriakan Rico membuat Nesha terjaga seketika. Jantungnya berdegup amat kencang karena kaget namun lelaki yang tidur di belakang Nesha sambil memeluk pinggangnya sama sekali tidak terusik. “Astaga, Kak Rico! Nesha baru tidur.” Gerutu Nesha sambil menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Rico duduk di tepi ranjang tepat di samping Nesha lalu menarik selimut yang menutupi kepala Nesha. “Adik kecil, kau sudah tidur lebih dari delapan jam. Sekarang waktunya makan siang.” “Berisik!” seru orang yang tidur di belakang Nesha sambil melempar bantal ke wajah Rico. Kemudian dia memeluk Nesha lebih erat dengan mata kembali terpejam. “Ish, manusia satu ini. Aku tidak menyuruhmu bangun. Kau tidur selamanya juga aku tidak peduli.” Geram Rico sambil memukulkan bantal yang tadi mengenai wajahnya ke kepala Simon berkali-kali. “Hei, hei.” Simon berusaha menghalau serangan bantal dengan tangannya. “Dasar pembual. Aku terluka sedikit saja kau panik. Aku yakin kau akan gantung diri kalau aku tidak bangun lagi.” “Kapan aku panik?” “Masih mengelak, eh?” Dan bisa dipastikan, Nesha tidak lagi bisa tidur saat kedua kakaknya perang bantal seperti anak kecil. Untung hanya dua, tidak semua. “Ah, sudah minggir! Nesha sudah bangun, oke!” seru Nesha sambil menyingkir dari tengah perang bantal. Dia turun dari ranjang seraya mengikat rambutnya yang selalu ia biarkan tergerai saat tidur. Dengan langkah malas, Nesha meraih handuk yang tergantung di depan kamar mandi lalu masuk ke bilik shower. Setelah aksi pencurian dini hari tadi, ketiga kakak Nesha pulang dalam keadaan utuh dan puas dengan satu tas ransel penuh uang. Nesha sendiri sudah mengerjakan bagiannya dengan amat rapi seperti biasa. Bahkan dengan kemampuannya, Nesha menghancurkan komputer di rumah itu dan meledakkan semua ponsel di sana yang terhubung dengan jaringan. Kejam? Seberapa kejam dibandingkan mereka yang telah menguras tiap tetes keringat rakyat hanya untuk kekayaan pribadi? Ah, dirinya mulai lagi. Kadang Nesha memang suka bersikap seperti itu. Menghina orang lain hanya untuk membenarkan dirinya sendiri. Padahal tidak ada yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah di dunia ini. Nesha mencuci rambutnya sedikit lebih kasar untuk menghentikan pikirannya yang kian melantur. Di saat-saat seperti ini, akan ada banyak hal yang Nesha pikirkan. Tentang benar atau salah pekerjaannya, tentang kakak-kakaknya yang sudah mencapai usia matang untuk menikah, dan tentang kehidupan cinta Nesha sendiri yang tidak pernah mendapat kemajuan. Benar atau salah pekerjaannya, tidak terlalu mengusik otak Nesha. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan segera beralih profesi jika menemukan pekerjaan lain yang sesuai di hati dan tidak melanggar. Kehidupan cintanya juga tidak terlalu mengusik. Nesha masih sembilan belas tahun. Ada banyak waktu untuknya jatuh cinta dan menikah. Lagipula sekarang kakak-kakaknya masih suka memperlakukan Nesha seperti anak kecil yang tidak boleh depat-dekat dengan lawan jenis. Kecuali mereka tentunya. Yang paling mengganggu adalah kenyataan ketiga kakaknya sudah mencapai usia tiga puluh tahun. Disatu sisi Nesha ingin mereka bertiga membina rumah tangga dan hidup bahagia. Namun di sisi lain Nesha takut kehilangan mereka. Mana mungkin dia terus mengekori mereka bertiga jika mereka menikah? Pasti akan ada perasaan canggung. Entah istri mereka atau dirinya sendiri. Mendesah lesu, Nesha menyudahi mandinya lalu keluar kamar mandi dengan handuk melilit tubuh. Dia tidak khawatir bertemu salah satu kakaknya dalam keadaan seperti itu. Mereka benar-benar memperlakukan Nesha layaknya seorang adik. Tidak ada nafsu di antara mereka. Yah, setidaknya itu yang Nesha tahu dan rasakan. Tidak ada kamar mandi dalam kamar di rumah itu. Jadi Nesha masih harus berjalan beberapa langkah untuk kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, dia merengut melihat Simon masih tidur di ranjangnya. Di antara mereka bertiga, memang Simon yang paling sering tidur di ranjang Nesha. Bukan untuk melakukan hal-hal m***m. Hanya tidur menemani Nesha yang sering bermimpi buruk dan mengigau. Nesha seperti dihantui masa lalu. Seolah-olah dua orang yang dulu menculiknya datang kembali lalu membawa Nesha pergi dari ketiga kakaknya. Namun jika ada yang menemaninya tidur, Nesha bisa terlelap dengan mudah tanpa mimpi buruk. “Kak Simon, cepat bangun! Nesha mau ganti pakaian!” Nesha mengguncang bahu Simon dengan keras. “Ganti saja, Adik Kecil. Kakak masih ingin tidur.” Gumam Simon tanpa membuka mata. Nesha berdecak kesal. Simon memang rajanya tidur. Padahal tadi dia dan Rico sudah perang bantal. Tapi ternyata dia masih bisa berbaring kembali lalu tidur. Akhirnya Nesha mengalah. Dia menuju lemari, mengambil kaus bergambar paris dan celana selutut lalu kembali ke kamar mandi. Bagaimanapun dia masih memiliki rasa malu untuk berganti pakaian di depan lawan jenis meski itu kakaknya yang sedang tidur. Selesai berganti pakaian, Nesha kembali ke kamar. Ternyata Simon sudah tidak ada. Nesha segera menyisir rambut lalu mengenakan make-up tipis sebelum turun ke dapur. “Di mana Kak Simon?” tanya Nesha seraya menarik kursi di meja makan. Di sana sudah ada Rico dan Anwar yang menyantap makan siang. “Sedang menemui kekasihnya di ruang tamu.” Sahut Anwar. Nesha tersedak jus yang baru menyentuh tenggorokannya. “Astaga, Nesh. Hati-hati.” Rico yang duduk tepat di sebelah Nesha menepuk-nepuk punggung gadis itu sementara Anwar mengulurkan tisu yang langsung diraih Nesha untuk membersihkan hidung dan mulutnya. “Kau cemburu, eh?” Untung Nesha tidak sedang minum lagi. Kalau tidak dia akan kembali tersedak karena pertanyaan Anwar. “Aku kaget karena Kak Simon menemui kekasihnya tanpa cuci muka dan gosok gigi. Kuharap dia tidak patah hati jika tiba-tiba wanita itu memutuskan hubungan dengannya setelah pertemuan ini.” Cemburu? Mana mungkin. Yah, sedikit. Maksudnya cemburu bukan dalam arti seperti hubungan pria dan wanita. Cemburu yang Nesha rasakan karena sebentar lagi perhatian Simon yang semula hanya dilimpahkan padanya akan terbagi untuk kekasihnya atau siapapun wanita itu. “Jangan khawatir. Sepertinya dia sudah mandi parfum dan cuci muka di bak cuci piring.” Rico menjelaskan. “Dia juga sempat berkumur-kumur sebelum keluar.” Anwar menambahkan. Nesha membuat gerakan seperti hendak muntah yang mengundang tawa Rico dan Anwar. *** Nesha mengendarai sepeda tak tentu arah. Tidak ada tempat yang ingin ia tuju. Nesha hanya butuh kegiatan kecil yang jauh dari ketiga kakaknya. Gerakan kaki Nesha yang mengayuh sepeda terhenti saat mendekati pedagang bunga yang tampak sepi di dekat taman kota. Dia turun dari sepeda lalu memarkir sepedanya di dekat kios pedagang bunga itu. “Mau beli bunga, Nak?” tanya Bapak penjual bunga dengan ramah. “Iya. Yang ini berapa harganya?” tanya Nesha sambil meraih setangkai mawar yang dibungkus cantik berwarna pink pucat. “Lima belas ribu. Kalau kamu beli lima tangkai mawar, kamu dapat bonus ramalan masa depan dari Bapak.” Nesha menyeringai. Strategi pemasaran yang unik, pikirnya. “Lima? Boleh pilih warna yang beda, kan?” “Tentu saja.” Bapak penjual bunga balas tersenyum. Dengan antusias Nesha memilih mawar warna merah darah, kuning, putih dan hitam. Kemudian dia mengeluarkan satu lembar uang seratus ribu. “Kalau ramalannya bagus, kembaliannya buat Bapak.” Nesha mengedipkan sebelah mata. Bapak itu tertawa kecil. “Kalau begitu Bapak akan katakan yang bagus-bagus.” Nesha tertawa. Sebenarnya dia tidak terlalu percaya dengan ramalan atau sejenisnya. Tapi lumayan sebagai hiburan. “Tolong tangan kanannya, Nak. Biar Bapak ramal sekarang.” Nesha segera mengulurkan tangannya melalui meja untuk memajang bunga ke arah si Bapak. Sejenak Bapak itu memperhatikan telapak tangan Nesha dengan serius lalu ekspresinya tampak kagum. “Jodohmu berada sangat dekat sekarang.” Nesha tertawa geli. “Apa Bapak mau bilang kalau Bapak jodohku?” Bapak itu hanya tersenyum lembut. “Tentu saja bukan. Percaya atau tidak, itu hak kamu. Tapi dia benar-benar dekat sampai bisa kamu sentuh.” Tanpa bisa dicegah, Nesha melirik kanan kiri memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Kemudian dia kembali memperhatikan si Bapak. “Yang mana, Pak?” “Bapak juga tidak tahu.” “Ah, kenapa informasinya setengah-setengah.” Gerutu Nesha. Mau tidak mau dia termakan juga omongan si Bapak dan mulai membayangkan bahwa salah satu orang di sekitarnya adalah jodohnya. “Namanya juga ramalan.” Sahut Bapak itu sambil angkat bahu lalu kembali memperhatikan telapan tangan Nesha. “Masih ada lagi. Kamu akan jadi bagian dari orang-orang hebat. Tapi kamu juga akan merasakan kehilangan yang amat sangat.” Bapak itu mendongak. Senyumnya hilang digantikan raut serius. “Kamu tidak akan bisa bersatu dengan lelaki yang kamu cintai. Kamu akan kehilangannya. Saat itu terjadi kamu harus memilih bertahan dan bangkit atau berkubang di lumpur kesedihan.” Nesha merinding. Entah mengapa ucapan Bapak itu seolah akan benar-benar terjadi. Dan itu menimbulkan kesan ngeri. “Kok ramalannya jelek?” Nesha pura-pura merengut. “Jelek atau bagus, tergantung cara kamu menjalaninya.” Sahut si Bapak tak jelas. “Apa lagi selain itu, Pak?” Bapak penjual bunga menggeleng. “Tidak ada lagi. Sisanya tampak kabur.” “Oh.” Nesha manggut-manggut. “Ini kembaliannya.” Si Bapak mengulurkan sejumlah uang. Nesha nyengir. “Tadi aku hanya bercanda. Sisanya tetap untuk Bapak.” “Terima kasih, Nak.” “Sama-sama.” Nesha hendak berbalik  namun Bapak itu menahan. “Kamu gadis yang beruntung karena dikelilingi orang-orang yang amat menyayangimu. Saat kehilangan itu tiba, pastikan kamu bertahan demi mereka.” Nesha diam sejenak berusaha mencerna kalimat si Bapak. Kemudian dia tersenyum seraya mengangguk. “Akan aku ingat nasihat Bapak.” Setelahnya dia berbalik menuju sepeda. Kali ini Nesha memilih menuntun sepeda dengan satu tangan sementara tangan yang lain menggenggam lima tangkai bunga. Udara segar di taman membawa angin yang menyejukkan, membelai wajah Nesha lembut. Dia menutup mata tanpa menghentikan langkah sambil menarik napas dalam-dalam. Mendadak Nesha berhenti melangkah saat merasakan salah satu bunga mawarnya ditarik. Dia menoleh dan langsung berhadapan dengan seorang lelaki berjaket biru. Tidak jelas wajahnya karena kepalanya ditutupi tudung jaket dan lelaki itu sedang menunduk menghirup aroma bunga mawar merah darah milik Nesha. “Hei, itu mawarku! Kalau kau menginginkannya, kau bisa minta baik-baik.” Tegur Nesha kesal. Tanpa menyahut, lelaki itu sedikit mengangkat kepalanya hingga mata berwarna amber itu memaku mata hitam Nesha. Mata berwarna kuning keemasan yang sering disebut mata serigala. Indah sekaligus tajam. “Kau bisu?” Nesha melotot. Nesha merasa sudut bibir lelaki itu terangkat selama sedetik, lalu dia merasakan tamparan tiba-tiba di pantatnya diiringi gelak tawa lelaki itu yang telah berlari menjauh. Nesha ternganga sebelum akhirnya sadar lalu berteriak keras. “b******n m***m!! BERHENTI KAU!!” Karena terlalu panik dan marah, bukannya menaiki sepedanya Nesha malah mendorong sepeda itu lalu berlari mengejar lelaki yang telah melecehkannya. Bunga di tangannya juga ia lempar secara asal. Nesha terus mengejar lelaki itu yang berlari zig zag di antara pepohonan dan sesekali terdengar tawanya. Kemarahan Nesha memuncak saat menyadari lelaki itu merasa senang telah berhasil membuatnya marah. “DASAR b******k PENGECUT!!” teriak Nesha yang hanya mendapat balasan tawa lelaki itu yang kian nyaring. Nesha sama sekali tidak memedulikan arah larinya. Tujuannya hanya untuk menangkap lelaki itu lalu menghajarnya. Atau kalau perlu membawa b******n gila itu ke hadapan ketiga kakaknya yang pasti akan murka jika mengetahui apa yang baru saja menimpa Nesha. Dirinya akan sangat senang duduk manis memperhatikan lelaki itu dihajar Simon, Anwar, dan Rico. Tapi sebelum itu, Nesha harus berhasil menemukannya dulu. Jika gagal, Nesha akan malu menceritakan kejadian ini pada ketiga kakaknya. Pepohonan di sekelilingnya semakin banyak dan besar. Nesha sudah terengah-engah tapi lelaki yang kira-kira berjarak sepuluh meter darinya itu tidak tampak lelah. Sekitar lima menit kemudian, Nesha berhenti berlari karena kehilangan jejak si lelaki. Dia meletakkan salah satu tangan di batang pohon sambil mengatur napas. Pandangannya menyapu sekitar. “HEI, KELUAR!!” Tidak ada sahutan. “Kalau kau menyerahkan diri sekarang, aku hanya akan mematahkan tanganmu yang kurang ajar. Tapi kalau sampai aku yang menangkapmu, akan kupatahkan semua tulangmu hingga jadi bubur.” Hening. “PENGECUT!!” teriak Nesha. Tetap tidak ada sahutan. Mendadak bulu kuduk Nesha meremang. Dia menatap sekeliling dengan takut. Tempat Nesha berada sekarang lebih cocok disebut hutan. Ya, di salah satu sisi taman kota memang terdapat hutan yang katanya dihuni makhluk halus. Apa lelaki tadi— Nesha menelan ludah lalu berbalik arah dengan tenang. Dia berusaha berjalan senormal mungkin sambil menenangkan debar jantungnya. Aku tidak takut. Aku tidak takut. Aku tidak takut. Nesha merapalkan kalimat itu berulang-ulang seperti mantra. Dia masih berjalan tenang lalu— KRAK. “KAKAK!!” teriak Nesha refleks sambil berlari cepat keluar dari hutan. Dia sama sekali tidak mau menoleh untuk melihat suara apa itu tadi. Nesha masih terus berlari hingga mencapai sepedanya. Beruntung tidak ada yang mengambil atau memindahkannya. Bahkan bunga-bunga milik Nesha masih tersebar di dekat sepeda. Segera Nesha memunguti mawar-mawar itu, memasukkannya ke keranjang sepeda lalu menaiki sepeda dan mengayuhnya cepat. Dia baru berhenti begitu mencapai pedagang es kelapa muda yang bersebelahan dengan kios majalah dan koran. “Bang, es kelapanya satu.” Pesan Nesha setelah memarkir sepedanya lalu duduk di bangku yang disediakan pedagang es. “Tunggu sebentar, Neng.” Ujar si pedagang sambil menyiapkan gelas. Nesha hanya mengangguk sambil menggerak-gerakkan kerah kaus untuk mengipasi leher dan wajahnya. Aksi kejar-kejaran dengan si lelaki hantu lalu mengayuh sepeda dengan cepat berhasil membuat Nesha mandi keringat. Dia bertekad akan mandi kembang tujuh rupa sesampainya di rumah agar si hantu tidak membuntutinya. Tapi sekarang Nesha hanya memiliki kembang empat rupa. Eh, ini empat rupa apa empat warna? Ah, sudahlah. Toh di sekitar rumah ada banyak bunga. Ada bugenvil, kamboja, bunga pepaya, bunga belimbing. Jadi dirinya tidak perlu khawatir mencari bunga untuk mandinya nanti. “Ini, Neng.” Segelas besar es kelapa muda mengalihkan pikiran Nesha dari mandi kembang. Dia segera meminumnya dengan penuh rasa syukur. Selesai menghilangkan dahaga, Nesha mulai menikmati kelapa muda dalam gelas. Mendadak perhatiannya tertuju pada salah satu halaman koran yang dipajang di sebelahnya. “Bang, beli koran yang itu.” ujar Nesha pada pemilik kios yang duduk bersama pedagang es kelapa muda. Segera si pemilik kios mengambilkan koran yang dimaksud Nesha lalu Nesha membayarnya. Nesha tidak berkedip memperhatikan judul berita yang ditulis dengan huruf besar. PEMERINTAH MEMBUKA LOWONGAN BESAR-BESARAN UNTUK PARA HACKER DI SELURUH PENJURU INDONESIA Apa ini jawaban atas kegalauan Nesha beberapa hari terakhir? Jika dia berhasil diterima, maka dirinya tetap bisa bekerja sebagai hacker, dan kali ini secara legal. Belum lagi fakta bahwa Nesha tidak akan merepotkan kakak-kakaknya lagi. Senyum Nesha mengembang. Dia akan mendaftar tanpa memberitahu kakak-kakaknya. Baru setelah dirinya diterima, Nesha akan menjadikan hal itu sebagai kejutan. ------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN