5

1074 Kata
Suara ketukan pada pintu kamar Meira semakin keras. Bu Ismi memanggil nama gadis itu berulang kali utuk segera keluar dari kamar dan makan bersama di ruang makan. Namun sama sekali tidak ada pergerakan dari dalam kamar Meira. Ya, Meira sedang pulas tertidur di kasurnya. Sejak pulang kerja ia merebanhkan tubuhnya yang terasa pegal. Maklum hari pertama kerja itu sangat melelahkan dan butuh penyesuaian. Ketukan itu berulang dan semakin kencang saja. Meira mulai terganggu dan mengerjap pelan sambil mengumpulkan nyawanya. Ia benar -benar sedang bermimpi atau memang nyata ada yang mengetuk pintu kamarnya. "Non ... Non Meira ... Makan malam sudah siap, Non ..." ucap Bu Ismi dari luar. Suara itu lembut seperti suara Bunda Meira. Bedanya suara Bu Ismi agak berat sedangkan suara Bundanya melengking dan sanagt cempreng sekali. "Iya Bu," jawab Meira saat mulai tersaar. "Nanti saya ke ruang makan," imbuh Meira yang bergega bangun aat melihat waktu terkini melalui jam tangannya. Meira langung mauk kamar mandi dan mulai membauh tubuhnya dengan dengan air. Rasanya memang lebih rilks dan segar sekali. Hawa ngantuk dan malasnya meluap begitu saja. Setelah selesai, Meira hanya memakai kaos oblong dan celana pendek berbahan blue jeans dengan rumbai halus. Style Meira memang seperti itu, santai, nyaman dan tetap terlihat modis. Rambutnya di kuncir ke atas. Wajahnay hanya di beri bedak bayi saja agar tidak terlihat pucat. Jangan lupa parfum untuk meningkatkan raa percaya diri. Meira keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada lelaki yang Meira panggil Om tadi. Mengingat dari segi usia sepertinya lelaki itu udah cukup banyak umurnya. Lelaki itu mengangkat wajahnay dan melirik ekila ke arah Meira. Ia kembali menunduk dan mengambil piring lalu mengii piringnya dengan kentang goreng dan daging sapi yang di panggang lalu di tambah sau barbeque. "Malam Om ..." apa Meira gugup. "Malam," jawab Igo datar. Kedua matanay menatap Meira lekat dan kembali foku pada makanannya. Meira duduk berhadapan dengan Igo. Ia mengambil piring dan menatap beberapa menu makanan yang ada di meja makan. Memang ada dua menu berbeda. Satu menu indonesia dan atu lagi menu western. Tapi, kalau di lihat -lihat, lelaki yang duduk di depannya ini sama sekali gak ada bule -bulenya. Menurut Meira, orang bule itu kan tinggi, putih pucat dan bahkan kulitnya memerah, hidungnya mancung banget. Kayak gitu lah pokoknya. Sedangkan ini? Tubuhnya memang tinggi, kalau diperkirakan tingginya seratus delapan puluh sentimeter, lalu tubuhnay tidak putih pucat, hanya putih biasa saja dan memiliki brewok. Satu lagi, eluruh tubuhnya semua berbulu. "Ahh ..." teriak Meira spontan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Igo mengangkat wajahnya kembai dan menatap Meira bingung. "Kamu kenapa?" tanya Igo panik. Meira tersadar, ia baru aja menghalu lagi. Malah mengingat malam itu. Kedua tanagnnya di turunkan dan menggeleng pelan. "Maaf," ucap Meira merasa sangat malu sekali. Kenapa ia bisa se -labil ini sih. Benar -benar memalukan sekali. "Gak apa -apa. Kamu baik -baik saja?" tanya Igo lagi. "Hu um ... Baik kok. Cuma tadi ..." ucapan Meira terhenti. Ia tersadar, ia tidak boleh mengungkapkan apa yang ia pikirkan barusan. Meira langung mengambil nasi dan ayam goreng kesukaannya. Tentu saja tanpa ambal dan tanpa lalapan. Meira mulai menikmati makan malamnya. Ia sedikit canggung melihat Igo yang makan dengan rapi dan teliti. Lihat aja, potongan daging itu terpotong sama dengan ukuran stabil. "Kamu kerja dimana?" tanay Igo tiba -tiba memecah keheningan. "Emmm ... Di Setya Group," jawab Meira dengan senyum bahagia. Meira cukup bangga menjadi salah satu bagian dari Setya Geroup. Apalagi perkerjaannya termasuk yang diinginkan banyak orang yaitu auditor. Keren kan. Igo menatap lekat Meira, "Bagian apa?" "Junior Auditor," jawab Meira dengan bangga. Tak bisa di pungkiri, kalau raut wajahnya adalah menyunggingkan raut yang penuh bahagia. "Kamu suka dengan pekerjaan itu?" tanya Igo lagi. Meira mengangguk kecil, "Suka dan bahkan sangat suka sekali." "Oke," jawab Igo datar. Meira ikut mengangguk. Ia memang tidak memiliki keinginna lain alias tidak muluk- muluk. Cukup menjadi karyawan lalu mendapatkan gaji setiap bulan, itu udah membuatnya bangga pada dirinya sendiri. Mera masih menatap ke arah Igo. Ia juga ingin bertanya tetapi sungkan. "Kalau Om? Kerja dimana?" tanya Meira hati -hati. "Emm ... Saya?" Igo memastikan pertanyaan itu untuk dirinya. Tatapannya lekat, suaranya datar dan begitu dingin. "Iya Om. Memang ada orang lain lagi disini selain Om?" ucap Meira setengah sewot. Rasanya Meira salah melempar pertanyaan pada orang yang malah seperti mummy ini. "Baru mau cari kerja," jawabnya singkat. Meira udah malas jadinya. Ia sebenarnya penasaran. Siapa sih, lelaki ini? Dulu ada di Puncak, sekarang ada di sini. Masa iya jodoh? Ganteng sih, tapi kan pengangguran. Keduanya saling diam. Meira sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka dengan pertemuan kedua ini. Rasa canggung pasti ada. Apalagi kejadian itu masih hangat di memori otak Meira. Seusai makan malam, Igo mengajak Meira duduk di saung yang ada di taman samping rumah. Mereka melewati ruang tengah dan duduk di saung dengan pencahayaan remang -remang itu. Bu Ismi mengantarkan bolu pisang dan dua cangkir kopi yang di letakkan di dalam saung. Igo berdiri memasukkan kedua tangan di dalam aku celana trainingya. Ia memakai kaos oblong berwarna putih polos yang di tengahnya ada garis hitam. "Aku mau bicara serius," ucap Igo menoleh ke arah Meira yang tatapannya begitu lekat ke arah Igo. "Ya," jawab Meira terbata. "Namaku Igo. Aku mau minta maaf dengan kejadian beberapa bulan lalu," ucap Igo dengan tenang. Igo kembali ke Saung dan duduk di dekat Meira. Tatapannya lekat dan hangat. Tatapan penuh damba dan ketulusan. Meira mengangguk pelan, "Bukan sepenuhnya salah Om kan. Om malah sudah membantu Meira terhindar dari hal -hal buruk." "Aku mencari kamu saat itu. Aku ingin pastikan, kamu tidak hamil karena malam itu," ucap Igo lirih. "Kamu gak hamil kan?" imbuh Igo lagi menatap Meira. Meira menggelengkan kepalanya pelan, "Untung gak hamil. Memang kenapa mencari ku, Om?" "Aku ingin bertanggung jawab pada kamu," ucap Igo mantap. "Maksud Om?" tanya Meira bingung. Dadanya sontak bergemuruh dan napasnya muali tersendat. Jawaban Igo membuat Meira tak bisa berpikir jernih. "Saya mau tanggung jawab karena saya sudah ambil kegadisan kamu," jelas Igo begitu detail. "Enggak perlu Om. Meira gak hamil. Jadi Om janagn merasa bersalah sama Meira," jelas Meira dengan gaya sok kuatnya. "Kamu yakin? Gak mau sama saya?" tanya Igo memastikan. Meira menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Enggak Om." "STOP panggil aku, Om!" ucap Igo sedikit meninggi. Meira menarik napas dalam. Ia begitu kaget dengan intonasi nada suara Igo. "Ma -maaf ..." jawab Meira lirih. "Meira harus panggil apa?" tanya Meira lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN