Senin (23.34), 31 Mei 2021
---------------------
Nesha tersentak kaget melihat sebuah amplop dilempar tepat di atas meja makan tempat Nesha sedang menikmati secangkir cokelat hangat untuk sarapan.
“Apa maksudnya ini?” tanya Anwar dengan sorot menuduh ke arah Nesha.
Nesha menatap bingung pada Anwar lalu menunduk menatap amplop putih itu. Begitu juga yang dilakukan Rico dan Simon yang juga sedang menikmati sarapan. Raut wajah keduanya menunjukkan kebingungan sekaligus rasa penasaran.
Perlahan Nesha meletakkan cangkirnya ke samping lalu meraih amplop yang sudah disobek bagian pinggirnya. Baru saja melihat alamat pengirim di bagian depan amplop, mata Nesha melebar. Seketika dia bisa menduga alasan Anwar tampak marah sekaligus gusar.
Sebisa mungkin Nesha bersikap tenang ketika mengeluarkan lembar surat resmi yang ditujukan untuknya itu. Jantungnya berdegup kencang. Bukan hanya karena apa yang ia sembunyikan hampir dua bulan ini akhirnya terbongkar di hadapan kakak-kakaknya, tapi juga karena dalam surat itu Nesha akan mengetahui takdirnya.
Sejenak Nesha memejamkan mata, lalu memberanikan diri mulai membaca baris demi baris surat yang ditulis sangat formal. Sampai akhirnya dia sampai pada bagian yang menyatakan bahwa Nesha diterima menjadi bagian dari tim The Hackers dari Indonesia.
“Wow!” seru Nesha senang sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Sejenak dia melupakan fakta bahwa dengan diterimanya dia dalam tim tersebut berarti Nesha harus berpisah dari ketiga kakaknya cukup lama.
“Wow?” Simon minta penjelasan sementara Rico langsung menyambar surat yang tergeletak di atas meja itu.
“Ah, ya. Wow!” Anwar bertepuk tangan mengejek. “Kau memang hebat, adik kecil. Hebat sekali menyembunyikan hal sebesar ini dari kami.”
BRAK.
Anwar menghantamkan kepalan tangannya ke salah satu kursi di meja makan hingga jatuh lalu bergegas keluar rumah. Tak lama kemudian terdengar suara motor yang melaju pergi.
“Ada apa ini?”
Simon bertanya pada Nesha yang kini hanya menunduk. Sungguh Nesha tidak menyangka reaksi sang Kakak akan seperti ini.
“Kau akan meninggalkan kami?” kali ini pertanyaan itu keluar dari bibir Rico yang sudah mengerti isi surat. Dia tampak begitu sedih saat menatap Nesha.
“Apa sih yang kau bicarakan?” tanpa menunggu jawaban lagi Simon merampas kertas yang masih berada dalam genggaman Rico.
Sejenak suasana dapur hening selama Simon membaca. Keduanya sama-sama tahu Simon yang paling dekat dengan Nesha. Kalau Anwar saja sampai seperti itu, entah bagaimana reaksi Simon.
Tak lama kemudian, tampak jemari Simon meremas surat di tangannya. Tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya bertonjolan.
“Kenapa, Nesh?”
DEG.
Mendadak air mata Nesha menggenang. Entah mengapa saat Simon menyebut namanya tadi, seolah lelaki itu membuat jarak antara mereka.
BRAK.
“KENAPA DIAM?! JAWAB!!”
Simon menggebrak meja lalu meneriakkan pertanyaannya.
Seketika tangis Nesha pecah. “Kak—” gadis itu terisak, tak sanggup berkata apapun.
“Simon, kau menakutinya,” tegur Rico. Dia bangkit, berdiri di samping Nesha lalu menarik kepala gadis itu ke dadanya.
Simon menatap tajam Nesha yang kini hanya meliriknya takut. “Katakan sesuatu, Nesh!” Nada Simon terdengar lebih rendah, namun terkesan dingin dan jauh.
“Nesha—Nesha ingin mencari pekerjaan yang legal, Kak.” Jawab Nesha terbata. Wajahnya masih tenggelam di d**a Rico tapi sesekali dia melirik Simon.
“Kenapa harus sejauh ini? Kau bosan bersama kami?” nada suara Simon masih sama.
Nesha menggeleng kuat. “Bukan seperti itu, Kak.”
“LALU APA?!”
Simon berdiri tiba-tiba seraya tangannya bergerak menepis gelas yang berada di atas meja. Suara gelas yang menyapa lantai lalu pecah, meramaikan suasana.
Nesha meremas baju Rico dan semakin menenggelamkan wajahnya. Sungguh, dirinya merasa takut. Seumur hidup sejak ia tinggal bersama mereka bertiga, tidak pernah sekalipun ada yang memarahinya. Mereka benar-benar memperlakukan Nesha layaknya seorang putri.
Rico sadar suasana akan semakin keruh jika dibiarkan. Simon butuh waktu untuk menenangkan diri jauh dari Nesha. Nesha juga perlu waktu untuk merangkai kata agar ia bisa menjelaskan lebih baik dan menghindari kesalahpahaman. Tanpa menunggu ada yang berbicara lagi, Rico menekuk salah satu kaki lalu meletakkan lengannya di belakang lutut dan punggung Nesha untuk membopong gadis itu.
Biasanya Nesha akan protes. Namun kali ini dia bersyukur karena jujur saja, kakinya serasa berubah menjadi jelly. Dia membenamkan wajah di lekukan leher Rico dan jemarinya masih meremas baju sang kakak yang tubuhnya juga banyak dipenuhi tato.
Rico membawa Nesha ke kamar gadis itu. Beruntung Simon tidak mengikuti dan mengerti isyarat Rico bahwa mereka butuh waktu sendiri.
Perlahan dia membaringkan tubuh Nesha di ranjang lalu turut naik di sampingnya. Lengan kekar Rico merengkuh Nesha dalam pelukan. Gadis itu tampak pasrah dan menangis tertahan di d**a Rico.
“Kak, kenapa mereka begitu marah? Nesha tidak menyangka reaksi mereka akan seperti ini.” Gadis itu mendongak menatap Rico. “Sepertinya Kak Rico juga marah,” gumamnya dengan nada sedih.
Rico tersenyum. Jemarinya terangkat, menghapus air mata di pipi Nesha lalu beralih membelai lembut rambut panjang gadis itu. “Kami bertiga sangat menyayangimu. Kau adalah bagian dari kami. Adik kecil kami. Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benak kami bahwa kita akan berpisah.
“Pernah saat kau tidur, kami bertiga berbincang. Kakak bertanya, bagaimana jika suatu saat kau pergi dari kami? Lalu dengan tegas sekaligus marah, Anwar dan Simon mengatakan bahwa kau tidak akan pernah pergi. Kita akan terus hidup bersama. Kalaupun kau menikah, kau dan suamimu akan tinggal bersama kami.
“Tapi—” nada suara Rico berubah sedih. “Kakak sering berpikir kau seperti bayi burung yang kami temukan. Kami rawat sepenuh hati, kami penuhi semua kebutuhanmu, namun kami mengurungmu. Padahal seharusnya kau terbang bebas. Mencari jati dirimu yang sebenarnya.”
Air mata Nesha semakin deras menitik. Jemarinya terangkat, membelai rahang Rico yang selalu dicukur bersih. Bahkan sekarang mata lelaki itu berkaca-kaca, menunjukkan dirinya juga tidak rela bahwa Nesha harus pergi namun berusaha ikhlas.
“Nesha—tadinya Nesha tidak pernah berpikir untuk pergi dari kalian. Bahkan Nesha juga tidak terbayang untuk menikah. Hanya ingin bersama kalian, terus seperti saat ini. Tapi—” dia tercekat. Isak tangisnya lepas lagi. “Nesha mulai sadar. Nesha tidak bisa bergantung pada kalian selamanya. Kalian harus menikah dan membangun keluarga masing-masing.”
Rico tersenyum. “Sebenarnya, kita berempat sama-sama tidak ingin berpisah. Yah, kalau menuruti keinginan hati saat ini, bisa saja kita hidup seperti ini terus. Tapi mau tidak mau manusia harus berkembang dan melangkah. Tidak bisa hanya jalan di tempat.” Rico menghela napas berat. “Jadi walau berat, Kakak setuju dengan rencanamu. Pergilah. Terbang bebas dan gapai mimpimu.”
Lama Nesha menatap mata Rico. Dadanya sakit saat Rico mengizinkannya pergi. Kini Nesha mengerti perasaan Anwar dan Simon saat mengetahui Nesha akan pergi jauh. Mereka juga merasakan itu. Perasaan dibuang dan tak diinginkan lagi.
Padahal Nesha tidak bermaksud seperti itu. Begitu pula dengan Rico. Semua jadi serba salah.
Andai Nesha tidak pernah berpikir untuk pergi, mereka berempat pasti akan melewati hari yang menyenangkan seperti biasa. Tapi yang dikatakan Rico benar. Mereka tidak bisa seperti ini terus.
Nesha menghela napas panjang dan membuat keputusan. Dirinya memang harus pergi.
***
Nesha menggeliat, sedikit merasa sesak. Tubuhnya juga kepanasan. Perlahan kelopak mata Nesha terangkat dan dia heran mendapati Simon dan Anwar memeluknya erat di samping kiri dan kanannya.
Nesha bingung selama beberapa saat, lalu sebuah kesadaran menyentaknya. Dia teringat kemarahan kedua kakaknya itu lalu jatuh tertidur dalam pelukan Rico setelah menangis cukup lama.
Ragu, Nesha menatap bergantian mata Simon dan Anwar yang terpejam. Dia takut membuat gerakan tiba-tiba dan membangunkan keduanya. Bisa saja mereka masih marah.
Cukup lama Nesha hanya terdiam dan berusaha tenang seperti patung. Otaknya berputar merangkai kata yang akan ia ucapkan nanti begitu mereka bangun.
“Kau sudah bangun, Adik Kecil?” tanya Simon yang berada di samping kanan Nesha.
Nesha melirik Simon dan mendapati mata lelaki itu terbuka dan balas menatapnya. Perlahan Nesha mengangguk.
Jika mereka berada dalam situasi berbeda pastilah Nesha akan mengejek Simon karena pertanyaan tak berguna itu. Sudah jelas mata Nesha terbuka lebar, masih saja lelaki itu bertanya apa dirinya sudah bangun.
“Kalau begitu kita bicara.” Kali ini suara berasal dari Anwar yang berada di samping kiri Nesha.
Perlahan Anwar melepas dekapannya di tubuh Nesha lalu duduk. Dia memilih bersandar ke kepala ranjang sambil menyalakan sebatang rokok yang berada di nakas.
Simon juga bangun lalu duduk bersila. Nesha pun turut bangun, duduk menghadap kedua kakaknya.
Ini seperti yang sering mereka lakukan saat Nesha baru tinggal bersama ketiga kakaknya. Mereka berempat duduk di atas ranjang. Saling bercerita atau melakukan permainan hingga Nesha kelelahan lalu tertidur. Ya, saat itu Nesha masih sering menangis karena merindukan rumah dan Ayahnya.
“Apa kau benar-benar ingin menjadi bagian dari kelompok peretas itu?” tanya Anwar tanpa basa-basi. “Bukan karena alasan tertentu, bukan karena paksaan, murni karena kau memang menginginkannya.”
Tanpa ragu Nesha mengangguk. Tadinya dia mendaftar karena ingin menjauh dari ketiga kakaknya agar mereka bisa membangun rumah tangga tanpa mengkhawatirkan dirinya. Tapi setelah berbincang dengan Rico, hal itu bukan lagi alasan utama. Nesha memang ingin bergabung dengan tim The Hackers, memanfaatkan kemampuannya untuk pekerjaan legal.
Terdengar hela napas berat dari Simon, menunjukkan dia kecewa akan jawaban Nesha. “Sebenarnya Kakak masih berharap akan ada alasan untuk melarangmu pergi. Tapi jika kau memang menginginkannya, kami tidak bisa melarang,” ujar Simon dengan sedih.
Nesha meraih tangan Simon dan Anwar. Matanya berkaca-kaca ketika balas menatap mereka. “Nesha hanya pergi bekerja, bukan pergi selamanya. Kalau ada waktu libur, Nesha pasti mengunjungi kalian.”
“Tapi—” Simon tercekat. “Rasanya kau meninggalkan kami dan tidak akan kembali.”
“Nesha pasti kembali, Kak. Kita tidak akan berpisah selamanya.” Air mata Nesha mengalir.
“Kau memang harus melakukannya, Adik Kecil.” Anwar mematikan rokoknya lalu beringsut mendekati Nesha untuk memeluk gadis yang telah dirawatnya sejak bertahun-tahun. “Kalau sampai kau tidak mengunjungi kami, Kakak anggap kau anak durhaka dan akan mengutukmu jadi semakin cantik.”
Nesha terkikik geli mendengar ucapan Anwar sementara Simon menarik kerah belakang baju Anwar dengan kesal.
“Kalau kau berkata seperti itu, dia pasti akan memilih tidak mengunjungi kita,” gerutu Simon.
“Aku tidak tega mengutuknya jadi batu. Memangnya kau tega?” Anwar balas tanya.
Simon mendesah lalu menggeleng. “Aku juga tidak tega.”
“Ah, begini saja.” Anwar menatap Nesha yang menahan senyum geli dengan raut wajah serius. “Kalau adik kecil ini tidak mengunjungi kita, aku akan mengutuk Simon jadi keledai.”
Seketika tawa Nesha pecah sementara wajah Simon terbelalak. Segera Anwar turun dari ranjang sebelum Simon sempat menangkapnya. Kedua lelaki berusia tiga puluh tahun itu terlihat seperti bocah, saling berteriak dan mengejar.
---------------------
♥ Aya Emily ♥