Senin (23.37), 31 Mei 2021
--------------------
Nesha menelusurkan lidah di bibir atasnya. Sesekali dia menelan ludah melihat ice cream vanilla yang tampak begitu lezat.
Senyum Nesha merekah ketika penjual menyerahkan ice cream cone ke arah Nesha. Tapi sebelum Nesha menerimanya tangan lain menyambar lebih dulu. Nesha merengut ke arah Rico yang telah merebut ice creamnya.
“Sabar, Adik Kecil.” Rico mengedipkan sebelah mata sambil menikmati esnya.
Nesha mendengus lalu kembali menatap si penjual yang sedang menyiapkan ice cream lagi. Tapi sama seperti tadi, Anwar mendahului mengambil ice cream yang sudah ada di depan mata Nesha.
“Kakak!” seru Nesha kesal.
“Apa?” tanya Anwar tanpa rasa bersalah sambil menjilati ice creamnya.
Kembali Nesha merengut lalu menoleh ke arah Simon yang belum mendapat bagian.
“Kenapa?” tanya Simon menahan senyum karena Nesha menatapnya tajam.
“Setelah ini, ice cream itu milik Nesha,” ujar Nesha tegas.
Simon mengangguk dengan mata berkilat geli. “Ya, silahkan.”
Kembali Nesha menunggu seperti tadi tapi lagi-lagi ia didahului kakaknya.
“Kakak sudah janji!” seru Nesha kesal.
“Kapan Kakak berjanji?” Simon mengangkat bahu.
“Kalian menyebalkan!”
Gadis itu menghentakkan kaki meninggalkan ketiga kakaknya yang kini tertawa geli.
“Adik Kecil, ice cream sudah siap!” seru Anwar.
“Makan saja!” balas Nesha dengan nada merajuk.
“Yakin tidak mau ice cream jumbo?” bujuk Rico.
Nesha berhenti. Jumbo? Dia menoleh dan matanya langsung berbinar melihat ice cream cone dengan ukuran lebih besar. Segera ia kembali menghampiri ketiga kakaknya lalu tanpa basa-basi meraih ice cream dari tangan Simon.
“Hmm, lezat!” Nesha berkata sambil menjilati ice creamnya.
“Katanya tadi tidak mau,” goda Rico.
“Siapa bilang?”
“Mengelak, eh?” Rico terkekeh.
Nesha menjulurkan lidah lalu kembali sibuk dengan ice creamnya.
“Tidak mau naik wahana tertentu?” tawar Simon. Saat ini mereka sedang berada di taman bermain. Rasanya kurang lengkap tanpa mencoba wahana yang memacu adrenalin.
Setelah pertengkaran kecil mereka dua hari lalu, kini mereka putuskan untuk menghabiskan waktu bersama hingga waktu Nesha pergi. Mereka akan membuat banyak kenangan. Bersenang-senang dan berfoto tiap ada kesempatan.
“Habiskan dulu ice creamnya,” saran Nesha.
“Huuu, bilang saja kau sedang mengulur waktu untuk naik wahana,” ejek Anwar.
“Tidak.”
“Bagaimana kalau Tornado?” Rico memberi saran.
Nesha menelan ludah. Dia masih ingat saat menaiki wahana satu itu. Hanya pernah sekali seumur hidup dan itupun karena desakan ketiga kakaknya. Begitu turun, dia langsung mencari kamar mandi lalu muntah. Setelah itu Nesha selalu mencari alasan jika mereka mengajaknya lagi.
“Kalian saja yang naik. Mendadak Nesha merasa pusing.” Nesha pura-pura memegang kepala.
“Penakut!” ejek Simon.
“Kalau begitu kita naik punggung gajah saja,” tantang Nesha. Sengaja ia memilih itu karena tahu betul Simon merasa geli dengan kulit gajah. Jangan tanya kenapa karena itu sama seperti orang yang merasa geli saat membayangkan bersentuhan dengan cicak.
Simon meringis. “Kau saja yang naik.”
Kali ini giliran Nesha yang mengejek. “Badan besar dan kekar begitu takut pada gajah.”
“Bukan takut, Adik Kecil. Tapi geli.” Simon membela diri.
“Sama saja,” cibir Rico.
“Kalau tidak ada yang mau naik sesuatu, kita jalan-jalan saja.” Saran Anwar.
“Oke!” Nesha langsung setuju. Lebih baik jalan-jalan tak tentu arah daripada dipaksa naik wahana yang pasti akan membuatnya mengeluarkan makanan di dalam perut.
***
Nesha kembali menatap ketiga kakaknya. Air mata yang dia pikir sudah kering karena terus tumpah sejak semalam, kini kembali menitik.
Perpisahan yang mereka takutkan sudah tiba. Kini mereka berempat sedang berada di bandara Soekarno-Hatta untuk mengantar kepergian Nesha menuju Singapura. Ya, semua peretas yang telah terpilih dari berbagai negara lebih dulu berkumpul di Singapura sebelum melanjutkan perjalanan bersama menuju Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.
Anwar, Simon, dan Rico berusaha menahan air mata mereka. d**a mereka terasa sesak. Bahkan Anwar sempat berpikir untuk menyeret Nesha pulang dan mengurung gadis itu dalam kamar.
“Kakak!” seru Nesha pelan lalu memeluk Simon yang berada di tengah, antara Anwar dan Rico.
Simon menghapus air mata di sudut matanya kemudian membalas pelukan Nesha. “Jaga dirimu baik-baik, Adik Kecil.” Dia berkata dengan suara serak seraya menunduk untuk menanamkan kecupan di puncak kepala Nesha.
Nesha mengangguk, melepas pelukan lalu beralih pada Anwar.
“Jangan terlalu lelah. Dan kalau ada yang jahat padamu segera hubungi Kakak. Tidak peduli jarak yang memisahkan kita, Kakak akan datang kepadamu.” Ujar Anwar.
Nesha mendongak, terkekeh akan kalimat Anwar. “Sejak kapan Kakak jadi puitis seperti ini?”
Anwar menunduk, mengecup kening Nesha dalam. “Entahlah.”
Nesha tersenyum lalu perlahan melepas pelukan dan beralih pada Rico.
Baru saja Nesha hendak memeluk, mendadak Rico berbalik membelakangi Nesha.
“Pergilah, Nesh! Jangan sampai kau ketinggalan pesawat.” Ujar Rico tenang.
Dada Nesha sakit melihat sikap Rico. Dia tidak menyangka Rico sampai menolaknya seperti ini. Padahal lelaki itu yang pertama kali memberi izin Nesha pergi.
“Heh, banci!” Simon menyikut lengan Rico. “Kau membuat Nesha sedih. Cepat berbalik!”
Rico tidak mengatakan apapun dan tetap tidak berbalik.
Anwar pindah ke samping Rico yang lain. “Jangan membuat kami malu. Tubuh kekar penuh tato tapi kau menangis seperti anak kecil.” Lalu tanpa peringatan, Anwar memegang bahu Rico dan menghadapkan lelaki itu pada Nesha.
Ternyata wajah lelaki itu sudah basah karena air mata. Tadi dia menyembunyikan air matanya dari Nesha. Tapi karena sekarang Nesha sudah tahu, Rico benar-benar menangis seperti anak kecil. Dia terisak-isak sampai beberapa orang di dekat mereka menoleh.
“Rico, tutup mulutmu!” perintah Anwar gemas.
Rico segera mengatupkan bibir rapat namun suara tangis yang keluar dari tenggorokannya masih terdengar jelas, membuat Simon dan Anwar meringis sambil nyengir malu pada orang-orang di sekitar mereka.
Andai mereka tidak sedang berada dalam suasana sedih, pasti Nesha akan tertawa keras karena tingkah konyol ketiga kakaknya. Namun sekarang bukan saatnya tertawa. Dengan wajah yang juga sama basah akibat air mata, Nesha memeluk erat pinggang Rico dan membenamkan wajah di d**a bidang lelaki itu.
Merasakan pelukan Nesha malah membuat tangis Rico semakin keras. Dia balas memeluk Nesha dan mengecup lama puncak kepala gadis itu.
“Astaga!”
Simon dan Anwar bersamaan menutup mulut Rico dengan telapak tangan mereka. Rico sama sekali tidak memprotes karena perhatiannya hanya tertuju pada Nesha yang masih berada dalam dekapannya. Alhasil mereka berempat makin menarik perhatian karena terlihat seperti Teletubbies yang sedang berpelukan.
Sekitar lima menit kemudian barulah mereka menjauh karena tangis Rico mulai reda. Sekali lagi Nesha pamit lalu bergegas membalikkan tubuh meninggalkan tiga orang yang telah membesarkannya dan menggantikan figur orang tua.
***
Nesha tidak bisa menyembunyikan binar bangga di matanya begitu mengetahui bahwa dia menjadi salah satu dari dua orang peretas yang terpilih dari Indonesia. Memang ketetapan dari PBB hanya akan menerima dua orang dari tiap negara yang turut berpartisipasi walau bukan anggota PBB. Benar-benar mengagumkan bagi Nesha mengingat masih tersisa lebih dari lima puluh peserta di ujian tahap akhir.
“Nih, minum!”
Nesha menoleh lalu tersenyum pada Gavin Hibrizi, yang juga merupakan peretas asal Indonesia. Sikapnya terkesan tidak acuh dan dingin. Tapi sepertinya dia cukup perhatian karena sekarang menyodorkan sebotol teh dingin pada Nesha.
“Terima kasih,” Nesha berkata lalu meneguk minuman manis dan segar itu dengan rakus.
Gavin mengerutkan kening melihat Nesha minum. “Sebelum berangkat kita kan sudah diberi uang saku. Ke mana uangmu?”
Nesha menatap Gavin bingung. “Memangnya kenapa?”
“Kau seperti menahan haus. Uangmu sudah habis?”
Nesha nyengir. Sebenarnya dia tidak merasakan haus atau lapar karena terlalu gugup sekaligus bersemangat dalam perjalanan. Tapi begitu tenggorokannya dialiri air, Nesha tanpa sadar hampir menghabiskan satu botol tanpa jeda.
“Tidak.” Nesha menjawab pertanyaan Gavin. “Tapi minuman pemberianmu jadi terasa lebih nikmat karena aku tidak perlu keluar uang. Sering-sering seperti ini agar makanku lebih lahap.”
Gavin mendengus. Sama sekali tidak ada senyum di bibirnya padahal Nesha bermaksud melucu. Akhirnya senyuman Nesha juga menghilang dan dia merengut saat menatap wajah tanpa ekspresi rekannya.
“Hai, boleh aku bergabung?”
Nesha menoleh dan mendapati seorang lelaki yang sekujur tubuhnya putih nyaris menyamai warna putih kapur, dengan rambut pirang dan mata biru cerah.
“Tentu saja boleh,” Nesha menjawab pertanyaan lelaki itu dengan ramah.
Saat ini para peretas terpilih sudah sampai di Singapura dan sedang berkumpul di salah satu gedung pemerintah untuk mendapat pengarahan. Tepat besok pagi, mereka akan diberangkatkan menuju New York.
Sempat jadi tanda tanya mengapa mereka harus berkumpul di Singapura dulu bukannya langsung menuju Amerika. Panitia penyelenggara hanya menjawab bahwa ini sudah menjadi bagian dari proses penerimaan anggota tim The Hackers.
Ya, di tempat itulah mereka akan diuji lagi untuk memastikan tidak adanya penyusup dari kelompok New World. Namun tidak hanya itu karena kelompok New World dikenal lihai. Sesampainya di New York nanti, masih ada uji lanjutan yang akan dilakukan langsung oleh pimpinan agen cyber security Amerika dan beberapa negara lain.
“Kenalkan, aku Mark Robert dari Inggris.” Lelaki itu mengulurkan tangan ke arah Nesha.
Tanpa ragu Nesha menjabat tangannya. “Aku Nesha dari Indonesia.”
“Hanya Nesha? Tidak ada nama belakang?”
Nesha tersenyum seraya mengangguk.
Mark membalas senyum Nesha lalu beralih pada Gavin. “Dan kau?”
“Gavin Hibrizi,” sahut Gavin singkat, menjabat tangan Mark lalu segera melepasnya lagi.
“Jangan terlalu dipikirkan, dia memang seperti itu.” Nesha menghibur Mark yang mendapat perlakuan tak acuh dari Gavin.
“Tidak masalah. Aku terbiasa bersama orang-orang yang jauh lebih dingin. Jadi sikap Gavin menurutku termasuk ramah.”
“Syukurlah,” Nesha berkata.
“Acaranya masih belum dimulai juga,” keluh Mark.
“Ya, kudengar ada sedikit masalah,” tentu saja Nesha yang lagi-lagi menanggapi karena Gavin sibuk memperhatikan orang-orang di sekitar.
“Ngomong-ngomong tadi aku mendengar kalian berbincang. Apa itu Bahasa Indonesia?”
“Iya, kau belum pernah mendengarnya.”
“Belum pernah sekalipun.”
“Kau pasti juga belum pernah datang ke Indonesia.”
“Ya. Mungkin lain kali aku bisa ikut jika kau pulang.”
Nesha terkekeh. Dia bisa membayangkan wajah geram ketiga kakaknya melihat Nesha pulang membawa seorang lelaki, seperti yang sering terjadi ketika Nesha pulang diantar teman sekolahnya yang laki-laki.
“Acaranya sudah mulai, ayo!” kali ini Gavin yang bicara tapi dia berjalan lebih dulu tanpa menunggu Nesha dan Mark.
Nesha hanya mendesah melihat tingkah Gavin. Semoga dia bisa bertahan satu tim dengan lelaki itu.
--------------------
♥ Aya Emily ♥